Phoebe duduk di sofa ruang tamu rumah Redhiza dan merenung. Tadi, dia sempat memergoki Mawaddah Aurora, atau yang biasa disapa orang-orang dengan Aurora, sedang menatap Jack. Phoebe langsung mendapat gagasan jika gadis itu menyukai Jack, entah kenapa. Mungkin karena tatapan mata Aurora yang terlihat lembut dan tulus. Tapi, disana juga terdapat kilatan kecewa dan rasa sedih. Jadi, sebenarnya apa yang terjadi?
Ah... apa dugaannya memang benar, jika Aurora menyimpan rasa untuk Jack? Dan gadis itu menyangka Jack ada hubungan dengannya? Ih, amit-amit, ya! Nggak sudi banget rasanya Phoebe, jika dia harus berhubungan dengan Jack si jok mobil.
“Ngelamun aja, Phoebs.”
Suara tegas bercampur dengan kelembutan itu menembus dunia Phoebe. Gadis itu mendongak dan tersenyum ketika melihat Altaro menghampirinya dan menyerahkan mug berwarna biru dengan cairan cokelat didalamnya. Sensasi dingin langsung dirasakan oleh Phoebe, ketika cairan cokelat itu memasuki tenggorokannya. Es s**u cokelat kesukaannya.
“Red sama Zero?” tanya Phoebe ketika dia menyadari kedua abang sepupunya yang lain tidak terlihat. Altaro mengusap rambutku dan menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa.
“Ke supermarket sebentar. Mau beli cemilan katanya,” jawab Altaro. “Jadi... kenapa tadi ngelamun? Hmm?”
Phoebe menarik napas panjang dan meletakkan mug-nya ke meja. Pikirannya kembali menerawang. Ucapan Jack masih terngiang di telinganya. Bagaimana bisa laki-laki itu menyimpan rasa untuknya? Belum lagi dengan gagasan aneh yang melintas begitu saja di benaknya mengenai Aurora.
“Phoebs?”
“Bang Al... Phoebs... bingung.”
“Bingung?”
Phoebe mengangguk. Lalu, mengalirlah keseluruhan cerita mengenai dirinya dan Jack, juga mengenai asumsi yang dia dapatkan walau dia sendiri tidak yakin akan hal tersebut. Altaro mendengarkan dengan seksama tanpa menyela. Sampai adik sepupunya itu selesai bercerita, barulah Altaro menghembuskan napas dan menatap adik sepupunya itu dengan tatapan lembut.
“Kalau misalkan Jack suka sama kamu, terus kenapa? Itu hak dia, kan? Dan hak kamu juga untuk menolak dia, seandainya dia nekat minta kamu untuk jadi pacarnya.”
“Tapi... tapi....” Phoebe membasahi bibirnya yang mulai terasa kering. “Gimana kalau asumsi Phoebs benar? Gimana kalau Aurora suka sama Jack? Phoebs nggak mau nyakitin dia, meskipun Phoebs sama sekali nggak ada rasa sama si Jack, Bang.”
Altaro hanya tertawa renyah dan mengacak rambut Phoebe.
“Abang yakin, kamu tau apa yang terbaik untuk kamu.” Laki-laki itu bangkit berdiri dan meninggalkan Phoebe. Gadis itu hanya bisa menrik napas dan berdecak. Bingung harus melakukan apa.
###
Restoran cepat saji itu masih saja ramai walaupun langit sudah berubah gelap. Aurora melirik jam di pergelangan tangan kirinya dan menghembuskan napas panjang. Makanan di mejanya sama sekali belum disentuhnya. Dia lapar tetapi dia malas untuk makan. Pikirannya melayang pada kejadian di kampus siang tadi, saat Jack dan Phoebe sedang berdebat.
Sudah sejak lama, Aurora menyukai Jack. Jack adalah laki-laki ramah dan baik yang berhasil menyita seluruh perhatiannya. Jack bahkan pernah membantunya ketika dia diganggu oleh beberapa anak nakal di ujung gang kampus mereka. Hanya saja, sekuat apapun Aurora berusaha ‘memperlihatkan’ dirinya di depan Jack, kedua mata laki-laki itu hanya tertuju untuk... Phoebe.
Sakit, memang. Rasanya sangat sesak. Aurora mati-matian memendam perasaannya untuk Jack dan harus puas hanya dengan menatapnya dari jauh saja. Gadis itu bahkan sudah sangat bersyukur walaupun hanya bertegur sapa dengan Jack.
“Lo udah pesan makanan dan hanya dianggurin begitu aja? Gue kasian sama semua makanan lo itu. Mereka pasti lagi nangis sekarang.”
Satu suara yang sudah sangat dihafalnya itu membuat Aurora tersentak dan mendongak. Napasnya mendadak tertahan di tenggorokan. Gadis itu terkesiap dan buru-buru menormalkan air mukanya lagi seraya berharap agar wajahnya tidak memerah saat ini karena dia bisa merasakan panas menjalar pada wajahnya.
Jack Thampson, oknum yang selalu memenuhi otak dan hatinya kini berada tepat di hadapan!
Laki-laki itu bahkan tersenyum ke arahnya!
“Boleh gabung?” tanya Jack. Aurora hanya bisa mengangguk kikuk dan berdeham untuk menetrasilir rasa gugupnya. Semoga saja, Jack tidak menyadari kegugupannya tersebut. “Sendirian aja, Ra?”
“I—iya,” jawab gadis itu terbata. Melihat hal tersebut, Jack tertawa. Mendengar tawa Jack yang terdengar sangat geli, Aurora lantas menunduk dan memejamkan kedua matanya. Benar-benar malu.
“Maaf, Ra... gue nggak maksud buat ngetawain elo. Cuma, gue nggak nyangka kalau elo itu anaknya lucu dan polos.”
DEG!
Jack bilang kalau dirinya... lucu dan polos?
Ya Tuhan... kenapa rasanya debar jantungnya sangat tidak karuan?
Kenapa ucapan Jack membuat wajahnya mulai memanas lagi?
Apa... apa dia boleh berharap, sedikit saja, kalau laki-laki itu akan membalas perasaannya, jika dia mengungkapkan hal tersebut?
Tidak! Tidak!
Jangan konyol, Aurora! Gadis itu membatin.
“Kalau lo nggak berniat untuk makan, boleh buat gue? Kebetulan gue lapar dan ngeliat antrean disana bikin gue malas.” Jack memainkan kedua alisnya, membuat wajah laki-laki itu nampak menggemaskan. Kepala Aurora pun tanpa disadari oleh gadis itu sendiri akhirnya mengangguk dan seketika itu juga, dia membeku lantaran tangan kanan Jack terulur untuk mencubit pipinya dan mengacak rambutnya dengan gemas.
“Terima kasih, Aurora. Lo emang baik!”
Aurora hanya bisa mengangguk kaku dan memperhatikan Jack yang sedang melahap makanannya. Gadis itu kemudian tersenyum lembut dan detik berikutnya dia merenung.
Bagaimana kalau ini hanyalah mimpi sehari saja?
Bagaimana kalau besok Jack tidak akan menyapanya dan mengajaknya mengobrol lagi?
Bagaimana kalau besok Jack sudah melupakannya?
Demi Tuhan, dia mendengar pengakuan Jack siang tadi kepada Phoebe bahwa laki-laki itu menyukai Phoebe!
Sesak sekali, Tuhan. Entah apa yang harus dia lakukan. Bahkan saat ini, bibirnya bergetar hebat. Kedua matanya memanas dengan cepat dan Aurora berusaha sekuat tenaga untuk menahan laju air matanya agar tidak keluar dari rongga matanya.
“Maaf, Mbak....”
Aurora tersadar dari lamunannya dan menoleh. Pun dengan Jack yang saat ini sibuk mengunyah kentang goreng milik Aurora. Di depan mereka, seorang pramusaji sedang menatap ke arah Aurora dengan tatapan betenya. Aurora mengangkat satu alisnya dan tersenyum, namun senyumnya sama sekali tidak dibalas.
“Ya? Ada apa?”
“Transaksi yang Mbak lakukan barusan kurang, Mbak.”
“Maksudnya?” tanya Aurora dengan kening berkerut. Si pramusaji yang berdiri di depannya memutar kedua bola matanya.
“Bayarannya kurang, Mbak. Mbak memesan makanan dengan harga lima puluh ribu, tetapi Mbak hanya membayar empat puluh lima ribu.”
“Loh? Saya membayar dengan uang pas dan struk-nya pun sudah saya terima.”
“Tapi kenyataannya, Mbak belum membayar sesuai dengan pesanannya.”
Aurora menggeleng dan mencari struk tersebut didalam tas selempangnya. Ketika dia berhasil mendapatkan struk tersebut dan berniat untuk menjelaskannya kembali, dua orang laki-laki datang menghampiri mejanya. Satu orang berpakaian seperti si pramusaji dan satu orang lainnya memakai kemeja putih dengan kedua lengan baju yang sudah dilipat hingga sebatas siku dan mengenakan celana bahan kain berwarna hitam. Laki-laki itu juga memakai kacamata dan rambutnya dipotong dengan rapi. Jack sendiri di tempatnya hanya memperhatikan dan baru akan bertindak jika dirasanya Aurora membutuhkan pertolongannya.
“Maaf, Mbak.” Si laki-laki berkacamata tersenyum ke arah Aurora dan juga ke arah Jack. Jack membaca name tag yang tertera di atas saku kemeja putih orang tersebut.
Haikal Putra. Manajer.
“Anak buah saya tidak bekerja dengan benar,” kata laki-laki bernama Haikal itu. “Mereka salah mencatat. Pesanan Mbak sudah dibayar sesuai dengan harganya. Sekali lagi, saya minta maaf atas kelalaian mereka.”
Aurora mendesah lega dan tersenyum tulus. Dia menggelengkan kepalanya dan menggoyangkan sebelah telapak tangannya. “Nggak apa-apa, Mas. Semoga hal ini nggak akan terjadi lagi ke depannya, ya.”
Haikal mengangguk dan membalas senyuman Aurora. Dia melirik Jack yang mengangkat satu alisnya seraya bersedekap. Dia tidak peduli jika Jack tidak membalas senyumannya. Toh, dia tidak mengenal dua orang di depannya ini. Haikal hanya menjalankan tugasnya sebagai seorang manajer di restoran cepat saji ini.
“Kalau begitu, saya permisi.” Haikal membungkuk untuk memberi hormat kemudian menyuruh dua anak buahnya masuk ke dalam. Saat dia hendak memutar tubuh, tiga orang anak kecil berlarian di belakangnya dan menabraknya. Tubuhnya mendadak hilang keseimbangan dan akhirnya Haikal limbung ke depan.
Ke arah Aurora!
Gadis itu terkesiap dan menjerit tertahan, ketika tubuh Haikal menimpanya. Tidak benar-benar menimpanya, sih, karena laki-laki itu memegang kursi yang didudukinya dan juga pinggiran meja. Wajah keduanya sangat dekat hingga Aurora bisa merasakan hela napas Haikal pada wajahnya. Mata laki-laki itu bahkan menatapnya tegas dan sangat lekat.
Tiba-tiba, tubuh Haikal ditarik dan diputar paksa. Kerah kemejanya bahkan dicengkram dengan sangat kuat dan oknum yang melakukan hal tersebut adalah Jack. Laki-laki itu menatapnya dengan tatapan emosi.
“Lo mau cari kesempatan, iya?” tanya Jack dengan suara dinginnya. Di depannya, Haikal hanya tersenyum dan balas menatap Jack.
“Saya tidak mengerti maksud Anda.”
Baru saja Aurora berusaha untuk menjauhkan Jack dan Haikal dengan cara memegang lengan laki-laki itu, serta Jack yang bersiap untuk melontarkan kalimat dinginnya lagi, mereka mendengar suara langkah kaki mendekat. Ketiganya menoleh dan Jack langsung menatap kaget ke satu titik. Aurora bahkan langsung melepaskan tangannya pada lengan Jack, ketika tatapannya tidak sengaja bertemu dengan tatapan orang tersebut.
“Jack? Aurora? Kalian lagi makan malam bareng?” tanya Phoebe dengan nada suara yang sulit diartikan oleh gadis itu sendiri.
###