Dia Tyas!

1085 Words
“Kakak, Genta!” Suara ceria itu yang selalu Genta ingat. Ada dalam mimpinya setiap malam. Tidak lupa senyumannya, atau tawa yang terdengar sangat renyah. Mana mungkin Genta lupa? Lalu tadi ketika melihat Tyas untuk pertama kali, setelah hampir enam tahun tidak bertemu, semua kenangan melintas di kepala Genta. Apartemen Genta sunyi, hanya ada dia sendirian di dalamnya. Angannya melayang tidak tentu. Beterbangan ke sana ke sini. Kalap dan ketakutan, mengambil tongkat baseball dan menghancurkan sebagian barang, berharap bayangan Tyas akan hilang. Napasnya memburu, ketika satu barang hancur, kurang puas, tongkatnya dia ayun, dan hantam lagi ke cermin di dinding. Sesaat, Genta berpikir akan mengalah dengan adiknya. Iya, mengalah saja. Tidak ada gunanya juga kalau mendekati Tyas lagi. Namun suara itu. “Kakak, Genta!” mengurungkan niat Genta. Tidak! Tidak ada yang mengharuskan Genta untuk mengalah. Tidak akan, tidak akan Genta menyerah begitu saja. Dia harus mendapatkan cinta Tyas lagi. Iya, harus! Gentala mengatur napasnya, menghapus air mata yang membanjiri pipi. Menuang minuman ke gelas kecil, menenggak dengan cepat. Rasa pahit dan juga tajam minuman itu menyiksa tenggorokan. Sekilas membuatnya lega. Genta lantas mengambil ponselnya. Di antara pecahan kaca, menghubungi seseorang. “Hallo? Tolong cari tahu soal Tyas Indira,” suruh Genta di sambungan telepon ke orang kepercayaannya. “Baik, Pak. Informasi macam apa yang bapak ingin ketahui?” Pikirannya berkelana, air matanya mengalir deras. “Tolong cari saja informasi sebanyak-banyaknya. Termasuk …. Apakah dia pernah melahirkan, kecelakaan apa pun itu. Kalau memang pernah, laporkan ke saya nama rumah sakitnya di mana. Apa kamu paham? Kalau perlu berikan rekam medisnya juga.” “Baik, Pak,” sahut suara di seberang telepon. Minuman keras menjadi pelarian Genta saat ini. Bisa melupakan semua kesakitan, rasa bersalah yang ada dalam hatinya. “Apa yang aku lakukan padamu dulu adalah kesalahan. Tapi, aku akan mencoba memperbaikinya kali ini. Sabar saja, Sayang. Aku akan datang, dan kita akan jalani lagi hari kita dengan cinta yang dulu tertunda.” Genta berkata sendirian. Sambil mengeluarkan foto dari dalam dompetnya. Foto yang selalu menemani hari-harinya selama enam tahun ini. *** Bel di apartemen Genta berbunyi. Entah beberapa kali, Genta tidak memedulikannya. Masih dalam pengaruh minuman keras. Tidak ingin diganggu oleh siapa pun! Setiap botol kosong hanya dilempar begitu saja. Tidak peduli melukai kaki atau tangannya. “Genta! Ini mami, buka pintunya, Sayang!” Diana menggedor pintu apartemen anaknya itu. “Genta!” pekiknya sekali lagi. Dalam hati putus asa, apakah anaknya masih hidup? “Genta! Buka pintunya!” Beberapa hari ini Genta tidak menampakkan diri di kantor Argo. Atau di mana pun! Kalau papi Genta tidak terlalu peduli dengan menghilang anaknya. Diana khawatir, takut Genta kenapa-napa, jadi dia datang ke apartemen Genta. Membawa makanan yang kira-kira anaknya suka. “Genta!” pekik mami lagi. Dengan segenap kekuatan tenaga yang tersisa, Genta bangkit dari sudut ruangan apartemennya. Membukakan pintu untuk maminya. “Lagian ngapain datang segala ke sini,” ujarnya tidak suka. Mami ada di ambang pintu tersenyum ketika Genta membuka pintu. Ternyata anaknya masih hidup! Serunya dalam hati. Meski wajahnya berantakan, dan bau minuman keras, bau keringat dan entah bau apa lagi. Membuat Mami menutup hidung. Mami mengibaskan tangan ketika masuk ke dalam apartemen milik Genta. “Astaga, Genta, kamu abis berantem sama siapa?” Mata Diana membesar, melihat apartemen Genta seperti kapal pecah. Genta tersenyum pahit, “Emang kenapa? Ngapain juga urusin Genta. Genta udah besar!” Mami menghela napas, tidak suka mendengar Genta bicara seperti itu. “Aduh, kamu sudah besar, tapi juga anak mami. Jadi, jangan ngomong begitu. Ayok, mandi,” Maminya mendorong badan Genta yang besar. “Ck, ngapain, si, Mi?” protes Genta tidak suka, tetapi badannya menurut juga, masuk ke kamar mandi. “Mami kan sayang kamu, Genta,” ungkap Mami perlahan menyiram badan Genta. “Argo bilang, sudah beberapa hari kamu tidak ada di kantor, datang menunjukkan batang hidung saja tidak. Mami khawatir, jadi datang ke sini.” Genta bersungut, lantas melanjutkan mandinya sendiri. Tidak berapa lama, Genta selesai membersihkan badan. Wajahnya sendu dan berantakan, lantas duduk di sofa yang ada di ruang menonton. Mami menyodorkan sup yang dibuatnya. Masih hangat. Wanita itu tahu, pasti Genta tidak makan berhari-hari. Mami lantas angkat telepon, memanggil orang untuk membersihkan apartemen Genta. Matanya berkeliling sejenak. Tampaknya ada bekas muntah di antara pecahan kaca atau apa, membuat mami mual sendiri. “Iya, lekas datang!” suruhnya. “Dari tadi saya teleponin, sudah satu jam,” protesnya. Genta tersenyum tipis sekali lagi. Orang tuanya selalu saja berusaha menutupi segala sesuatu. “Kenapa, si, Mami selalu menutupi semua perbuatan Genta? Bahkan apartemen yang berantakan sekali pun! Padahal, Genta nggak minta, lho, Mi,” racau anak itu sambil tersenyum konyol. Tidak mau juga menatap maminya. Diana menatap anaknya yang paling besar. “Ada apa, Gen? Biasanya kamu cerita ke Mami kalau ada kejadian-kejadian atau juga kabar dari kamu,” katanya lembut. Tangannya menepuk-nepuk pundak Genta. Genta tersenyum dengan pahit. Lalu menyingkirkan tangan mami dari pundaknya. “Memang kita pernah cerita apa, Mi? Kalau Genta cerita, nanti Mami akan menutupi cerita itu. Menjadi pengkhianat!” “Apa?!” Mami sekilas marah, tetapi dia tahu, Genta tidak mungkin dikerasin. “Genta … Apa pun yang Mami lakukan itu pasti untuk kebaikan kamu,” kata mami dengan lembut, sambil membelai rahang tegas anaknya itu. “Untuk kebaikan Genta atau menjadikan Genta pengecut, Mi?” “Apa maksud kamu?” “Mami, apa yang terjadi lima tahun lalu oleh Dira, Mi? Apa Mami ingat, gadis yang …” Tidak lama bel apartemen berdentang, memotong pembicaraan Gentala. Membuat lelaki itu mengerang tidak suka. Mami buru-buru membukakan pintu, itu adalah tim kebersihan yang tadi mami panggil. Genta hanya memainkan sup yang tadi maminya berikan. Mami dalam diam duduk di samping Genta. “Maaf, Genta, Mami tidak mengerti apa maksud pembicaraan kamu tadi?” Dalam hati Genta makin berang. Dia membanting mangkuk sup di meja, mata Mami memelotot melihat kelakuan anaknya. Bunyi penyedot debu begitu bising di telinga. “Apa Mami tahu gadis itu Tyas, Mi? TYAS!” pekik Gentala, kali ini maminya harus tahu. Papinya dan juga Argo. Mami menggeleng, “Tidak. Tidak mungkin, Genta. Kamu bilang dia Iras.” Mata mami berkaca-kaca. “Namanya Tyas Indira,” ucap Gentala susah payah dia menjelaskan kepada maminya. Mami serba salah, bagaimana ini? Dua anaknya menyukai perempuan yang sama? “Tapi …. Tapi, Argo sangat mencintai gadis itu, Genta,” Suara mami bergetar. “Mami mohon, tolong, jangan rusak hubungan mereka. Kamu—kamu sekarang mapan, bisa memilih siapa saja untuk menjadi pendamping kamu,” bujuk Diana. Gentala mendengkus tidak suka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD