Rafli masih marah dengan Alena yang saat ini duduk di sampingnya, dia tidak menyangka apa yang tadi terjadi, kakinya sedikit sakit dan celana yang dia pakai harus robek hingga membuat Rafli benar-benar kesal dan tidak memaafkan sekretarisnya itu.
Sedangkan, Arvin hanya bisa diam, ingin tertawa tapi tidak bisa. Karena, saat ini dirinya tidak ingin menjadi objek amukan tuannya itu.
"Bulan ini, saya potong gajimu untuk membayar celana saya ini, kamu tahu berapa harga celana saya ini?" tanya Rafli yang akhirnya membuka suara.
Alena yang mendengarnya hanya menggelengkan kepala, dia tidak tahu harga celana yang dipakai oleh bosnya itu. Yang pasti, harganya cukup mahal.
Tidak mendapat jawaban dari Alena, Rafli mendengus kesal.
"Harganya lebih mahal dari gajimu, jadi setiap bulan kamu harus mendapatkan potongan untuk membayar celana saya yang robek ini, besok kalau jalan dan masuk mobil itu pakai mata atas, bukan mata kaki, mengerti!" tegas Rafli.
Dia benar-benar kesal dengan tingkah laku sekretarisnya itu. Alena hanya mengganggukan kepala, dia seperti anak ayam yang mengikuti induknya, seperti itulah saat ini dirinya.
Dia benar-benar malu dengan apa yang terjadi hari ini. Saat sampai di rumah, Rafli segera turun dia menutup celananya dengan jas milik Arvin dan milik dirinya juga.
Rafli masuk dengan mengomel, dia mengabaikan Alena yang berada di dalam mobil. Arvin membalikkan kepala ke belakang untuk melihat bagaimana kondisi dari Alena.
Mungkin saat ini, dia terkena mental karena apa yang terjadi hari ini.
"Sekretaris Alena, kamu tidak apa-apa?" tanya Arvin.
"Menurutmu?" tanya Alena yang mengangkat kepala dan memandang ke arah Arvin yang saat ini berada duduk di dekat jendela tepat di samping tempat duduk Rafli duduk tadi.
Arvin mengangkat bahunya, dia tidak tahu bagaimana kondisi sekretarisnya ini, tapi dilihat dari raut wajahnya, tentu saja Alena tertekan karena sudah membuat majikan mereka seperti itu.
"Sudahlah, sekretaris Alena. Jangan memikirkan itu, lagi pula Tuan Rafli banyak stok celana. Jadi, tidak mungkin dia memotong gajimu. Sudah ya, lagi pula kamu juga tidak sengaja. Bukan maumu menabrak punggung dari Tuan Rafli," jawab Arvin mencoba menenangkan Alena.
Karena dia tahu kalau saat ini wanita tersebut benar-benar tertekan. Alena hanya menganggukan kepala, dia tidak berkata apa-apa dan tidak berapa lama Rafli pun turun.
Dia segera masuk ke dalam mobil dan Rafli sudah berganti pakaian dan aroma dari parfum Rafli membuat Alena benar-benar tenang.
Mobil melaju menuju perusahaan dan sampai di sana ketiganya turun Rafli berjalan di depan, Arvin berjalan di samping Rafli sedangkan Alena berada di belakang, dia tidak ingin berjalan di samping Rafli.
Saat masuk ke dalam lift, Alena berlari kecil untuk masuk ke lift, dia tidak ingin ketinggalan. Tidak ada pembicaraan sama sekali. Alena takut untuk membuka suara terlebih lagi melihat wajah dingin Rafli.
Walaupun terlihat imut karena masih muda, tapi tetap saja auranya sangat menakutkan.
Rafli yang melihat Alena meliriknya hanya bisa berdehem, dia tahu kalau wanita tersebut pasti merasa bersalah kepadanya, itu bagus karena dia tidak ingin ada kecerobohan lagi.
Saat pintu lift terbuka, Rafli, Alena dan Arvin segera keluar menuju ke ruangan.
"Arvin, siapkan proposal kerjasama dengan klien kita tadi, setelah itu antarkan ke perusahaannya. Aku ingin segera membangun proyekku dan kamu ikut saya," ucap Rafli yang memberikan instruksi kepada Arvin untuk segera mengerjakan proposal agar segera proyek yang dia diskusikan tadi bisa segera dibangun dan Alena yang diminta untuk ikut dengan Rafli hanya menganggukkan kepala.
Arvin segera balik menuju ke ruangannya untuk mengerjakan perintah dari tuannya, sedangkan Alena masuk ke dalam ruangan Rafli.
Saat masuk ruangan aura di ruangan Rafli sangat mencekam, biasanya Alena tidak pernah gugup tapi kali ini dia benar-benar gugup. Rafli duduk di kursi kebesarannya dan dia memandang ke arah Alena yang hanya menundukkan kepala sambil memegang tablet dan berkas yang tadi dibawa olehnya.
"Apa jadwal saya lagi hari ini?" tanya Rafli.
Alena menaikkan alisnya, bukankah tadi dia sudah memberitahukannya, tapi kenapa pria ini masih mempertanyakan jadwal kerjanya hari ini.
Alena mengangkat kepalanya, dia memandang Rafli yang juga memandangnya, karena tidak ingin berlama-lama, akhirnya Alena memberitahukan apa saja jadwal Rafli hari ini.
"Anda hari ini ada meeting dengan kepala pemasaran dan jam 02.00 nanti setelah makan siang, Anda harus meeting dengan kepala keuangan dan jam 03.00 Anda bertemu dengan orang bagian marketing untuk membicarakan kenaikan pangkat beberapa karyawan yang sudah memenuhi target.
Alena terus membacakan satu persatu jadwal dari Rafli hari ini. Rafli hanya memandang ke arah Alena, dia melihat Alena begitu fokus dan entah kenapa saat Rafli memandang Alena dengan lekat ada sesuatu yang beda.
Rafli terus menatap ke arah Alena tanpa berkedip dan benar dugaannya, dia melihat sesuatu yang tidak dimiliki wanita lain, tapi dimiliki oleh Alena.
"Sudah cukup." Rafli meminta Alena untuk berhenti.
Mendengar Rafli meminta berhenti segera Alena berhenti dan Alena kembali memandang ke arah Rafli.
"Kamu mulai saat ini, setiap pagi datang ke rumah saya yang tadi dan kamu siapkan semua pakaian saya, makanan saya, semuanya, kamu mengerti, Alena?" tanya Rafli.
Alena terkejut mendengar perkataan dari Rafli. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dulu dia hanya mengerjakan pekerjaan di kantor. Tapi, kenapa dia harus mengerjakan sesuatu yang tidak ada di list kerjanya.
"Tunggu sebentar, Tuan, maksudnya apa?" tanya Alena.
"Kamu tidak mengerti, maksudnya? Apa perlu saya ulang kembali," jawab Rafli.
"Bukan, maksud saya, kenapa saya harus siapkan pakaian Anda, makanan Anda dan itu tidak ada di dalam jadwal kerja saya, dulu saya tidak pernah seperti itu, Tuan. Maaf, kalau saya menolak," jawab Alena.
"Itu dulu, karena tugas dulu masih ada ibu saya, dia mengurus ayah saya, sekarang kan tidak ada. Jadi, kamu yang kerjakan semuanya, apa kamu tidak tahu kontrak sudah diperbaharui jadi kamu harus mengerjakan semuanya, tidak ada bantahan dan jangan cerewet, kerjakan saja, saya juga akan kasih bonus untuk pekerjaan tambahan itu," jawab Rafli yang kesal karena Alena ingin membantahnya sehingga dia mematahkan perkataan Alena yang belum sempat diutarakan bantahannya.
Alena hanya bisa diam, pembaharuan kontrak. Bukankah, dia sudah menjadi karyawan tetap dan kapan dia menandatangani surat kontrak tersebut.
Ingin protes, namun kibasan tangan Rafli yang memintanya untuk pergi mengurungkan niatnya untuk protes dan dia pun segera pergi. Rafli tersenyum penuh kemenangan karena bisa membuat Alena di depannya.
"Aku ingin lihat seberapa hebatnya dia dan seberapa kuatnya dia bekerja denganku. Aku yakin dia akan menyerah dan mengundurkan diri dengan begitu aku tidak disalahkan oleh Papi. Rafli, Rafli, kamu benar-benar pintar." monolog Rafli yang senang dengan idenya.
Dia memberikan kerja tambahan untuk sekretaris ayahnya karena tujuannya agar Alena berhenti bekerja.
Alena segera kembali ke mejanya, dia menghempaskan map kemeja dan nafasnya naik turun, saat dirinya mengingat kerja tambahan yang diberikan oleh Rafli.
"Dasar CEO tidak tahu diri, aku yakin ini pasti akal-akalan dari dia. Dia ingin aku mengundurkan diri dari tempat ini, kalau memang dia tidak sudi memperkerjakanku, kenapa dia harus memanggilku kembali dan sekarang gajiku juga dipotong hanya karena celananya yang sobek. Dasar CEO kepala batu, beruang kutub," omel Alena yang tidak terima dengan kelakuan dari CEO barunya itu.