Sudah dua hari sejak “sarapan meja jujur” itu terjadi, dan suasana rumah berubah. Bukan berubah menjadi lebih damai, melainkan... lebih hening. Tapi bukan hening yang menenangkan, melainkan hening yang bikin tegang seperti sedang menunggu dentuman bom waktu. Bu Lilis tak lagi berkeliaran di dapur. Bahkan suara sendal jepit khasnya yang biasanya bersahut-sahutan di lantai keramik pun tak terdengar. Ia hanya keluar kamar jika perlu — dan itupun dengan ekspresi seperti baru kehilangan undian arisan. Dara? Ia juga tidak berniat membuka obrolan. Bukan karena dendam, tapi karena... ya capek saja. Capek jadi orang paling sabar dalam rumah yang kebanyakan ego. Rafi, si suami yang baru mulai pakai logika, justru mulai kelabakan. Ia merasa berada di tengah antara dua wanita yang sama-sama penting

