"Hachu!" Suara bersin itu sudah terdengar sejak tadi dan pelakunya tentu saja Kania yang kini sedang flu berat karena ulahnya sendiri yang setiap hari keramas pagi-pagi dengan air dingin tanpa memperhatikan cuaca yang buruk demi membuat sang adik tiri panas namun bukan kemarahan dan kecemburuan dari sang adik tiri, justru flu-lah yang kini dia dapatkan.
"Tidak usah seperti ini lagi, Ok? Kalau sudah sakit seperti ini, kamu sendiri yang susah." Bagus menatap kasihan pada sang istri yang kini tengah meringkuk dalam selimut.
"Kalau tidak seperti ini, mana mungkin mereka percaya a'." Tapi sepertinya memang tidak ada yang percaya pasalnya si Catherine kini acuh dan masa bodoh, berbeda sekali dengan reaksinya pertama kali saat melihat rambut Kania dan Bagus yang sama-sama basah.
"Mereka akan percaya."
'Kalau aku tidak seperti ini, si jalang satu itu akan melakukan segala cara untuk melakukan niat piciknya.'
Tok!Tok!Tok!
"Ya?" Bagus bangkit dari atas ranjang yang dia duduki, langsung membuka pintu dan mendapati sang ibu berdiri disana dengan membawa nampan ditangan.
"Maaf mengganggu kalian. Ini ibu bawakan minuman jahe yang dicampur madu untuk nak Kania."
"Oh." Kania langsung bangkit dan menyandarkan tubuhnya di headboard, "Maaf merepotkan, ibu."
"Tidak apa-apa." Senyum wanita paruh baya itu teduh, "Ayo diminum selagi masih hangat."
Kania langsung menyesap cairan hangat yang dibuat oleh sang mertua, sembari menghirup aroma hangat Jahe di hidungnya.
"Maafkan ibu. Ini semua pasti ulah anak ibu hingga membuat Nak Kania seperti ini. Coba saja dia tidak minta jatah terus setiap hari, mungkin tidak akan seperti ini jadinya."
"Bu..." Peringat Bagus pelan, merasa malu dengan apa yang dikatakan sang ibu padahal sebenarnya mereka berdua tidak melakukan apapun.
"Memang kenyataannya seperti itu, kan?!" Sengit Yanti pada sang putra sebelum menolehkan kembali kepalanya pada Kania, "Mau ibu pijit badannya supaya lebih enakkan?"
"Tidak usah, Bu. Kania tidak apa-apa kok."
"Jangan menolak. Biar badanmu lebih enakan." Yanti menarik selimut yang membelenggu Kania, "Ayo sekarang lepas bajumu." Yanti langsung menarik turun cardigan tipis yang membelenggu tubuh Kania yang berbalut tank top tipis bertali spaghetti hingga menampilkan tulang selangka-nya yang cantik.
"Kalau begitu, Bagus keluar dulu." Bagus bangkit dari atas ranjang namun tangannya langsung dicekal oleh sang ibu, "Kenapa harus keluar? Masa lihat badan istri sendiri masih malu?"
"Siapa yang malu?" Bagus mengalihkan pandangannya kearah lain, menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah sampai ke telinga dan Yanti yang tahu bagaimana putranya hanya bisa menahan senyum.
"Ya sudah sana keluar. Jangan masuk sampai ibu keluar."
Bagus keluar dari kamar dan Yanti langsung menoleh kearah sang menantu, "Lucu anaknya ibu. Sudah menikah tapi masih malu-malu sama istrinya."
Sedangkan diluar sana, Bagus langsung pergi ke dapur, menyalakan air untuk mencuci wajahnya yang terasa terbakar.
"Apa yang kau pikirkan, Bagus?!" Gumamnya dengan tangan membasuh wajah dengan keras, berharap pikirannya kembali jernih bahkan kaos putih yang dia pakai sampai basah karena ulahnya itu.
"Aa' kenapa?"
Bagus langsung mengangkat kepalanya dari atas wastafel dan mendapati sang adik ipar berdiri tak jauh darinya.
"Ya?" Manic gadis itu menatap kaos basah Bagus yang kini menciptakan bayang menakjubkan dari otot-otot yang terbentuk sempurna yang selama ini tersembunyi, secara tidak sadar Catherine menggigit ujung bibirnya, membayangkan tubuh kekar dan seksi dari Bagus menindih tubuh kecilnya, saling membagi keringat dan kenikmatan.
"Catherine?"
"Catherine? Hallo? Kamu mau pakai wastafelnya?"
"Catherine?!"
"Tidak." Geleng Catherine cepat saat dia tersadar dari lamunannya, "Aku mau bikin s**u diet." Catherine lantas membuka laci bagian atas, mengulurkan tangannya keatas dengan kedua kaki berjinjit seolah sengaja memberikan pemandangan tubuh seksinya yang hanya berbalut kaos pendek dan celana hotpants yang mengekspos paha mulusnya.
"Biar saya ambilkan."
"Oh ok." Gadis satu itu mundur satu langkah dan membiarkan Bagus mengambilkan kotak s**u miliknya.
"Lain kali letakkan di tempat yang lebih mudah digapai." Bagus menyerahkan kotak s**u itu pada pemiliknya.
"Ya A'." Angguk Catherine pelan karena gadis satu itu sengaja melakukan hal itu.
"Ehm." Bagus hanya menggumam singkat kemudian memutuskan meninggalkan dapur dan juga meninggalkan Catherine yang kini mengelus tubuhnya sendiri dengan jemarinya.
"Melihatnya dalam keadaan seperti itu saja membuatku basah apalagi jika dia tidak memakai apapun." Semakin dipikirkan semakin membuat Catherine mengerang lirih, "Kita mulai pelan-pelan, Catherine. Lihat sendiri kan bagaimana wajahnya bersemu merah saat melihatmu tampil seksi seperti ini." Catherine tertawa menang karena merasa kesempatan merayu Bagus semakin terbuka lebar karena Kania sedang sakit.
"A'. Aa' Bagus bisa bantu, Catherine." Dan kali ini gadis satu itu mendekati Bagus yang sedang membantu tukang kebun membereskan halaman belakang rumah.
"Memang perlu apa?" Bagus mendongakkan wajahnya, menatap kearah Catherine dengan mata menyergit karena silaunya matahari sore.
"Bantu Catherine mengerjakan tugas. Kan Aa pintar masalah matematika."
"Saya hanya lulusan SMA, mana bisa saya mengerjakan tugas anak kuliahan, Catherine. Kenapa Kamu tidak tanya pada Kania saja?"
"Dia sedang sakit mana mungkin bisa berpikir lagipula soalnya hampir mirip seperti soal matematika anak SMA kok." Nada suara Catherine sedikit mendayu disertai bibir kecilnya yang cemberut.
"Sudah bantu saja Non Catherine. Lagipula ini bukan tugasmu, Bagus." Ucap sang tukang kebun dengan nada tidak enak.
"Baiklah."
"Ayo." Tangan Catherine terulur namun sayang Bagus tidak menyambutnya hingga membuat Catherine menarik tangannya kembali dengan kecewa.
Catherine menunggu di ruang tengah dengan beberapa buku diatas meja dan tak lama kemudian Bagus yang baru saja membersihkan dirinya datang dan mengambil duduk di sofa single.
"Coba mana lihat?"
"Kalau Aa jauh begitu mana bisa ngajarinnya." Gadis satu itu bangkit dari duduknya, menyeret Bagus untuk duduk disebelahnya, "Nah beginikan enak." Senyum Catherine puas sebelum akhirnya meraih buku diatas meja dan menunjukkannya pada Bagus.
"Coba ini. Bukankah mirip dengan pelajaran anak SMA?"
Bagus langsung menundukkan wajahnya, membaca buku yang disodorkan sedangkan Catherine mulai menyibak rambut panjangnya dan menarik turun tank top yang dia pakai hingga bagian atas dadanya mengintip malu.
"Saya tidak menyangka kalau pelajaran anak kuliahan sama dengan anak SMA."
"Kan." Ya memang itu pelajaran anak SMA, Catherine sengaja mengkopi soal di internet, "Jadi cara mengerjakannya bagaimana?"Catherine membungkukkan tubuh dan menempelkan dirinya pada lengan Bagus.
"Eh?" Bagus tersentak kaget.
"Kenapa?"
"Bisakah kau sedikit menjauh? Tidak enak rasanya jika ada yang melihat."
"Aa' kenapa sih?" Catherine sedikit menjauh, menatap Bagus kesal dengan tangan bersendekap persis dibawah d**a, sengaja membuat buahnya terangkat keatas dan semakin terekspos, "Kita kan tidak melakukan apa-apa! Lagian, kalau Catherine berniat merayu Aa' untuk apa kita belajar di ruang tengah yang siapapun bisa lewat untuk melihat kita?!"
"Maaf Catherine, saya tidak bermaksud menuduhmu atau membuatmu kesal." Bagus langsung tidak enak hati, dia merasa dia terlalu picik karena secara tidak langsung menuduh adik iparnya itu sedang menggodanya, "Maaf ya."
"Permintaan maaf diterima! Sekarang ayo ajari aku."
"Ok, jadi cara mengerjakan soal nomor satu seperti ini." Bagus meraih pena dan mulai menundukkan kepala sembari menulis rangkaian angka di buku sedangkan Catherine menatap tengkuk Bagus dengan senyum tertahan.
'Batu saja akan mengikis jika terus menerus ditetesi dengan air apalagi libido pria.'
"Ehm." Catherine berdehem kecil, "Aa mau dibuatkan jus? Kebetulan kalau belajar aku selalu ditemani dengan cemilan, buah atau jus."
"Tidak perlu. Nanti merepotkanmu." Bagus menjawab dengan kepala masih menunduk.
"Ok, tunggu sebentar." Catherine langsung bangkit dan pergi ke dapur meskipun tanpa persetujuan Bagus. Gadis satu itu mengambil beberapa buah alpukat, s**u kental manis dan es. Setelah jusnya jadi, gadis itu kembali ke ruang tengah dan menyajikan apa yang dia bawa.
"Nih A minumannya."
"Terima kasih." Bagus tersenyum dan langsung meraih salah satu gelas diatas meja, meneguknya dalam tegukan besar hingga sisa setengah.
"Coba saladnya juga dong. Itu aku loh yang buat."
"Ehm." Bagus hanya menganggukkan kepalanya singkat kemudian meraih salad buah yang ditawarkan Catherine padanya.
"Enakkan?"
"Hm." Anggukan kepala yang dilakukan secara tidak sadar itu membuat Catherine tersenyum semakin lebar. Gadis itu semakin optimis merebut Bagus dari sang kakak karena dia tahu kakaknya itu tidak bisa melayani sang suami.
"Kalau Aa mau sesuatu bilang saja pada Catherine. Catherine serba bisa kok."
"Serba bisa dalam hal apa?"