"Brak!"
Kania mengangkat wajahnya, menatap kearah pintu lewat bayangan yang terpantul di cermin, menatap sosok sang adik tiri yang kini menatapnya dengan amarah yang meluap sebelum akhirnya menutup pintu dengan cara dibanting.
"Kamu memang b******k, Kania!" Sembur Catherine dengan amarah tak ditutupi, "Kamu tahu kalau aku suka pada Aa' Baguskan makanya kamu melakukan semua ini?!"
"Oh ya? Maaf aku tidak tahu. Tapi, meskipun aku tahu, aku tetap akan menikahi Aa Bagus sesuai dengan perintah ayah. Lagipula, kalau bicara mengenai b******k atau tidaknya aku, bukankah lebih b******k dirimu."sudut bibir Kania terbit, mengejek, "Ingat apa yang kamu lakukan bersama para mantan pacarku?" Kania membalas dengan tenang umpatan adiknya itu, "Mungkin apa yang kamu dapatkan kini adalah karma atas perbuatanmu sendiri."
"b******k!" Catherine hendak menerjang sang kakak namun beruntung pintu terbuka setelahnya, menampilkan sosok Seruni yang langsung menahan sang putri, "Sudah cukup! Jangan luapkan amarahmu sekarang dan jangan buat malu."
"Ini semua karena Mama!" Sentak Catherine kesal pasalnya selama hampir satu bulan usaha wanita itu dalam membujuk sang suami untuk membatalkan perjodohan Kania dan Bagus namun akhirnya gagal.
"Mama sudah berusaha Catherine." Sentak Seruni tertahan, "Kalau kamu mau mengamuk jangan sekarang. Jangan buat semuanya kacau hingga membuat Mama kena masalah." Tegur Seruni tegas pada sang putri sebelum akhirnya menatap kearah Kania dengan dingin, "Kita keluar sekarang Kania karena proses ijab kabul sudah selesai." Dengan terpaksa Seruni menuntun anak tirinya itu untuk keluar kamar pengantin, membawa sosok gadis yang kini resmi menyandang suami orang itu untuk menemui pria yang telah sah mempersuntingnya.
Kedatangan sang pengantin wanita yang sangat cantik dalam balutan singger Sunda sempat membuat Bagus yang duduk didepan penghulu tidak berkedip menatap kecantikan gadis yang kini telah menjadi istrinya itu bahkan sang penghulu sampai dua kali memangil namanya.
"Nak Bagus, sudah dulu terpesonanya dengan sang istri. Sekarang mohon tanda tangan di buku nikahnya."
"Iya. Maaf." Suara berat itu mengalun sedikit bergetar karena gugup dan tangan besarnya meraih pena dan membubuhkan tanda tangan di buku nikah yang kemudian diikuti oleh Kania.
"Sekarang kalian sudah resmi dan sah menjadi suami istri." Sahut sang penghulu yang kemudian membuat Kania langsung meraih jemari Bagus dan memberikan kecupan lembut dijari pria itu sebagai bentuk rasa hormat dan dibalas kecupan malu-malu di puncak kepala sang istri sebagai bentuk rasa sayang.
"Tolong jaga putra ibu ya, Nak." Untuk pertama kalinya Kania bertemu secara langsung dengan ibu dari suaminya yang didatangkan langsung dari Bandung untuk prosesi pernikahan mereka.
"Ibu tidak perlu khawatir soal Bagus dan seharusnya Baguslah yang wajib menjaga istri Bagus." Pria itu melirik kecil pada sang istri diiringi seulas senyum tipis.
Satu persatu tamu undangan datang, memberikan selamat pada kedua mempelai yang tampaknya terlihat bahagia di pelaminan sana hingga membuat Catherine yang bertugas sebagai salah satu panitia acara mencengkram kebayanya keras, menahan segala amarah dalam d**a karena merasa seharusnya dialah yang ada di atas pelaminan sana bersama sang pujaan hatinya, tertawa satu sama lain dengan pandangan penuh cinta setelah sebelumnya Kania berbisik di telinga Bagus.
"Sialan! Aku tahu kalau kamu sengaja, Kania Sialan! Awas saja, kau setelah ini!" Catherine menghentakkan kakinya kesal dan langsung berbalik arah namun sebelum kakinya melangkah tangannya sudah dicengkeram oleh sang ibu.
"Mau kemana? Acara belum selesai?"
"Mau ke toilet. Kenapa? Mama mau ikut?!" Sentak Catherine tertahan sebelum akhirnya pergi membawa rasa kesal yang menumpuk didada.
Dan Kania yang melihat tingkah kesal adik tirinya itu tersenyum menang dalam hati.
'Permainan belum dimulai tapi kamu sudah kepanasan, Catherine.'
"Apa anda tidak lelah?" Suara berat itu membuat Kania langsung mengangkat kepalanya menatap sang suami.
"Jangan terlalu formal. Ingat, jangan buat orang lain merasa aneh dengan kita." Peringat Kania kecil, gadis itu lantas mengulurkan tangannya, meminta Bagus untuk mengikutinya menuju kamar pengantin mereka.
"Saya tidur di sofa saja." Ucap Bagus begitu mereka sampai di dalam kamar setelah sebelumnya pria itu melihat kamar pengantin yang dihias penuh bunga mawar merah diatas ranjang, lilin-lilin kecil disetiap sudut dengan ruangan dengan aromaterapi yang menggoda.
"Ok."angguk Kania tidak ambil pusing, "Kalau begitu mandilah dulu, biar aku bereskan kamar ini."
Bagus meraih tas kecilnya yang sudah diletakkan disudut kamar, mengambil beberapa baju dan handuk untuk dibawa kekamar mandi meninggalkan Kania yang menarik nafas lega setelah sebelumnya menyembunyikan rasa malunya karena kamar miliknya dihias seolah mereka akan melakukan malam pertama.
"Bisakah, anda mematikan AC-nya?" Kania hendak memejamkan mata saat suara Bagus mengalun dari ujung sofa sana.
"Cuacanya panas sekali, kalau AC mati kita bisa mandi keringat, A'."
"Tapi Aku tidak kuat dengan suhu AC."
"Hah?" Kania langsung duduk dan menatap sang suami diujung sofa dengan cahaya remang-remang karena lampu sudah dimatikan.
"Saya bisa sakit kalau kena AC." Suara itu serak disertai hisapan ingus diantara nadanya.
"Lalu kalau AC-nya mati, bagaimana aku bisa tidur?" Bandung jauh lebih dingin daripada Jakarta dan Kania baru menyadari itu, "Baiklah, aku mengalah kali ini." Amora meraih remote AC dan mematikannya, demi membuat dirinya tidak mandi keringat, Kania menendang selimut tebalnya dan mengikat rambut hitamnya.
"Sepertinya kita harus ganti kipas angin saja di kamar ini." Kania meraih kertas tipis sebagai kipas, "Aa' tidak masalah dengan kipas angin, kan?"
"Tidak." Sosok yang semula membungkus diri dengan sweater dan selimut tebal itu langsung melepaskan semua yang melekat pada tubuhnya hingga menyisakan singlet tipis. Bayang yang tercipta diatas sofa sana sangat tipis, namun tetap saja Kania malu hingga membuatnya langsung ngsung membaringkan tubuh, menyembunyikan wajah meronanya dibalik bantal.
"Sudah tidur? Baiklah selamat malam." Dan Baguspun ikut membaringkan tubuh, menyamankan tubuh besarnya di atas sofa sempit yang mungkin akan menjadi tempat tidurnya malam ini.
Malam berganti dengan cepat dan suara sayup kokokkan ayam milik Suseno terdengar dan Kania bangun terlebih dahulu diantara mereka berdua langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dari ujung kepala hingga ujung kaki. Butuh waktu hampir 30 menit hingga gadis itu selesai namun sosok yang tidur diatas sofa belum membuka mata hingga membuat Kania harus membangunkannya.
"Sialan. Cobaan apa ini?!" Kania menelan ludah serat menatap pemandangan menggiurkan tubuh kekar dengan pahatan otot kokoh yang membayang di singlet tipis berwarna putih serta tonjolan nakal yang terlihat bangun dipagi hari akibat pendeknya celana basket yang dipakai sang suami, semalam tidak terlalu jelas namun dipagi hari Kania bisa melihat semuanya.
"A' bangun." Jari kecil itu menyentuh otot bisep Bagus sedangkan wajahnya berpaling kearah lain.
"A' Bangunlah!" Pada akhirnya Kania meraih jam weker, mengatur waktunya dan meletakkannya disamping telinga Bagus dan satu menit kemudian, bunyi nyaring memekakkan telinga berhasil membuat pria itu tersentak dalam tidurnya dan langsung menatap Kania si tersangka dengan wajah kesal karena jantungnya berdegup kencang karena kaget.
"Maaf. Habis Aku tidak tahu bagaimana lagi cara membangunkan Aa'." Ringis Kania penuh rasa bersalah.
"Ya, tidak apa-apa." Keluh Bagus pelan sembari memijat keningnya yang berdenyut, "Jangan diulangi lagi, Ok."
"Iya." Angguk Kania mantab, "Bisakah kamu untuk keramas." Kania memintanya dengan menunjuk rambutnya sendiri yang basah dan Bagus hanya menganggukkan kepalanya tanpa bertanya apa-apa.
Pintu kamar mandi terbuka dan tubuh besar Bagus langsung diserbu oleh Kania dan didudukkan didepan meja rias, gadis satu itu lantas meraih alat make up dan meminta Bagus untuk mendongakkan kepalanya.
"Untuk apa?" Bagus mengerutkan alisnya saat melihat sang istri mengoleskan warna merah keunguan disana.
"Biar kita sama." Ucap Kania sembari menunjuk lehernya yang berwarna merah keunguan dibeberapa sisi, "Masa seperti saja tidak mengerti." Amora memutar matanya, "Kiss mark. Cupang."
"Yakin tidak akan ketahuan kalau ini palsu?"
"Tidak akan." Sahut Kania yakin sembari menatap penuh teliti hasil karyanya di leher sang suami dengan puas, "Sekarang ayo kita keluar." Kania mengulurkan tangan dan langsung disambut oleh Bagus, keluar dari kamar dengan kedua tangan saling terpaut.
"Pagi semuanya." Suara riang dengan wajah secerah sinar matahari pagi memancar diwajah ayu Kania, menyapa semua orang yang ada di meja makan. Gadis itu duduk setelah menarikkan kursi untuk sang suami namun sayang ekspresi bahagia Kania berbanding terbalik dengan ekspresi sang adik yang kini terlihat marah dengan jemari mencengkram erat sendok dan garpu yang ada ditangannya. Menatap penuh amarah saat melihat rambut basah dan juga rona merah keunguan yang sengaja ditunjukkan oleh pasangan itu. Catherine bukan orang bodoh untuk tidak bisa menebak apa yang terjadi semalam.
"Sepertinya tidur kalian tidak cukup nyenyak semalam." Goda Suseno diselingi tawa lebarnya, "Anak kita ternyata sudah dewasa Yanti." Manic tua Suseno menoleh kearah sang besan dengan mengedipkan matanya.
"Jangan diperjelas, Ayah." Bibir Kania cemberut dengan wajah bersemu merah sembari menyembunyikan wajahnya di balik bahu tegap sang suami.
"Jangan malu. Kami juga pernah muda." Kelakar Suseno.
"Brak!" Tanpa sadar tangannya menggebrak meja hingga seluruh perhatian menuju kearah si bungsu, "Aku tidak lapar." Dan gadis itu hendak bangkit dari duduknya namun tangannya langsung ditangkap oleh sang ibu.
"Duduk!" Nada suara itu begitu pelan tapi Kania tahu ada kemarahan yang tersimpan dalam nada suara ibu tirinya itu, "Jangan bersikap tidak sopan dihadapan Ayahmu dan tamunya."
"Kamu belum makan sama sekali sejak semalam, Catherine. Jadi duduklah. Habiskan sarapanmu." Sahut Suseno dengan suara lembutnya hingga membuat Catherine kembali duduk di tempatnya, menghabiskan menu sarapan paginya dengan manic menatap tajam penuh dendam pada sang kakak.
Sarapan usai dan satu persatu kembali ke rutinitas masing-masing dan Kania yang sengaja tidak mengikuti sang suami dan mertuanya yang kini sedang bicara serius dengan sang ayah.
"Aa' Bagus ternyata gagah sekali ya." Kania meraih gelas yang ada di laci dan mengisinya dengan air dingin, meneguknya pelan kemudian melanjutkan perkataannya, "Kamu tahu apa yang kami lakukan semalam?" Dengan sengaja Kania mengigit ujung bibirnya, "Miliknya sangat besar hingga membuatku menjerit kesakitan namun tidak lama karena dia pintar sekali bermain hingga akhirnya aku hanya mampu mendesah kenikmatan dibawah kendalinya. Staminanya sangat besar, tak lelah dan terus menggempur tubuhku sampai rasanya pinggangku hampir patah. Apakah kau tahu bagaimana suara desahnya, tubuh besarnya yang menindih tubuh kecilku." Kania sedikit melirik Catherine, melihat ekspresi gadis satu itu, "Bagaimana lidah dan bibirnya menelusuri tubuhku penuh dengan puja..."
"Brak!"
Tubuh mungil itu terbentur dinding dan kuku lancip sang adik menekan urat leher sang kakak dimana bekas keunguan itu berada, "Bisakah kamu berhenti bicara?!" Gigi Catherine bergemeletuk keras dengan tatapan menghunus tajam.
"Jika kamu berniat membuatku kesal, selamat kamu menang Kania. Tapi ingat satu hal, Aku tidak akan membiarkan kebahagiaanmu berlangsung lama. Camkan itu."
"Coba saja." Seulas senyum terbit di bibir Kania dan dengan mudahnya gadis itu melepaskan cengkraman sang adik dan mendorong tubuhnya untuk menjauh, "Aku menunggu, Catherine." Kania pergi meninggalkan Catherine yang terdiam. Dan beberapa saat kemudian, Catherine mengangkat jemari polosnya yang tadi menyentuh bukti cinta Bagus pada Kania namun bukannya marah, gadis satu itu justru tertawa.