Pemandangan Liar
“Itu apaan?”
“Mana sih?”
“Itu loh.”
“Astaga! Kok bisa nggak malu ciuman di tempat terbuka, tempat umum, dilihat banyak orang.” Lita menutup matanya.
“Bego! Kita lagi di Bali, wajarlah....apalagi ini tempat private juga.”
Lita membuka matanya mendengar penuturan Dara, sahabatnya.
“Ya, benar. Kita lagi di Bali. Siapa memang dia? Pastinya tamu undangan, kalau ada disini artinya tamu undangan Kang Fandi. Masa Kang Fandi punya teman yang nggak ada akhlak begitu.” Lita menggelengkan kepalanya.
“Ya, sudahlah lagian mereka sudah dewasa juga. Kamu aja yang nggak tahu gimana orang dewasa pacaran, kakak kamu yang mau nikah besok pastinya juga nggak jauh beda. Udah nggak usah lihat begituan nanti malah pengen dan nggak ada lawannya.”
“Kamu pengen ya? Harusnya kamu ajak Bang Arta buat kesini.” Lita menggoda Dara yang kembali mendapatkan pukulan ringan di lengan.
Dara menarik tangan Lita agar berjalan ke tempat lain, pemandangan yang mereka lihat tidak bagus pasalnya mereka berdua tidak memiliki pasangan atau kekasih. Lita yang ditarik hanya diam mengikuti, sambil sesekali melihat ke belakang tempat dimana mereka berciuman.
“Cowoknya lebih muda,” ucap Lita tiba-tiba.
“Maksudnya?” Dara menghentikan langkahnya menatap Lita penuh selidik.
“Coba kamu lihat. Cowoknya itu loh usianya kaya nggak jauh beda sama kita, tapi ceweknya...kaya udah tua gitu.” Lita memberi kode pada Dara untuk melihat apa yang dimaksud.
“Kamu ngapain mikir begituan, buruan kita balik. Kita semalam udah di tempat calon kakak iparmu, sekarang harus segera kembali ke tempat semula. Lagian ngapain sih masih lihatin mereka? Kamu penasaran? Makanya buruan cari cowok biar tahu enaknya ciuman.” Dara menarik tangan Lita kembali.
Tidak mau membantah sahabatnya, memilih mengikuti tanpa perlu ditarik kembali. Lita memilih tidak peduli dengan pemandangan dihadapannya, menghilangkan pikiran negatif yang ada didalam otaknya, tapi sayang kepalanya selalu melihat kearah dimana mereka berada.
“Astaga! Itu ngapain?” teriakan Lita menghentikan langkah Dara.
“Apaan sih?” Dara menatap bingung dan mengikuti arah jari Lita “Astaga! Kamu masih lihat begituan? Udah....mata kita semakin ternoda.”
Dara menarik Lita agar melanjutkan langkahnya dengan tidak menghiraukan pemandangan gila itu, tidak bisa membantah karena tangannya sudah ditarik erat oleh Dara. Memilih mengikuti Dara tanpa memikirkan pemandangan yang baru saja dilihatnya, berada di Bali dari kemarin dan menghabiskan waktu di tempat tinggal calon kakak iparnya lalu pagi menjemput Dara yang berada di penginapan lain.
“Kita nongkrong aja, aku tadi habis ngerampok Kang Fandi sama Kang Hardian.”
“Kang Seno? Nggak bisa? Teh Berry ada disampingnya?” Dara menggoda Lita yang mengerucutkan bibirnya “Kita ke ice cream aja gimana? Naik apaan?”
Pandangannya kearah sekitar mencari seseorang yang bisa diajak bicara, tidak menemukan siapapun akhirnya memilih ke tempat dimana front office berada. Lita berharap bisa mendapatkan kendaraan untuk bisa keluar dari penginapan, Dara mengikuti dari belakang tanpa mengeluarkan suara.
“Kami tanya dulu sama Ibu Rere.” Lita menganggukkan kepalanya.
Menunggu sambil berbicara dengan Dara, membicarakan hal apapun yang bisa membunuh rasa bosan dari menunggu jawaban tentang permintaannya. Lita terdiam saat mengingat pria yang berada di pantai, tempat ini sangat private tidak mungkin mereka sepasang suami istri.
“Mbak, apa bisa orang diluar undangan masuk kesini?” tanya Lita langsung pada pegawai hotel yang lain dengan Dara mengerutkan keningnya.
“Tidak bisa, mbak. Kita bahkan tidak membuka reservasi dari luar, semua yang berada disini adalah undangan dari mempelai. Memang kenapa?”
Lita langsung menggelengkan kepalanya “Terima kasih, bagaimana kelanjutannya?”
“Mbak mau kemana? Kalau disini sedikit jauh dari pusat kota.”
“Kami mau beli ice cream yang terkenal itu, mbak.” Lita menjawab tidak enak.
Karyawan hotel kembali meninggalkan Lita dan Dara dengan kembali sibuk menghubungi seseorang yang pastinya pemilik hotel. Menatap apa yang karyawan itu lakukan dengan saling pandang satu sama lain, tidak lama karyawan kembali kearah Lita dengan sedikit harapan jika bisa pergi meninggalkan tempat ini untuk sementara.
“Kalian berdua bisa kembali ke kamar, ice creamnya akan dikirim ke kamar nantinya. Mbak Rere tanya kalian mau yang rasa apa?”
Lita dan Dara saling menatap satu sama lain mendengar jawaban yang diberikan mbak si karyawan hotel.
“Kita nggak boleh keluar? Kalau pesan kendaraan online?” tanya Lita penasaran.
“Mbak akan habis banyak kalau pesan kendaraan online.”
“Apa aku pinjam saja mobilnya? Aku bisa keluar sendiri.” Lita masih tetap usaha agar mendapatkan keinginannya keluar menikmati keadaan Bali.
“Maaf, mbak.”
“Udah, lagian besok Kang Fandi nikah masa kamu tinggal jalan-jalan. Kapan-kapan aja kita liburan di Bali.” Dara menghentikan Lita yang akan berdebat kembali “Kalau gitu kita pesan saja, mbak. Bisa minta kertas dan bolpoint untuk catat pesanan ice creamnya? Tapi apa tidak mencair?”
“Kami usahakan tidak.” Karyawan memberikan apa yang Dara minta.
Tanpa menunggu lama langsung mencatatnya, melihat itu Lita melakukan hal yang sama. Menyerahkan catatan beserta uang pada karyawan hotel yang langsung ditolak, Lita dan Dara saling menatap satu sama lain.
“Ibu Rere berpesan tidak menerima uang dari Mbak Lita.”
“Makasih, nanti kami akan bicara langsung sama Kak Rere.” Dara menarik Lita yang masih terdiam.
“Aku nggak enak, Dara. Aku nanti pasti dimarahin pas balik ke hotel sebelah.” Lita mengerucutkan bibirnya.
“Rezeki anak sholeha.” Dara menarik Lita menuju ke pinggir pantai “Gila! Bagus banget pemandangannya.”
“Bagus, semoga yang berbuat m***m nggak ada lagi.” Lita menatap sekitar dan tidak menemukan pasangan tersebut.
“Ngapain lihat mereka? Pemandangan masih banyak yang lain, tuh...hamparan laut. Kita kesana gimana?”
Lita menggelengkan kepalanya “Kamu aja, aku mau pesan minuman.”
Berjalan meninggalkan Dara menuju restoran terdekat, memesan beberapa menu yang akan mereka berdua nikmati sambil menatap laut. Lita tahu jika sekarang sangat panas, tapi setidaknya hanya ini hiburan yang bisa dinikmati.
“Lita, aku tunggu di kamar aja. Nggak tahan.” Lita hanya menggelengkan kepalanya.
“Jadi dikirim kemana?” tanya karyawan restoran.
“Kamar 2011, ice creamnya juga dibawa kesana ya.” Lita mengatakan dengan sopan yang diangguki karyawan restoran.
Lita memilih tidak langsung ke kamar, duduk di tempat yang bisa membuatnya mengambil foto. Kemarin dirinya menghabiskan waktu seharian di pantai, mengambil foto bersama dengan saudara-saudaranya dan sekarang memilih menghabiskan waktu dengan sang sahabat.
“Mereka masih disini?” Lita menatap tidak percaya.
Bukan pemandangan seperti sebelumnya, melainkan sang wanita yang hanya memeluk sang pria dengan erat dan si pria yang mencium puncak kepala sang wanita. Lita menatap lebih jauh, tampak jelas sekali perbedaan usia mereka berdua. Menggelengkan kepalanya melihat pemandangan yang sudah merusak matanya.
Lita dekat dengan banyak laki-laki, tapi tidak pernah segila ini. Hubungan orang dewasa memang tidak sama dengan remaja, mungkin bagi Lita melihat pemandangan tadi adalah hal tabu yang aneh dan sudah merusak pikiran juga mata.
“Mereka merusak otak dan mata.”