bc

Halo, Calon Ibu Anak-anakku!

book_age18+
11
FOLLOW
1K
READ
alpha
love-triangle
playboy
badboy
confident
sweet
bxg
male lead
office/work place
addiction
like
intro-logo
Blurb

Mencari istri adalah sebuah prosesi yang sakral dan tidak bisa main-main, akankah bisa dilakukan hanya dalam waktu singkat seperti yang akan dilakukan oleh Arjuno. Akankah dia bisa memenuhi janji kepada Ibunya untuk segera mendapatkan calon ibu dari anak-anaknya yang belum lahir? Pemuda itu membuat sebuah daftar pencarian yang berisi nama-nama gadis yang pernah dekat dan sempat ingin didekatinya. Mereka yang pernah dekat satu persatu ditemuinya namun mereka menolak kembalinya pemuda itu karena alasan yang pernah diperbuatnya di masa lalu.

Percaya diri Arjuno perlahan meluntur dan mulai ada keraguan dalam dadanya tentang target satu bulan yang pernah dikatakannya kepada sang Ibu, dia mulai merasa apa yang diucapkannya mungkin tidak akan tercapai.

Pemuda itu berada dalam kegamangan antara menyelesaikan target satu bulannya atau menyerah kalah karena jangka waktu yang disepakati dengan orang tuanya pun telah terlewati. Dia sempat berdebat dengan dirinya sendiri antara terus melanjutkan misinya atau menyerah dan mengakui ketidakmampuannya dalam mencari pendamping hidup.

Dalam kegalauannya dia berandai-andai jika saja dulu saat masih bersama dengan Shopia, ketika Mimi memintanya mencari pendamping hidup pastilah dia akan menikahi Makhluk Jenong Tercantik yang pernah hidup itu. Kenyataannya berbanding terbalik karena gadis itu telah meninggalkannya untuk menikah dengan laki-laki yang kerap membuat dia ingin mengacungkan jari tengah kepadanya.

Arjuno akhirnya memutuskan untuk tidak menyerah, disela semangatnya yang turun dia berusaha memotivasi dirinya sendiri untuk kembali melanjutkan menemui nama-nama yang ada di daftarnya. Dengan dibantu dengan seorang sepupunya yang usianya berusia lebih muda darinya, Arjuno menemui satu orang terakhir yang ada di daftar pencariannya. Akankah gadis yang ditemuinya akan bersedia menjadi calon ibu dari anak-anaknya yang belum lahir itu?

chap-preview
Free preview
Sebuah Tanya
Dalam tidurnya yang tak lelap, Arjuno tak sengaja mendengar Ibunya sedang bercerita dengan suara seseorang yang akrab di telinganya, suara itu adalah milik Bibinya. Pemuda berkulit sawo matang itu menyimpulkan sepertinya mereka sedang membahas tentang sebuah hal yang lumayan serius, tetapi dia tidak bisa menyimpulkan apa yang yang menjadi topik pembicaraan karena terkesan ngalor-ngidul. Dia sempat menyesali mengapa memilih tidur di sofa yang ada di ruang tamu karena mau tak mau pasti tak akan khusyu merajut mimpi dan membuat pulau buatan di bantal. Mengapa gue nggak tidur di kamar aja sih? Pemuda itu bergumam dalam hatinya. Akhirnya Arjuno menghempaskan harapannya untuk melanjutkan mimpinya kembali dan memilih untuk bangun. Sandaran sofa yang tak empuk lagi menyambut bahu yang masih belum siap untuk berdiri tegak, kedua mata pemuda itu melihat perempuan yang usianya lebih tua beberapa tahun darinya sedang bercakap dengan Mimi, ibu Arjuno. Pemuda berkulit sawo matang itu masih belum bisa menyimpulkan apa yang dibahas oleh mereka padahal sudah menangkap kata dan kalimat yang diucapkan oleh Bibinya. Konsentrasi dia beralih ke layar televisi yang sedang menayangkan berita yang ternyata sama sekali tak menarik untuk dilihat. Kedua matanya beralih kembali, kali ini melihat jam yang ada di tembok atas TV, sudah jam satu siang lewat. “Mungkin secangkir kopi hitam akan membuat suasana lebih indah saat bangun tidur seperti ini. What a nice idea!” ujar pemuda itu sambil beranjak dari sofa dan menuju ke dapur untuk membuat apa yang terlintas di benaknya baru saja. Semerbak aroma kopi hitam menyapa indera penciumannya, sungguh sangat menyenangkan sekali, dalam sekejap kafein telah membuat otaknya terasa senang. Arjuno membawa cangkir keramik yang masih mengepul itu ke ruang tamu, di mana ada Mimi dan Bibinya yang masih bercakap. Matanya sejenak menatap kedua perempuan yang ada di hadapannya, lalu sebuah helaan napas mengikutinya karena dia masih belum menangkap apa yang menjadi garis besar perbincangan itu. Beberapa teguk kafein telah membasahi tenggorokan pemuda itu dan memberikan efek yang sudah diduga sebelumnya, otak lebih rileks. Arjuno menyandarkan bahunya kembali, matanya menerawang melewati ambang pintu yang terbuka lebar. Matanya yang sedang menatap ayam-ayam di halaman teralihkan oleh sebuah mobil bak terbuka berisi dengan kasur, lemari dan perlengkapan lainnya. Kendaraan roda dua itu berhenti tepat di depan rumah dan menurunkan semua perabotan yang dibawanya tadi. Ada sebuah pertanyaan yang datang menghampiri benaknya kala itu, Itu perabotan punya siapa? Arjuno beranjak mengikuti Bibi dan Miminya yang ikut merapikan perabotan yang baru diturunkan itu, dia bergeming dengan cangkir kopi ada di tangan kanannya. Tak ada satu hal pun yang dilakukannya, hanya menatap dari jarak tiga meter dengan benak mulai merangkai pertanyaan kembali. Setelah mengamati benda-benda yang sudah ditata rapi di beranda depan rumah itu, Arjuno sudah bisa menyimpulkan suatu hal, itu adalah perabotan yang biasanya digunakan untuk melamar seorang perempuan, tetapi milik siapa? Gue? Nggak mungkin. Pertanyaan-pertanyaan mulai memadati benaknya tanpa diikuti sebuah jawaban satupun. “Bodo ah! Ngapain juga gue mikirin hal-hal yang nggak gue ngerti tujuannya buat apa,” gumamnya dalam hati. Ternyata sikap masa bodohnya tak bisa begitu saja membuatnya tak peduli dengan benda-benda yang ada di beranda. Pemuda itu memandangi perabotan itu tanpa berani bertanya kepada dua perempuan yang sedang berbincang kecil di hadapannya. “Pasti ada sesuatu di sana,” kata pemuda itu sambil mengangguk-angguk kecil. “Apa mungkin itu adalah barang-barang bawaan untuk melamar adik gue yang perempuan? Apa iya? Atau mungkin adik gue yang laki-laki akan melamar calon istrinya? Mana mungkin, adik gue yang laki-laki itu kan masih kecil, Mikail masih segede precet.” Kembali kopi membasahi tenggorokan pemuda itu perlahan, kenikmatan kafein itu sejenak mengabaikan pertanyaan-pertanyaan yang sempat bertandang di benak. Arjuno melangkahkan kakinya mengikuti dua perempuan yang sudah lebih dulu kembali menuju ruang tamu. Pemuda itu kembali duduk di sofa yang sempat menjadi tempat tidurnya. “Jun!” Terdengar suara Mimi memanggil pemuda itu. Dia menoleh ke sumber suara, tiba-tiba dadanya berdesir. Ada apa ini? “Iya, Mi?” Pemuda itu menatap orang tuanya itu dengan sebuah tanda tanya. “Perabotan udah Mimi beliin tuh, tinggal cari ceweknya,” ujar Mimi. Kalimat yang diucapkan oleh perempuan itu membuat Arjuno terdiam, dia menatap orang tuanya itu sambl berusaha menafsirkan lebih dalam makna yang diucapkan. Sebuah kerutan dahi terlihat sebagai jawaban dari kalimat yang dikatakan oleh Mimi. Arjuno masih menatap orang tuanya itu dengan pertanyaan yang ditelan kembali. “Apa maksud dari kalimat ‘Perabotan udah Mimi beliin tuh?’” tanya pemuda itu ke dirinya sendiri. “Jadi, benda-benda yang ada di beranda itu buat gue mencari istri?” Sebuah helaan napas melengkapi tatapan matanya melihat perabotan yang terlihat dari ruang tamu itu. Pemuda itu diam, sebuah tegukan kopi digunakan untuk membuat rileks kembali otaknya dan berharap bisa memantik jawaban dari sebuah tanya dari pertanyaan-pertanyaan yang bertandang. Di daerah tempat tinggal Arjuno, memang sebuah kebiasaan jika akan menikahi seorang perempuan maka akan membawa perabotan-perabotan seperti itu, kasur, tempat tidur, lemari, dan benda-benda lainnya. Itu juga biasanya masih ditambah dengan uang tunai di saat acara lamaran. Pemuda itu menyandarkan tubuhnya di sofa yang sudah seperti batu, matanya menewarang ke langit-langit ruang tamu. Sekilas terbayang tentang seorang guru TK yang sempat dengannya beberapa waktu lalu namun sekarang sudah hilang komunikasi gara-gara dia sempat menjalin kisah dengan Anna. Arjuno mengalihkan matanya kembali ke Miminya, ternyata selain orang tuanya itu, Bibi juga sedang menatapnya. Perempuan berusia kurang dari tiga puluh tahun itu sepertinya memang menunggu jawaban dari Arjuno. Pemuda itu menelan ludah berusaha menghilangkan kegugupannya yang datang perlahan. Mengapa harus gugup juga padahal? “Jadi kapan?” Mimi mepertegas lagi pertanyaannya. Pemuda itu kembali menelan ludah setelah mendengar pertanyaan itu. Mengapa harus ada pertanyaan seperti itu disaat gue sedang jomblo kayak begini? Mengapa tiba-tiba Mimi belanja perabotan untuk melamar tanpa kompromi dulu? Arjuno menengadahkan kembali wajahnya ke langit-langit, dia berusaha mencari jawaban dari batas atas ruang tamu itu. “Siapa yang akan gue ajak menikah dalam keadaan jomblo kayak gini? Tapi ... bukankah gampang mengajak perempuan menikah? Apalagi mereka yang sudah berusia di atas 23 tahun?” Pemuda berkulit sawo matang itu terkekeh dalam hatinya, dia mengangguk-angguk kecil karena telah menemukan sebuah ide yang akan memudahkannya untuk bisa memberikan jawaban dari sebuah tanya Mimi itu. “Siapa yang akan gue ajak menikah lebih dulu kalau begitu?”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.7K
bc

My Secret Little Wife

read
96.8K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook