Keesokan harinya.
6 hari sebelum kepulangan Garka.
New York City, US
09.00 AM
Pintu terdengar diketuk. Seorang laki-laki yang tengah duduk bersandar di atas ranjang pasien sambil memegang buku menoleh ke arah pintu.
"Masuk," ucapnya lantang.
Pintu berwarna putih itu terbuka, menampilkan sosok Dylan dengan balutan kemeja dan jas hitamnya. Laki-laki paruh baya itu tersenyum sambil menghampiri ranjang pasien. Penampilannya begitu segar dan penuh wibawa. Di usianya yang sudah cukup berumur, pesona Dylan tidak menyurut sama sekali.
Proporsi tubuhnya yang tinggi dan tegap dengan otot timbul yang sempurna. Dylan memang senang olahraga dan menerapkan prilaku hidup sehat. Wajahnya pun tidak terlihat jika dia sudah berumur.
"Bagaimana kabar mu sekarang, Garka?" tanya Dylan penuh perhatian.
"Lebih baik," jawab Garka.
"Apa terapi mu sudah selesai dilaksanakan?"
Garka mengangguk, "Sudah, satu jam yang lalu."
Dylan tersenyum, "Apa yang kau rasakan setelah terapi itu?"
"Lebih ringan," ucap Garka. Ia menutup buku yang tadi dibacanya lalu menyimpannya di atas nakas. "Hanya saja kakiku masih lemas. Belum lagi efek dari patah tulang nya, masih terasa berdenyut," lanjutnya.
"Maaf aku tidak menemani mu terapi."
Garka terkekeh, "Tak masalah. Aku tau kau banyak pekerjaan."
Dylan terdiam sejenak. Ia menatap Garka ragu.
"Ada apa?" tanya Garka saat melihat Dylan seakan ingin membicarakan sesuatu dengannya. "Katakan lah."
"Aku naik jabatan menjadi CEO dengan perintah Reno," ucap Dylan. "Bukan aku yang memintanya. Reno sendiri yang menunjukku, aku sendiri bahkan belum percaya diri untuk merangkap jabatan ini. Seharusnya keturunan Argeswara lah yang berhak."
Garka mengangguk-angguk, "Aku sudah menduganya. Kau memang cocok pada posisi itu. Tenang saja Uncle, aku tidak keberatan sama sekali. Karena aku percaya penuh padamu."
"Ya, sampai kau sudah siap nanti. Kau yang akan menggantikan posisiku, Garka."
"Mungkin." Garka terlihat tidak tulus saat mengatakannya. Mengingat status hubungannya dengan Reno yang sangat tidak baik.
Dylan menghela nafas. Ia menarik sedikit dasinya yang terasa mencekik leher itu. "Apa kau ingin tahu bagaimana kondisi Reno satu tahun belakangan ini, Garka?"
"Tidak," jawabnya singkat dan padat.
"Dia... begitu frustasi menunggu kabar bangunnya dirimu dari koma."
Garka terdiam, ia menatap kedepan dimana terdapat sebuah televisi berukuran besar terpampang disana. Meskipun ia mengucap tidak, tapi telinganya masih mendengarkan dengan seksama.
Ia juga penasaran akan kabar Papanya yang arogan dan diktator itu.
"Papamu juga menderita, Garka. Dia selama ini sakit." Dylan tidak punya alasan lagi untuk menutupi rahasia Reno ini. Bagaimana pun juga Garka harus tahu. Dia ingin hubungan keduanya membaik sebelum terlambat.
"Reno menderita kanker paru-paru stadium akhir," ucap Dylan lirih. Tidak terdengar nada kebohongan sedikit pun seakan apa yag diucapkan Dylan memang sebuah fakta.
Sejenak dapat Dylan lihat jika tubuh Garka menegang di tempatnya. Tatapan matanya langsung menatap mata Dylan dengan pandangan terkejut tak tersembunyikan.
"Ya, Garka. Papa mu sakit selama ini," ucap Dylan. Ia menelan ludah nya susah payah lalu menghela nafas. "Reno dulunya adalah orang yang baik dan hangat. Namun setelah kejadian itu, Reno berubah seratus delapan puluh derajat. Dia berubah menjadi pribadi yang keras. Semenjak kejadian itu juga, Reno menjadi seorang perokok dan pecandu alkohol. Dia melimpahkan amarahnya pada apapun termasuk merusak dirinya sendiri dan menyiksamu. Melampiaskan semua rasa kecewanya pada apa yang seharusnya ia jaga."
"Kau... tidak becanda, kan?" tanya Garka masih tidak percaya atas apa yang ia dengar ini. Jantungnya berpacu hebat, dia sangat syok menerima kabar ini.
Dylan terkekeh. "Untuk apa aku becanda?" tanya nya, ia mengambil kursi dan membawanya tepat disamping ranjang pasien. Ia lantas mendudukkan dirinya disana. Menumpukkan kedua siku di atas paha. Ekspresinya sendu dan pilu.
"Tapi selama ini, Dia tidak pernah menyayangiku," ucap Garka pelan.
"Kau hanya melihat dari satu sisi Garka," Dylan menatap manik mata Garka. "Apa kau pernah mendengarkan penjelasan dari Papamu itu? Tidak bukan? Selama ini kamu selalu menghindari Reno dan enggan berbicara dengannya."
Garka mengalihkan tatapannya.
"Kamu terlalu egois Garka."
"Aku selalu dikatakan pembunuh oleh dia, Dylan. Dia selalu menyalahkanku atas kematian Gevan."
Dylan tersenyum. "Selalu ada alasan dibalik semuanya, Garka. Untuk itu, mulailah membuka diri untuk Papamu. Bagaimanapun juga Reno sangat menyayangi kamu."
"Aku tidak bisa menjelaskan semuanya. Biarkan Reno sendiri yang menjelaskan. Karena aku tidak berhak mencampuri urusan pribadi keluarga kalian lebih dalam lagi. Aku hanya membantu meluruskan apa yang salah di antara kalian," lanjut Dylan.
Garka menghembuskan nafasnya. "Akan kucoba." meski berat dan aneh rasanya, Garka akan mencoba berdamai dengan Papanya. Bertahun-tahun mereka berdua hidup saling membenci dan tidak rukun, tapi sekarang ia akan mencoba merubah itu.
Pintu ruangan terdengar diketuk. Fokus mereka berdua teralihkan pada seseorang yang baru saja membuka pintu. Ekspresi keduanya pun sangat berbeda. Dylan dengan senyumannya sedangkan Garka dengan ekspresi malasnya. Aura pilu tadi langsung sirna seketika.
"Ada apa dengan ekspresimu itu? Apa kau tidak senang aku datang berkunjung?"
Garka mendengus. "Sangat tidak senang."
Dylan tertawa. "Garka sedang sensitif, Angel. Jangan kau jahili dia dulu."
Angel berdecih. "Memangnya kapan laki-laki pemarah itu tidak sensitif?"
Garka melototi Angel. Perempuan itu meskipun tahu kondisi Garka sedang lemah seperti ini masih saja bersikap menyebalkan.
"Bagaimana kabar mu?" tanya Angel. Ia berdiri disamping ranjang Garka. Tubuh semampainya menjulang tinggi dengan pakaian kantoran yang anggun dan cocok ditubuh Angel.
"Baik sebelum kau datang," ucap Garka cuek tanpa menatap Angel.
Angel terkikik geli. "Jahatnyaa..."
"Mana barang yang aku suruh kau untuk bawakan, Angel?"
Angel menatap Dylan, "Ah, ya. Ini, Dad." Angel memyodorkan sebuah Paper bag berwarna hitam kepada Dylan.
"Garka," panggil Dylan membuat pandangan Garka menatap laki-laki itu. "Kau ingat ini?"
Garka melirik sebuah kotak hitam berukuran sedang, seketika ia menepuk jidatnya pelan. "Aku lupa membawanya." Kotak itu adalah kotak yang diberikan Dylan untuk ia bawa ke Indonesia. Hanya saja saat sedang mengemasi koper, Garka melupakan kotak itu dan menyimpannya begitu saja di atas meja kamar.
Hingga saat ini pun dia tidak tahu apa isi kotak tersebut hingga Dylan kembali membawanya kesini.
Dylan dan Angel kompak terkekeh, "Ya, kau meninggalkan kotak ini di kediaman mu. Padahal aku sudah memberikannya padamu."
"Maaf, Dylan. Aku lupa, tapi kabar baiknya kotak itu tidak hancur bersamaan dengan jatuhnya pesawat itu, kan?"
"Kau benar." Dylan tersenyum. "Kotak ini isinya lebih penting dari yang kau kira, Garka. Sangat-sangat penting."
Garka menyerengit. "Memangnya isinya apa?"
Dylan terkekeh lalu menyodorkan kotak itu kepada Garka. "Bukalah sekarang, mungkin kau memang harus tau lebih cepat."
Garka menatap Dylan dan kotak itu bergantian, ia lalu mengambil kotak tersebut dan membuka nya perlahan.
Saat dibuka, betapa terkejutnya Garka melihat isi didalamnya. Ia menatap Dylan dan Angel dengan mata yang membulat. "Ini... I-ini—"
"Ya, Garka. Dia adalah saudaramu, Gevan," potong Dylan dengan nada berat.
Garka menatap Dylan lalu beralih ke Angel yang tengah tersenyum tipis. "Bagaimana... bagaimana mungkin?"
"Lihatlah dulu."
Garka mengambil beberapa foto polaroid yang berisikan gambar Gevan dan seorang perempuan disana. Pose mereka tampak bahagia, apalagi senyum merekah keduanya yang membuat siapapun iri melihat kemesraan keduanya.
Ada banyak foto serupa dengan latar yang berbeda. Kebanyakan dari foto itu diambil di Amerika. Gambarnya masih jernih seakan sengaja dirawat agar tetap dalam kondisi bagus.
"Kau mengenal Gevan," Garka mengalihkan tatapannya untuk menatap Angel lagi. "Angel?"
Angel tersenyum. "Aku mengenalnya lebih dari yang kau tahu."
"Apa kau—"
"Gevan adalah kekasihku," ucap Angel memotong perkataan Garka.
Garka terpaku, bahkan suaranya tercekat hingga tak bisa berkata lagi. Sudah terlalu banyak fakta yang ia ketahui hari ini. Kepalanya sedikit berdenyut pening.
"Aku sudah pernah bilang, kan. Sebelum kau, Gevan sudah lebih dulu belajar disini." Dylan tersenyum miris.
"Namun takdir berkata lain."
Garka kembali melihat foto-foto disana. Gevan terlihat seumuran dengannya, terlihat tampan dan menawan. Persis seperti Garka. Hanya warna rambut yang berbeda, Gevan gemar mengecat rambutnya. Wajah Garka dan Gevan sebagian besar mewarisi garis wajah Hera, hanya bibir keduanya saja yang berbeda.
Ada foto Gevan yang sedang berdiri sendirian di depan gedung kantor utama Argeswara. Didalam foto itu Gevan tersenyum lebar seakan tidak mempunyai beban sama sekali. Padahal pada saat itu, Gevan sedang dicekoki berbagai macam tanggung jawab yang diberikan Reno.
Dan tak lama dari itulah Garka tahu tentang penyakit Kakaknya itu.
Rasanya Garka ingin mengulang waktu lagi. Dia ingin bermain bersama Gevan lagi seperti dulu. Mungkin pada saat itu Garka tidak akan banyak menelantarkan Gevan dengan kesendiriannya.
Disana juga banyak sekali barang-barang kesukaan Gevan. Seperti gantungan teropong, stiker bintang, dan miniatur roket.
"Maaf, Garka," ucap Angel sambil menunduk.
Garka mengalihkan fokusnya kepada Angel. Ia dapat melihat wajah perempuan itu yang memerah menahan tangis.
"Aku bodoh. Aku hampir menganggapmu sebagai Gevan." Angel menatap Garka lalu tersenyum paksa. "Aku terlalu sedih saat kehilangan Gevan, maka dari itu aku berniat menggantikan posisi Gevan oleh dirimu Garka. Tapi ternyata kalian berdua sangat berbeda. Aku tidak menemukan sosok Gevan yang hangat dalam dirimu."
Garka melihat mata Angel yang berkaca-kaca. Ia masih belum bisa mengeluarkan suaranya. Fakta ini terlalu mengejutkanya. Ternyata wanita pengganggu dan menyebalkan ini dulunya adalah sosok orang yang berpengaruh di kehidupan Gevan.
Pantas saja ia merasa tidak asing saat menatap netrs berwarna hijau itu.
"Aku mencintai Gevan. Sangat.." Ada jeda sejenak sebelum Angel mengeluarkan isakannya. "Aku merindukan dia."
Dylan mengelus punggung Putri kesayangannya itu. Ia mengerti perasaan Angel karena dulu Gevan dan Angel sangat erat hubungannya.
"Aku salah. Aku tidak akan menganggapmu sebagai Gevan lagi, bahkan kau sudah mempunyai seorang kekasih." Angel terkekeh sambil mengusap air matanya.
Pikiran Garka melayang. Ia mengingat saat Gevan telah pulang dari Amerika, ia menunjukan foto seorang perempuan berdarah barat kepadanya.
Garka saat itu tidak peduli. Karena sebelum Garka tahu penyakit Gevan, kedekatan mereka berdua dikatakan tidak baik. Garka selalu menghindar dari Gevan karena ia merasa Mamanya selalu memperhatikan Kakaknya itu.
Dan lagi, saat Garka berlibur ke Amerika. Ia mengingat pernah bertemu seorang perempuan berambut pirang. Saat itu posisi Garka tengah menangis sehabis dimarahi oleh Reno karena mengganggu Gevan yang tengah belajar bisnis. Disitu ia dihampiri oleh seorang perempuan cantik yang mengatakan jika seorang petarung sejati tidak akan menyerah sebelum menang.
Momen itu tidak bisa dilupakan oleh Garka karena dia selalu termotivasi. Hanya saja saat itu Garka masih kecil, tidak terlalu mengingat hal sepele yang padahal sangat berpengaruh untuk hidupnya.
"Kau Cherry?!" Garka menunjuk Angel dengan degupan jantung yang membara. Kini ia ingat kata-kata Angel yang terasa tidak asing saat di Bandara tempo lalu.
Angel terkekeh. "Kau bahkan tahu nama panggilan yang dibuat oleh Gevan kepadaku."
"Aku sekarang mengingatmu. Dulu Gevan selalu bercerita tentangmu dan memanggil mu Cherry." Garka menatap foto Gevan. "Dia selalu bersemangat saat bercerita tentangmu, Angel."
"Senang rasanya kini kau mengingatku. Seperti aku yang selalu mengingat Gevan sampai sekarang."
Garka memejamkan matanya. Dua fakta terungkap hari ini. Pertama, Papanya yang menderita Kanker Paru-paru dan fakta yang kedua yaitu Angel adalah kekasih Gevan dulu.
Lantas setelah ini, apakah akan ada fakta baru di hidupnya yang belum terungkap? Garka harap ia masih kuat untuk mendengar semuanya.
"Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya?" tanya Garka.
"Aku malu. Aku sempat benar-benar menganggapmu sebagai Gevan, Garka. Padahal kalian berbeda. Kau juga sudah punya kekasih. Aku tidak ingin bersikap jahat karena keegoisan ku. Aku tidak ingin membuat kamu menderita."
Garka menghela nafas. "Maafkan sikap ku selama ini, Angel. Aku tidak tahu kau itu calon kakak iparku dulu. Gevan selalu membanggakan mu dan berjanji akan menikahimu."
"Lupakan. Sudah saatnya aku untuk move on sekarang. Kau juga sudah aku anggap adik sendiri, Garka. Kini aku sadar."
Dylan menyela. "Jadi intinya, kita semua mempunyai hubungan keterkaitan satu sama lain. Kau harus merubah sikap keras kepala dan egois mu, Garka. Saat pulang ke Indonesia nanti, bicaralah dengan Reno. Aku tau kau juga menyayangi Papamu itu."
Garka mengusap foto Gevan pelan. "Ya, akan kucoba sebisaku."
***
Jakarta, Indonesia.
21.30 PM
"Sayang, Itu Anin nungguin kamu dibawah. Kasian loh."
"Suruh pulang aja, Bun!"
Chika menghela nafas lelah. Ia menatap putri kesayangannya dengan pandangan lelah. "Keyra." Chika menghampiri Keyra yang tengah berbaring tengkurap diatas kasurnya. "Sebentar lagi masuk sekolah loh, masa kamu mau gini aja. Nanti disekolah kamu gak punya temen gimana? Emang kamu bisa ngapa-ngapain di sekolah sendirian?"
Keyra menenggelamkan kepalanya dibantal. "Key gak tau, Bun. Males aja." gadis ini mengabaikan kehadiran Chika, dia lebih memilih memejamkan mata dan tidak bergeming sedikit pun.
"Keyra," Chika memanggil anaknya itu dengan lembut. "Kamu selama ini deket banget sama Serkan, nanti kalau udah masuk sekolah lagi kan Serkannya juga sekolah. Kalian beda sekolah, kan? Serkan gak bakal bisa terus ada disamping kamu. Dulu sebelum ada Serkan pun kamu mainnya sama Anin."
"Key tau. Nanti Key pikirin lagi."
"Kamu kenapa gak mau ketemu Anin?" tanya Chika. Ia mengusap kepala Keyra dengan sayang. Berusaha mengerti dari sisi Keyra. Tidak menyalahkan apalagi menuduh yang tidak-tidak pada putri kesayangannya.
Keyra diam saja.
"Kamu ngerasa bersalah kan sama Anin? Kamu malu mau ketemu sama Anin lagi?" tanya Chika yang sebenarnya sangat tepat sasaran.
"Gak tau..."
Chika tersenyum. "Keyra, liat Bunda, dong. Bunda mau ngomong sesuatu sama kamu."
Akhirnya Keyra membalikkan tubuhnya, ia berbaring telentang sambil menatap Chika. Wajahnya penuh penyesalan dan kesepian.
"Keyra, Bunda tau kamu kehilangan Garka. Semuanya juga kehilangan sosok Garka. Tapi kamu gak bisa selamanya gini. Banyak sahabat-sahabat kamu yang terluka sama sikap kamu sekarang ini, sayang." Chika berucap sangat lembut. Sebagai seorang psikolog ia sudah handal melakukan ini. Membujuk anaknya sendiri tanpa k*******n dan bentakan. Hal ini berguna agar tidak menyakiti psikis sang anak.
Daripada membujuk dengan kasar dan malah memperburuk keadaan.
"Bunda bener, Key malu ketemu Anin sekarang. Tahun lalu Key kasar ke Anin, Bun. Key takut Anin benci ke Keyra."
Chika mengusap pipi Keyra. "Tapi kamu gak boleh ngehindar gini. Kamu seharusnya minta maaf, bukan ngejauhin Anin. Kalian kan sahabat. Anin juga pasti maafin kamu, kok. Anin gak mungkin benci kamu. Buktinya dia masih terus dateng kesini, malah kamu yang menghindar dari Anin."
Keyra menggigit bibir bawahnya ragu. Ia takut Anin malah mengolok-olok dirinya setelah waktu itu Keyra terang-terangan membela Serkan. Apalagi saat melihat tatapan terluka sahabatnya itu, Keyra takut.
"Ayo, kita kebawah. Anin masih disana nungguin kamu keluar."
Keyra menatap Chika yang dibalas tatapan yakin oleh Bundanya itu. Selama ini Keyra dekat dengan Serkan, rasanya ia malu bertemu dengan Anin lagi.
"Ayo, sayang."
Keyra menghela nafas pelan lalu mengangguk. Ia bangkit dari tidurnya dan berjalan beriringan dengan Chika menuju kebawah.
"An—Loh, Ada Nak Serkan juga?"
Keyra terkejut menatap Anin dan Serkan yang tengah duduk di sofa ruang tamu. Jarak keduanya berjauhan. Yang membuat Keyra terkejut adalah Serkan yang datang tiba-tiba tanpa memberitahunya terlebih dahulu, apalagi berbarengan dengan kedatangan Anin disini.
"Malam, Tante." Serkan tersenyum ramah.
Chika balas tersenyum tipis. "Duduk disini, Key," ucap Chika sambil menyuruh gadis itu duduk di samping Anin.
Keyra hanya menurut saja. Ia duduk dengan posisi yang canggung disamping Anin. Pandangan Keyra menunduk dalam. Tidak menoleh sedikit pun ke arah sahabatnya. Keyra serasa tidak punya muka dan bingung mau melakukan apa. Ia takut salah bicara.
"Bunda ambilin minum dulu, ya. Kalian ngobrol dulu aja."
Anin dan Serkan mengangguk sopan.
Tinggal lah Ketiganya dalam keheningan malam ini. Belum ada yang membuka suara. Keyra sibuk menunduk, Anin bingung, sedangkan Serkan canggung karena ada gadis lain disini.
"Keyra."
Keyra melirik Anin sebentar.
"Apa... kabar?" tanya Anin dengan suara pelan.
Keyra tersenyum tipis, wajahnya tetap tidak mau menatap Anin. "Baik."
"Gue kangen sama lo, Key," ucap Anin terus terang dengan nada pasrah.
Keyra menggigit bibir dalamnya menahan isakan yang akan keluar. Matanya memerah dan perih. Tiba-tiba rasanya Keyra ingin menangis.
"Lo jahat banget gak mau ketemu sama gue, Key." Anin terkekeh miris. Suaranya semakin serak. Apalagi kini matanya berkaca-kaca.
Anin Menatap sinis Serkan yang tengah bersandar di sofa. Gara-gara laki-laki asing itu hubungan persahabatan Keyra dan Anin retak. Ia benci sekali dengan Serkan. Padahal orang buta juga tau kalau Serkan mendekati Keyra itu ada maunya.
Anin sangat ingin memberitahu kepada Keyra jika Serkan itu anak yang tidak baik. Tapi Anin tidak akan membicarakan hal itu sekarang, sudah syukur Keyra sekarang mau menemuinya karena sebelumnya Anin selalu berakhir gagal bertemu Keyra.
Kalau Anin menentang kedekatan Serkan dan Keyra sekarang, yang ada nanti gadis itu berakhir di usir kembali seperti saat di rumah sakit tempo lalu.
"Lo marah sama gue, Key?"
Keyra masih diam saja. Namun sebenarnya gadis itu tengah menahan air matanya agar tidak turun. Dia juga tidak menjawab semua pertanyaan Anin karena takut suara yang dihasilkannya akan terdengar menyedihkan.
"Keyra..." Suara Anin berubah parau. Akhirnya setetes bening turun di ujung matanya. "Bilang sama gue, Gue salah apa? Lo pengen gue berubah? Lo benci sama gue?" tanya Anin dengan suara bergetar. Kedua tangannya menggenggam tangan Keyra sangat erat.
Pertahanan Keyra runtuh, akhirnya Keyra menangis. Ia memeluk Anin erat lalu terisak hebat disana. Begitupun dengan Anin, mereka berdua sama-sama menangis.
Keyra dengan rasa penyesalannya yang dalam tidak bisa berlama-lama mengabaikan Anin. Mereka berdua bukan sehari dua hari saja bersama, namun sudah bertahun-tahun. Anin juga tidak mau Keyra mengabaikannya lagi, dia menyayangi Keyra sudah seperti keluarganya sendiri.
Kedua sahabat itu akhirnya berbaikan. Keyra menyesal sudah menyia-nyiakan orang sebaik Anin. Padahal dirinya disini yang salah, tapi Anin malah minta maaf dan menanyakan kesalahannya sendiri.
"Maafin gue, Nin," ucap Keyra tersenggal.
Anin mengangguk. Ia mengatupkan bibirnya menahan isakan keluar. Ia harus kuat demi Keyra. Ia juga tidak mau terlihat lemah didepan Serkan. Laki-laki itu saat ini hanya diam menyaksikan adegan memilukan ini tanpa bicara apapun.
"Maafin gue, lo gak salah apa-apa. Gue yang salah, gue bersikap kayak bocah. Gue malu sama lo, Nin."
"Sstt.. Lo gak salah kok, wajar aja kalau lo bersikap kayak gitu. Gue udah maafin lo."
Anin mengelus punggung Keyra. Pelukan mereka terlepas, Keyra menatap Anin sedih dan dibalas senyuman hangat oleh Anin.
"Gue akan selalu maafin lo, Keyra. Kita udah sahabatan lama banget. Berantem dikit wajar, tapi kita gak boleh retak hubungan. Kalau lo kecewa sama gue, lo bisa bilang. Lo gak boleh kayak gini lagi."
Keyra mengangguk. Ia menghapus air matanya lalu tersenyum. "Lo baik banget."
"Pastilah, gue emang orang baik."
Keyra tiba-tiba tertawa saat nada congkak Anin bisa kembali ia dengar. Akhirnya kedua sahabat itu bersatu kembali. Keyra berhasil berbaikan dengan Anin. Selama ini Anin selalu gelisah karena belum berbaikan dengan Keyra, biasanya jika mereka berantem paling tidak satu hari sudah berbaikkan.
Chika melihat semua kejadian itu dibalik tembok. Wanita cantik itu tersenyum lega. Akhirnya Keyra mau membuka diri kembali untuk Anin. Selama satu tahun ini dirinya selalu khawatir akan keadaan Keyra yang semakin hari semakin bergantung kepada Serkan.
Bukan apa-apa, hanya saja bergantung kepada orang asing itu tidak baik. Apalagi Serkan adalah laki-laki yang bahkan Cika tidak tau jelas latar belakangnya.
Sedangkan Serkan, laki-laki itu menatap malas drama dihadapannya. Niatnya kesini untuk membuat Keyra semakin lengket kepadanya malah berakhir seperti ini. Jika Anin dan Keyra berbaikkan kembali, maka rencana Serkan akan gagal.
"Key, sebaiknya gue pulang, ya. Sekarang lo udah ada temen."
Keyra mengalihkan pandangannya kepada Serkan. "Kok pulang?"
Serkan tersenyum. "Kan kalian udah baikkan. Gue gak penting lagi dong disini?"
"Enggak." Keyra menyerengit. "Lo itu penting banget buat gue."
Serkan menatap Anin sinis lalu tersenyum kemenangan. "Lebih dari apapun, Key?" tanya Serkan sambil menatap Keyra lagi. Serkan ingin menunjukkan kepada Anin bahwa dirinya lah yang sampai saat ini berada di tingkat pertama prioritas hidup Keyra.
Tanpa ragu dan tanpa pertimbangan Keyra mengangguk mantap. "Lebih dari apapun."
Tanpa Keyra sadari, ucapannya itu membuat hati seorang Anin terluka. Hanya saja ia menutupinya dengan senyuman.
Seharusnya yang boleh mengucapkan itu hanya dirinya dan Garka. Serkan hanya baru satu tahun mengenal dan juga dekat dengan Keyra. Tapi laki-laki itu sudah mau merebut segalanya, termasuk kepercayaan Keyra. Menjadikan gadis ini bergantung pada Serkan. Dan hal itu sangatlah berbahaya mengingat dia adalah musuh bebuyutan Garka.
Sekarang Anin semakin yakin jika Serkan memang sengaja bertanya seperti itu untuk membuat Keyra semakin bergantung kepada laki-laki ini. Kebusukan Serkan terungkap. Anin benar-benar harus memisahkan Serkan dan juga Keyra.
Sebelum semuanya terlambat. Dan sebelum penyesalan berujung perpecahan terjadi.