Terpaksa aku berbohong, aku mengikuti permainan pria di sampingku ini. Sorot matanya menyiratkan sesuatu yang jelas tak kupahami. Bagaimana bisa seorang cucu begitu tega membohongi kakeknya sendiri tentang status pernikahan yang dalam kamusku adalah sesuatu yang sacral dan sangat penting itu. “N-namaku, Areta Wilson Leonel. Ya, saya adalah istrinya, Tuan.”
Pria tua itu nampak mengernyitkan keningnya, sambil menatapku dengan tatapan penuh arti. Kemudian, ia menyunggingkan senyuman kepadaku. “Areta Wilson Leonel?”
Aku mengangguk kecil, ketika pria tua itu menyebut namaku seperti orang yang sedang meyakinkan. “Iya, Tuan.”
Pria tua itu lantas menoleh ke arah pria gil4 di sampingku, dengan tatapan menghunus tajam. “Oh, jadi kali ini kamu tidak sedang membohongiku, Justin?” tanya pria tua itu kepada cucunya, seperti kurang yakin dengan apa yang aku katakan kepadanya.
“Seperti yang Opah denger sendiri dari mulut istriku,” ucapnya sambil merangkul pundakku. “Setelah ini, Opah tidak akan pernah mencampuri urusan pribadiku lagi, bukan?”
Pria tua itu tergelak tawa dengan pertanyaan cucunya, kemudian mengikis jarak. “Ya, tentu tidak. Tapi, ada syaratnya!”
“Syarat? Syarat apa, Opah? Tak habis-habisnya, Opah selalu memaksaku!” keluh Justin terlihat murung.
Pria tua itu semakin mengeraskan tawanya, sepertinya begitu senang melihat cucunya menderita. Setelah itu, ia mengatakan syarat yang harus dipenuhi. “Syarat yang sangat mudah, Justin. Kalau kalian memang benar-benar sudah menikah, tentu kalian akan segera mempunyai anak, bukan? Jadi, dalam kurun waktu tiga bulan ke depan, Opah ingin mendengar Nak Areta hamil anakmu.”
Aku yang awalnya hanya menyimak obrolan mereka, hanya memilih terdiam. Karena, aku tidak tertarik dengan perdebatan mereka berdua, yang seperti Tom dan Jerry. Pada akhirnya, aku cukup terkejut dengan syarat yang dilontarkan oleh pria tua tersebut. Pernikahan ini hanya pernikahan pura-pura, bukanlah pernikahan sungguhan. Aku pun hendak membantah dan menolak syarat yang diajukan oleh pria tua itu. Namun, Justin lebih dulu menghentikan apa yang akan aku katakan.
“Opah, tenang saja. Aku pasti akan memenuhi syarat yang Opah ajukan. Tapi, setelah ini, Opah harus janji, Opah tidak akan mengganggu aku lagi! Deal?!”
“Deal!” Pria tua itu tersenyum penuh kemenangan.
Aku pun akhirnya harus menelan kembali kata-kata yang sudah di ujung lidah. Mau tidak mau, mengikuti permainan pria gil4 di sampingku yang penuh dengan kebohongan.
Setelah saling membuat kesepakatan, kakek tua itu mengajak kami untuk sarapan bersama di ruang makannya yang sudah tersaji berbagai roti panggang dengan isian daging, telur, sosis dan ayam. Ada juga, dengan isian serba manis, seperti selai coklat, strawberry, nanas, markisa, dan masih banyak yang lainnya.
Aku yang memang belum mengisi perutku sejak dari semalam, merasakan lapar yang luar biasa tak terkira. Cacing-cacing di perutku seperti sudah meronta-ronta ingin segera diberi makanan.
“Silahkan duduk, Cucu mantuku! Ayo, makan, jangan malu-malu! Mulai sekarang, kamu harus panggil saya, Opah. Lebih tepatnya, Opah Carlos,” ucap pria tua itu dengan ramah.
Aku yang mendengar pria tua itu menyebutkan namanya, cukup tersentak lirih. ‘Apakah beliau benar-benar seorang, Carlos Sebastian? Salah satu pengusaha terkaya di kota London, yang memiliki kekayaan miliaran Dolar. Ah, betapa beruntungnya aku, bisa bertemu dan berkenalan secara langsung seperti ini. Sungguh sulit dipercaya.’
“Ehem…., ada apa, Nak?!” tanya pria tua itu sambil berdehem.
Aku yang sedang melamun, dibuat gelagapan dan salah tingkah. “Eh, tidak ada apa-apa, Tuan. Eh, maksud saya, Opah Carlos,” ucapku gugup.
Pria tua itu nampak tersenyum samar sambil memperhatikanku dengan intens. Aku semakin salah tingkah dan bingung dibuatnya.
Justin menyenggol lenganku, membuatku menoleh ke arahnya. “Jaga sikapmu!” bisiknya lirih.
Aku pun mengangguk patuh, sambil tersenyum kikuk di depan opah Carlos.
Opah Carlos membalas senyumanku, sambil menikmati sarapannya dengan tenang.
Aku pun mengambil roti panggang kesukaanku, lalu kunikmati dengan lahapnya.
***
Dalam perjalanan pulang.
Hari semakin beranjak siang, tak terasa waktu begitu cepat merayap ketika aku berada di kediaman pria yang kini sudah kuketahui nama lengkap dan identitasnya tersebut. Pria tua misterius yang selama ini begitu terkenal namanya dalam dunia bisnis dan perusahaan. Namun, tak jarang orang yang bisa melihat dan bertemu secara langsung dengannya.
Aku yang baru mengenalnya pun, bisa langsung melihat dan merasakan sendiri bagaimana sosok misterius dari pria tua tersebut. Setiap kata yang terucap darinya, begitu penuh penekanan dan kehati-hatian.
Tak bisa dipungkiri, meski sudah berusia lanjut, pria tua yang bernama lengkap Carlos Sebastian ini masih terlihat enerjik dan cerdik. Gambaran seorang pria yang berkelas dan memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Pantas saja hubungan dengan cucunya tidak sejalan, pekerjaan mereka bersebrangan. Andai saja aku bisa membuka kedok pria yang bersamaku adalah seorang gigolo, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan mereka berdua.
Hup!
Aku menghembuskan napas kesal, ketika melihat puluhan panggilan tak terjawab di ponselku. Siapa lagi, kalau bukan dari ayah dan mantan tunanganku yang berkhianat itu.
Rentetan pesan singkat yang masuk dari mereka, penuh dengan kata makian dan ancaman yang begitu kejam. Aku begitu muak dengan wajah sok suci mantan tunanganku itu, terlebih lagi dengan adik tiriku yang pastinya sudah kegirangan saat aku tak kunjung pulang ke rumah.
Waktu pemberkatan beberapa jam lagi akan segera dimulai, sesuai jadwal yang telah kami tentukan sebelumnya. Sepertinya, rasa panik dan gelisah sudah menyerang ayah dan mantan tunanganku, saat tidak mendapati aku di sana.
Pria yang tengah berada di sampingku, hanya diam memperhatikanku sekilas. Aku berpura-pura tegar, menutupi rasa sakitku seorang diri.
“Jangan ditahan! Kalau ingin berteriak, teriaklah sesuka hatimu!” ucap Justin, tiba-tiba membuka kaca jendela mobilnya otomatis.
Aku menoleh ke arahnya dengan perasaan entahlah aku tak mengerti. Ia nampak mengulum senyum, sekilas melirikku. Lalu, kembali focus ke depan jalan.
Aku yang memang sudah menahan rasa sesak sedari tadi, ingin sekali meluapkan api-api kemarahan yang kian memuncak ini. Akhirnya, aku berteriak sekeras mungkin dengan laju mobil yang cukup kencang.
“AAAAAA……, FU*CK YOU, MARCO!”
”AKU BENCI KAMU, MARCO! AKU BENCI KAMU JUGA, CELINE! AKU BENCI KALIAN BERDUA….!”
“KALIAN PENGKHIANAT! AKU TIDAK AKAN PERNAH MEMAAFKAN KALIAN BERDUA!”
Aku begitu puas dan lega setelah mengeluarkan unek-unekku dengan suara keras yang terbawa tiupan angin kencang. Detik kemudian, tangisku tak bisa kutahan lagi. Aku menangis sejadi-jadinya setelah menumpahkan rasa kesalku. Tak perduli aku sedang bersama siapa di sini, aku sungguh mengabaikan harga diriku.
Ciiiiit…..
Tiba-tiba saja, Justin menurunkan kecepatan laju mobil. Kemudian, menghentikannya untuk menepi di bahu jalan.
Aku yang sedang menangis, refleks menoleh ke arahnya dan menghentikan tangisanku. Dengan santainya ia tersenyum, lalu mengikis jarak.
“Apa yang kamu inginkan, Nona? Katakan, sekarang! Jika tidak, biar aku yang langsung bertindak!” ucapnya dengan sorot mata dingin, membuat aku bergidik ngeri. Tapi, aku buru-buru menjawab rencanaku, agar ia tidak mencampuri urusanku.
“Aku ingin membuat malu mereka berdua yang telah mengkhianatiku di depan semua orang. Aku ingin semua orang tahu, apa yang telah mereka lakukan di belakangku selama ini.”
Justin tertawa kecil, ketika mendengar apa yang aku katakan. Aku merasa kesal dibuatnya, dengan tawanya yang menjengkelkan.
“Apa kamu punya buktinya, Nona? Maksudku, punya bukti perselingkuhan mereka, huem?”
Glek!
Aku sampai tercekat dengan pertanyaannya. Aku tidak memiliki bukti perselingkuhan mereka berdua. Aku terlalu terbawa emosi dan kemarahan yang besar, hingga melupakan hal penting seperti itu.
“Tidak punya, bukan?! Lantas, bagaimana cara kamu membuktikan kepada semua orang, kalau mereka berselingkuh, huh?”
Aku menggeleng lirih sambil menggigit bibir bawahku sendiri, menyesali kebodohan yang aku lakukan.
Pria itu lagi-lagi tertawa, seolah sedang mengejekku. Aku mendengus lirih, rasanya ingin menghilang dan bersembunyi saat ini juga.
“Sebutkan nomor ponselmu, Nona! Aku akan mengirim bukti perselingkuhan mereka, sekarang.”
Deg!
Haaah?!
Jantungku tersentak lirih, begitu terkejut dengan apa yang ia katakan. Aku sampai melongo tak percaya, dengan apa yang baru saja aku dengar.
“A-apa? Bukti perselingkuhan mereka?” Aku sampai mengulangi apa yang ia katakan, dengan suara bergetar.
“Huem, tepat sekali!” ucapnya dengan tersenyum lebar.