Awal Malam Panjang
Ryan merasakan berat di pundaknya. Dia memutuskan untuk merebahkan diri sejenak di sofa. Dalam waktu setengah hari, dia fokus mengerjakan banyak tugas tapi tetap saja masih ada yang belum tersentuh. Salah satunya adalah tugas dari Om Win, mentor yang dikirimkan oleh papanya untuk memperdalam dunia bisnis.
Tiba-tiba terbesit di pikirannya untuk menghubungi seseorang yang selama ini sudah menemani hidupnya, Anggi. Dia rindu senyuman dan humor keceriaan gadis itu. Dia adalah kekasih serta gadis yang selalu ada untuknya setelah kepergian Nian dan Ella. Gadis yang sangat berarti untuknya, tempatnya melepaskan rindu dan lelah.
Kalau diingat-ingat, sudah hampir dua hari mereka tidak saling berhubungan. Anggi bilang keluarganya ada acara. Sedangkan Ryan tidak mau mengganggu acara keluarga kekasihnya. Pun tugas dari dua fakultas yang dipilihnya sedang menumpuk.
Tangan Ryan mengambil gawai. Namun, belum sempat dia menyalakannya dengan kunci sidik jari, benda canggih itu sudah berdering. Ada panggilan masuk. Senyum Ryan terulas saat menemukan bahwa nama kekasihnya yang muncul di layar. Bersamaan dengan itu, bel apartemennya berbunyi.
Ryan mengangkat telepon dan mengabaikan bel apartemennya. “Iya, Sayang? Baru aja aku mau telepon kamu.”
“Ryan, tolong bukain pintunya.” Suara Anggi terdengar gemetar. Seperti ada suara isakan di sana.
Serta merta lelaki dua puluh satu tahun itu bangkit dari rebahannya dan menuju pintu apartemennya. Dadanya sudah berdebar tak karuan mendengar suara kekasihnya yang seperti itu. Rasa khawatirnya memuncak hingga langkahnya pun menjadi sangat lebar dan brutal. Suara keras terdengar saat dia membuka pintu apartemen dengan tergesa.
Kedua bahu Ryan langsung merosot saat pintu terbuka. Di depannya ada Anggi yang basah kuyup sedang menunduk sambil memeluk dirinya sendiri dan menempelkan gawai di telinga. Gadis itu terlihat sangat kedinginan. Tampak dari kulitnya yang semakin terlihat memucat karena air.
"Anggi?" panggil Ryan. Dia menurunkan gawainya dari telinga dan memasukkannya ke saku. Dia tidak percaya bahwa yang ada depannya sekarang adalah gadisnya.
Anggi mendongak. Memperlihatkan wajahnya yang semula tertutup oleh rambut yang lepek dan acak-acakan karena hujan. Bibir gadis itu bergetar. Dia menurunkan gawainya dan bersendekap untuk mendekap dirinya sendiri. Matanya penuh dengan air mata. Hidunganya memerah. "Ryan," rengeknya.
"Hei. Hei," sapa Ryan lembut. Dia segera menarik gadis itu ke dalam pelukan dan menutup pintu. Dia panik. Pikirannya yang sudah lelah dengan tugas pun semakin tak beraturan saat melihat keadaan gadisnya sekarang, berantakan. Sungguh ini bukan seperti Anggi yang dia kenal. "Kamu kenapa, Sayang?" tanyanya kalut. Dia menangkup kedua pipi gadis itu dengan telapak tangannya.
Anggi tetap diam. Dia hanya menangis dan menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Dia tidak kuasa untuk berbicara.
Tatapan keduanya bertemu lama, meresapi apa yang sedang terjadi. Ryan memeriksa wajah gadisnya untuk mengetahui apa yang sedang menimpanya. Kesedihan. Itu yang dia temukan di sana. Tanpa sadar, air matanya ikut keluar. "Kamu kenapa?" Dia mendekatkan wajahnya dan mengecup dahi kekasihnya dengan penuh sayang.
Mendapatkan perlakuan manis seperti itu membuat Anggi semakin menangis. Baru kali ini dia menunjukkan sisi berantakan dan terpuruk kepada Ryan. Bahkan setelah lewat tiga tahun menjalin kasih, dia berusaha menahan tangisnya dan menjadi gadis kokoh serta tegar, namun kali ini dia tak bisa. Dia hanya bisa menggeleng pelan.
"Bicara sama aku, ya. Bilang kamu kenapa. Ada yang nyakitin kamu? Atau apa? Biarin aku tahu." Ryan juga tidak bisa menahan air matanya. Rasanya sakit sekali melihat Anggi yang selalu menjadi sandarannya terlihat hancur.
Anggi terisak. Dia menunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Kemudian badannya merosot lemah. Dia jongkok sambil memeluk lututnya lagi.
Ryan yang bingung dengan apa yang terjadi pun tak bisa menahan tubuh Anggi. Dia membiarkan gadisnya melakukan apa yang dia mau. Lalu dirinya meninggalkan gadisnya sejenak untuk mengambil handuk.
"Sayang, sini." Ryan melingkup punggung Anggi dengan handuk dan mengajak gadis itu berdiri. Dia menuntun Anggi untuk berdiri dan menuju kursi kafetaria yang dekat dengan mereka. "Duduk sini." Dia mengangkat tubuh Anggi untuk duduk di meja. Dia membenarkan posisi handuk agar bisa menutup seluruh tubuh gadisnya. Tangannya membenahi rambut Anggi yang berantakan dengan lembut.
Anggi menatap wajah Ryan dari bawah. Tangisannya semakin tidak bisa ditahan saat melihat kekasihnya ikut menangis. Dia merasakan kenyamanan saat rambutnya dielus dengan sangat hati-hati dan penuh kasih sayang. Dadanya sakit, sangat sakit. Dia yakin beban yang dipikul oleh Ryan semakin berat saat melihatnya seperti ini.
"Oke, kamu tenang, ya. Kamu kenapa, hmm?" Ryan menyelipkan rambut gadisnya ke belakang telinga. Dia menghapus air matanya. Dia meletakkan kedua tangannya di sisi Anggi.
Keheningan menyelimuti keduanya. Sangat menyakitkan dan menyayat hati mereka berdua secara perlahan. Ryan tidak mengerti dengan keadaan Anggi yang terlihat sedang tidak baik-baik saja ini. Sedangkan Anggi, ada banyak hal yang membuatnya tak bisa untuk mengungkapkan apa yang sedang terjadi padanya.
Maka hanya air mata yang bisa menjelaskan betapa nestapa telah menyapa Anggi dan kehidupannya. Dia mencengkeram lengan kaos Ryan dengan erat. Seerat mungkin sampai rasanya Ryan ingin beralih karena sesak.
"Ryan," panggil Anggi sambil terus menatap mata lelaki di depannya dengan penuh harapan.
"Iya," jawab Ryan dengan sangat lembut. Dengan stok kesabaran sebanyak pepohonan di hutan sss, dia menghadapi kekasihnya ini.
"Ayo kita kabur dari sini."
"Kenapa?" Ryan kebingungan dengan ajakan Anggi barusan.
"Aku enggak mau lagi sama keluargaku. Aku pengin kabur aja sama kamu, Ryan."
"Sayang, tenang dulu." Ryan mengusap-usap pipi Anggi dengan kedua ibu jarinya. "Ceritain apa yang terjadi ke kamu dulu biar aku paham. Jangan main kabur dulu."
Anggi menggeleng. "Aku takut kamu bakalan tinggalin aku kalau aku cerita. Tapi aku udah enggak kuat."
"Iya, makanya cerita dulu, Sayang."
Anggi malah menangis tersedu-sedu lagi selama beberapa detik. "Janji sama aku kalau kamu enggak akan ninggalin aku."
Ryan mengangguk. Tentu saja dia tidak akan pernah meninggalkan kekasih yang dia sayangi ini.
"Aku selama ini bohong ke kamu, Ryan."
Ryan terdiam. Dia tidak mengatakan apa pun dulu.
"Sejak SMA, aku udah dijodohkan sama orang tuaku. Aku selama ini pacaran sama kamu karena aku ingin kabur dari kehidupan yang enggak aku mau." Anggi menarik tubuh Ryan untuk didekap. Dia tidak ingin kekasihnya membuangnya.
Ryan masih tidak ingin percaya dengan perkataan Anggi. "Jangan bercanda, Sayang."
Anggi menatap Ryan dengan lekat. Dia menunjuk ke pakaiannya yang basah kuyup. "Aku kabur dari rumah sebelum aku dipertemukan oleh orang tuaku dengan cowok yang akan dijodohkan sama aku. Aku enggak mau. Aku maunya sama kamu."
Namun, bukan itu yang sekarang ada di pikiran Ryan.
"Jadi, selama ini aku cuma selingkuhan kamu?"
"Enggak! Kamu pacar aku. Mereka memilih hanya sepihak. Aku enggak sudi menikah dengan cowok selain kamu."
Ryan mengusap wajahnya yang kaku. Ternyata, gadis yang selama ini dia jaga dan tidak pernah dia rusak kehormatannya hanyalah jodoh orang yang sedang memilihnya?
"Ryan, tolong jangan tinggalin aku." Anggi merengek. Ini yang dia takutkan selama ini. Dia tidak ingin ini terjadi sebenarnya. "Ada cara lain untuk kita agar tetap bersama."
Perlahan Anggi turun dari kursi dan melepas handuk yang menyelimutinya. Tak berhenti di situ, dia pun membuka resliting jaketnya dan menyisakan kaos tipis yang dikenakannya.
"Anggi, kamu ngapain?" panik Ryan. Dia mencoba untuk menghentikan tangan Anggi.
Gadis itu melempar tangan Ryan agar tak menghalanginya. Dengan cepat, dia hendak membuka kaos tipisnya namun digagalkan oleh pelukan Ryan.
"Kita sepakat untuk melakukan ini setelah nikah nanti, Anggi. Kamu lupa?"
Anggi menyandarkan kepalanya di bahu Ryan. Dia menangis lagi. Demi Tuhan, dia sudah putus asa.
"Kalau begitu cepat lamar aku, Ryan. Cepat lamar aku dan kita nikah."
"Enggak semudah itu, Sayang. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan."
Anggi memukuli pundak Ryan dengan pukulan yang tak sakit. Dia semakin putus asa. "Kamu bilang gitu karena enggak mau nikah sama aku, kan? Kamu bilang gitu karena mau tinggalin aku?" Lalu dia melepaskan pelukan mereka.
Ryan bagai dihantam benda yang sangat berat. Bukan itu maksudnya. Tapi ada banyak hal yang harus dia selesaikan terlebih dahulu sebelum menghalalkan Anggi.
"Oke kalau kamu enggak mau, Ryan. Aku akan terima perjodohan keluargaku."
Barulah kepala Ryan langsung ditimpa kepanikan luar biasa. "Enggak. Enggak boleh. Kamu punyaku. Aku akan berusaha dengan keras untuk mewujudkan masa depan denganmu."
Anggi memeluk Ryan lagi. "Jadi, ikat aku sekarang, Ryan. Bertahan denganku."
Tepat setelah Anggi mengatakan hal itu, pintu apartemen Ryan digedor dengan sangat keras berkali-kali.
"Itu pasti mereka, Ryan!" pekik Anggi dengan histeris.
Ryan kelabakan. "Siapa?"
"Orang suruhan Bapak Ibu untuk mencariku." Terlihat sekali di wajah Anggi ketakutan yang sangat besar. Dia mencengkeram lengan atas kekasihnya dengan kuat.
"Kamu ke kamar aku dulu aja. Tetap di sana sampai aku balik. Sembunyi di tempat yang aman." Ryan membawa kekasihnya itu ke kamarnya. Dia menunjuk ke walking closet-nya agar Anggi bersembunyi di sana. Kemudian barulah dia kembali ke depan, membuka pintu untuk orang yang masih saja menggedor benda itu dengan keras.
"Ya. Siapa?" Sebisa mungkin Ryan menahan pintunya agar tidak didobrak.
"Ryan! Ini gue, anjir. Bukain." Suara itu tidak asing di telinga Ryan. Suara seorang gadis yang juga dikenal olehnya.
"Hanin? Lo ngapain ke sini kayak orang kesetanan?" Ryan melongok di celah pintu yang sedikit terbuka untuk memastikan bahwa orang yang ada di balik pintu adalah Hanin.
"Anggi di sini, kan? Dia yang minta gue ke sini. Jadi lo cepetan bukain sebelum jejak gue juga ketahuan, anjir." Hanin tampak terburu-buru dan khawatir. Tubuhnya basah kuyup dengan air. Kemungkinan gadis ini juga menerobos hujan seperti kekasihnya tadi.
Ryan membukakan pintu untuk gadis itu. Dia sampai harus menahan beban dirinya saat Hanin dengan tergesa-gesa masuk ke dalam apartemen Ryan.
"Anggi mana?" tanya Hanin dengan penuh kekhawatiran. "Dia tadi telepon gue buat dateng ke sini."
Ryan yang merasa ada banyak hal yang terjadi pun sampai sedikit linglung. Terlalu banyak kejadian yang dia alami dalam satu malam ini. "Dia aman."
Lelaki itu melangkah ke kamarnya dan membuka pintu walking closetnya. Tak ada tanda-tanda keberadaan Anggi di sana. "Sayang, ada Hanin di sini." Ryan berjalan sembari mencari kekasihnya itu.
Perlahan, salah satu lemari penyimpanan Ryan terbuka. Anggi keluar dengan sedikit celingukan. "Hanin udah di sini?" tanya Anggi dengan suara berbisik.
Hanin langsung menyambar Anggi dan memeluk gadis itu. "Ogeb banget lo kenapa malah kabur! Gue khawatirin lo sampe ninggalin pacar gue sendiri di kontrakan."
Tangis Anggi pecah. Dia membalas pelukan sahabatnya itu. "Gue enggak mau, Nin. Gue enggak mau sama cowok itu. Gue cuma sayang sama Ryan."
Ryan membiarkan dua gadis itu saling melepas emosi. Dia memberikan ruang untuk mereka.
"Lo tahu sendiri selama ini gue pengin kabur dari keluarga gue karena gue enggak dianggap. Terus, setelah kematian kakak gue, gue yang jadi penggantinya? Gue juga berhak hidup dengan orang yang gue cintai."
Sepertinya Ryan memang sudah harus memberikan mereka berdua ruang untuk berbicara. Dia akan berbicara dengan Anggi setelah gadis itu reda dari tangisan dan emosinya. Sekarang dia akan menyiapkan kamar untuk ditempati oleh dua gadis itu. Tidak mungkin dia memulangkan dua gadis itu di tengah hujan lebat begini.
Hati Ryan gundah. Anggi dijodohkan? Sudah dari SMA? Kenapa dia baru tahu sekarang? Apa selama ini, Anggi hanya menganggapnya sebagai pelarian?