Sepulang dari Malang, Tasya mulai mengaktifkan nomor ponselnya kembali. Bunyi notifikasi tidak henti hentinya, dengan d**a berdebar dia memeriksanya satu persatu.
Puluhan missed call dan pesan tak terjawab dari Tedy, dibaca pesannya dari paling awal hingga terakhir. Dirasakan perubahan kalimat dari pesan ke pesan, dari pesan penuh amarah hingga pesan penuh belas kasihan. Pesan yang terakhir yaitu sejam yang lalu Tedy mengetik "Ta, please hubungi Aku. Maafkan aku sayang....aku tidak bisa hidup tanpamu"
Hati wanita mana yang tidak terharu membacanya, tak terasa air matanya turun melewati pipinya yang mulus. Pikirannya melayang pada masa masa awal mereka berpacaran yang penuh romantis dan kehangatan.
"Sya, ada apa?" tanya Andrean yang sedari tadi memperhatikannya. Sebenarnya dia tidak setuju jika Tasya masih menggunakan nomor ponsel yang sama, tapi tidak bisa berbuat apa apa untuk mencegahnya.
"An...aku sudah lama mengganggumu. Kupikir sudah saatnya aku kembali ke rumah kos."
"Kamu yakin? Bagaimana jika Tedy mencarimu?"
"Tidak mungkin aku selamanya bersembunyi darinya bukan? Sudah saatnya aku harus menghadapi Tedy."
"Jangan sekarang Sya, please. Lihat, luka di wajahmu saja masih samar samar terlihat. Beri waktu lagi, seminggu lagi gimana?" bujuk Andreas. Sebenarnya kekhawatirannya bukan hanya Tedy, tapi hatinya. Dia sudah terbiasa dengan kehadiran Tasya selama hampir seminggu ini dan perasaan kosong langsung terasa ketika dia membayangkan dirinya sendiri lagi di apartemen ini.
"Baiklah, seminggu lagi. Tapi mulai Senin nanti aku akan kembali bekerja, dan kuharap masalah kita tinggal bersama tidak tersebar di kantor." Akhirnya Tasya mengalah, dia juga sepertinya masih membutuhkan waktu untuk mempersiapkan mentalnya.
Pagi ini adalah hari pertama Tasya masuk bekerja setelah seminggu mengambil cuti sakitnya. Sengaja dia tidak ikut mobil Andreas, Tasya memilih grab yang mengantarkannya kerja.
Pekerjaan menumpuk tentu saja sudah menunggu, sehingga sampai siang hari Tasya masih bergelut dengan tumpukan berkas berkas.
"Eh..Tasya kamu sudah masuk? Sakit apa sih sampai seminggu?" tanya Rana penuh selidik. Pasalnya dengan tidak masuknya Tasya, Andreas malah ikut ikutan jarang berada di kantor.
"Jatuh dari motor bu, itu abang grab nya ngebut..." bohong nya.
"Ihh..makanya jangan betah jadi orang susah terus...upgrade dong ke mobil, kan lebih aman"
"Maunya sih bu...Bu Rana mau modalin aku?"
"Ihh..memangnya aku orang tua kamu? Minta lah sama mereka!" jawab Rana ketus. Tasya hanya tersenyum mendengarnya karena sudah mulai terbiasa mendengar kalimat ketus dari Rana.
"Andreas kemana ya?" tanya Rana sambil masuk ke dalam ruangan pria itu.
"Maaf bu, Pak Andreas sepertinya lagi meeting dengan direktur lain di ruangan pojok itu. " tunjuk Tasya.
"Ya sudah, info ke dia kalau aku menunggunya untuk makan siang bersama." Tasya menganggukan kepalanya tanda mengerti.
Kemudian Tasya melanjutkan pekerjaannya dan tiba tiba ada yang mencoleknya dari belakang, "Tasya...di depan ada yang nyariin kamu loh! Dia sudah beberapa kali ke sini sewaktu kamu tidak ngantor." bisik Cindy.
Jantung Tasya berdebar cepat, tangannya mulai berkeringat. Tidak perlu ditanyakan lagi dia tahu siapa yang dimaksud Cindy.
"Ohh .ya Cin, makasih ya infonya. aku akan menemuinya sebentar lagi." jawab Tasya dengan suara sedikit bergetar.
"Pacar? atau rentenir nih?" goda Cindy
"Ah..bisa saja kamu Cin...teman kok.." sahut Taysa lalu beranjak dari kursinya "Aku ke depan dulu yah.."
"Ok deh...aku juga mau ke pantry." Jadilah mereka beriringan berjalan ke lobby kantor.
Setibanya di lobby kantor, Tasya melihat Tedy yang sedang duduk di sofa yang memang disiapkan oleh perusahaan untuk para tamu. Mata mereka sesaat beradu, terlihat sorot mata yang sendu dari mata Tedy. Tasya berusaha untuk bersikap formal, "Ohh Pak Tedy, maaf aku sedang tidak ada waktu. Mungkin bisa diatur lagi lain waktu pertemuan kita?"
"Ta, Aku mau bicara denganmu sekarang." sahut Tedy. Dia sudah tidak sabar untuk menjelaskan dan meminta maaf pada kekasihnya.
"Maaf pak, ini jam kantor. Kita atur waktu lagi untuk berbicara." Tasya masih berusaha sopan agar tidak menarik perhatian teman teman kantor lainnya.
"Tasya!" teriak Tedy ketika melihat Tasya sudah mau kembali masuk ke dalam kantornya. Bahkan Tedy menarik tangan Tasya untuk menahannya.
"Ahhh..." jerit Tasya kesakitan.
"Maaf pak, ini kantor. Jika bapak ada hal pribadi yang ingin dibicarakan harap diluar jam kantor." suara berat yang sangat familiar ditelinga Tasya, ya ...siapa lagi kalau bukan Andreas.
Kebetulan dia sudah selesai meeting dan hendak keluar kantor untuk makan siang.
"Bukan urusanmu!" bentak Tedy.
"Memang bukan urusan saya, tapi selama Tasya karyawan kami dan berada di kantor kami itu menjadi urusan perusahaan." sahut Andrean dengan nada lebih tinggi namun tetap sopan.
Tasya berdiri dibelakang Andrean mencari perlindungan, bayang bayang Tedy yang menggrayanginya malam itu masih jelas dalam ingatan.
"Baiklah, aku akan tunggu kamu sore ini selepas pulang kantor. Temui aku di cafe yang ada di lobby." ucapnya dengan tatapan tajam pada Tasya. Kemudian membalikkan badan dan berjalan meninggalkan mereka.
"Sudah sudah..bukan sinetron yang bisa kalian tonton. Ayo...bubar dan lanjutkan bekerja!" Andreas mengusir beberapa karyawan yang menonton perseteruan Tasya dan Tedy. Lalu membimbing Tasya keluar lobby menuju basement dan meminta Indra untuk memberikan kunci mobil padanya. Andreas melajukan mobil dengan kecepatan tinggi menuju salah satu restoran langganannya.
Selama di mobil mereka berdua diam, Andreas sengaja tidak banyak bertanya dan memberikan waktu pada Tasya untuk menenangkan diri.
Restoran yang dipilihnya adalah salah satu resotran favorit Andreas. Bukan hanya makannya yang cocok dengan lidahnya, tapi tempatnya sangat cosy dan sangat menjaga privasi pengunjung. Dan saat ini Andreas membutuhkannya.
Setelah memilih menu, Andreas menatap Tasya yang masih diam sambil memainkan ponselnya. "Ehem..."
Tasya mengangkat kepalanya dan menatap Andreas. Sorot matanya masih tersirat ketakutan disana.
"An, sepertinya aku belum siap untuk bertemu dengannya. Bagaimana ini? Dia bilang tadi mau nungguin aku pulang kerja?"
"Tenang...dia gak bisa ganggu kamu lagi. Biar nanti aku yang temani gimana?"
"Kamu? Nanti tambah runyam. Tedy malah bisa menuduh aku yang tidak tidak nanti."
"Aku dari jauh saja, dia tidak perlu tahu. Jadi kalau kamu diapa apain sama dia tinggal kasih kode saja, aku langsung menghampiri kamu." Ini adalah ide terakhir Andreas, karena jika Tasya tidak menyetujuinya maka dia tidak akan melepaskan Tasya sendirian bertemu dengan Tedy.
Tasya terdiam, sedang memikirkan jalan terbaiknya. Akhirnya dia menganggukan kepalanya, "Ok deh, sepertinya gak ada pilihan yang lebih baik. Sorry merepotkan kamu ya An..."
"It's Ok, thats what friends are for..." senyumnya
"Thank you for being my firend and also my bos.." Tasya membalas senyum Andreas. Perasaannya mulai sedikit lega karena tahu ada Andreas yang akan selalu melindunginya.