"Selamat Pagi An..." Tasya mencoba untuk tersenyum walaupun merasakan perih di sudut bibirnya.
"Pagi Tasya. Kenapa dengan kamu hari ini? Sepertinya pipimu agak membengkak dan bibirmu...kenapa luka?" tanya Andreas bingung melihat kondisi Tasya pagi ini padahal semalam Tasya terlihat baik baik saja.
"Hmm..anu ...jatuh..ya.. terjatuh. Enggak keliatan ada trotoar jadi tersandung." jawab Tasya.
"Makanya kalau jalan jangan liatin ponsel terus." nasihat Andreas
"Siap bos!"
"Bas bos bas bos, sudah luka gitu masih saja becanda. Dasar anak kecil!" ujar Andres menahan senyumnya. "Hari ini jadwal aku apa saja?" lanjut Andreas.
Tasya membuka agenda kecil yang selalu dibawanya kemana mana, "Siang ini hanya ada janji dengan Pak Santoso dari PT Sinar Jaya, membahas masalah proposal kita untuk pengadaan hardware dan software pabrik barunya di Malang,"
"Ok, lunch meeting kan?" Andreas memastikan kembali
"Benar, lunch meeting di Hotel Hyatt Thamrin." Andreas menganggukan kepalanya tanda mengerti.
"Jam sebelas kita berangkat dari kantor. Kamu info ke Pak Indra untuk siap di lobby nanti."
"Saya ikutan juga?"
"Ya, nanti siapa yang buat notulen meetingnya? Saya?" Andreas menaikan alis matanya
"Ya..engga juga sih. Ok deh...enggak ada pilihan juga." gerutu Tasya dan beringsut keluar dari ruangan Andreas.
"Hei! tunggu, masih ada tugas lagi buat kamu! Belikan oleh oleh untuk Pak Santoso. Minta uang nya dengan finance."
"Beliin apaan ya?" tanya Tasya
"Terserah, pokoknya harus yang bisa buat Pak Santosa senang sehingga projek ini bisa goal!" sahut Andreas sambil menandatangani beberapa berkas yang ada di mejanya.
Tasya memeras otaknya berpikir oleh oleh yang tepat untuk Pak Santoso sampai tidak mendengar panggilan dari Cindy.
"Oiii...siang siang ngelamun! Dipatok ayam nanti loh!" ujar Cindy sekretaris dari Divisi Teknik.
"Ihh lo ngagetin aja. Gue lagi bingung nih. Pak Andreas minta gue beliin oleh oleh buat klien dari malang. Beliin apaan yahh? Katanya apa aja asal bisa buat Pak Santoso senang jadi projek nya bisa menang." Jelas Tasya panjang lebar.
"Gampang. Lo coba baca profil keluarga Pak Santoso deh. Kalau punya anak, tinggal beliin mainan yang unik yang gak bisa didapat di kotanya. Kalau belum, beliin aja istrinya selendang bermerk, pasti deh suka."
"Ehh..kecil kecil otak lo pinter juga yah! Thanks. Dah..lo balik di ke meja lo. Gue mau cari oleh oleh dulu." Tasya dengan terburu buru berlari kecil menuju finance untuk meminta uang.
Akhirnya lunch meeting siang itu selesai dengan senyum tersungging pada semua orang yang hadir. Gimana gak mau senyum, Pak Santoso mendapatkan oleh oleh selendang Herme's untuk istrinya sementara Andreas mendapatkan projek itu. Tinggal Tasya yang sedikit terhuyung meyeimbangkan langkah kaki mereka.
Di mobil, Tasya mencari minyak angin untuk membantu mengusir rasa mualnya. Dikeluarkan hampir setengah isi tasnya, namun tidak menemukan barang yang dicarinya.
"Nyari apa sih?" tanya Andreas merasa terganggung.
"Pak Indra punya minyak angin gak?" Tanya Tasya. Enggak mungkin juga bertanya ke Andreas. Pasti dia tidak punya minyak angin di kantong jasnya.
"Maaf Tasya, tidak punya." jawab Pak Indra dan kembali fokus pada jalanan.
"Kenapa? Pusing?"
"Sedikit. Biasa kalau lapar saya suka pusing"
"Tadi memang tidak makan?" Tasya geleng kepala sambil memejamkan matanya "Tidak sempat"
"Indra, mampir ke depan ada Mac Donald. Berhenti, dan parkir." perintah Andreas
"Kita makan dulu supaya kamu gak pusing. Perut kamu perlu diisi, kalau sakit aku juga yang repot." gerutu Andreas. Beda tipis antara perhatian dan egoisme nya.
Tasya memeriksa ponselnya sementara Andreas membelikan makanan untuknya. Ponselnya memang sengaja dalam mode silent karena takut mengganggu meeting tadi.
Terdapat belasan missed call dari satu nomor saja, dan nomor itu sudah amat sangat di kenal olehnya. Siapa lagi kalau bukan Tedy, kekasihnya.
Belum sempat Tasya hendak membalas missed call dari Tedy, ponselnya berbunyi.
"Halo." d**a Tasya berdebar dari biasanya.
"Kamu dimana sih? dari tadi di teleponin gak diangkat angkat?" suara Tedy sangat gusar sekali.
"Habis meeting barusan."
"Meeting kenapa gak bilang bilang? Kamu sekarang dimana kok berisik sekali?"
"Aku lagi mau makan siang."
"Dimana? Dekat kantor? Aku sekarang lagi di dekat kantor kamu nih."
"Bukan, tadi meetingnya di Hotel Hyatt. Sekarang Aku lagi di Mc Donald Thamrin."
"HAH? Meeting di Hotel? Meeting atau meeting nih?"nada suara Tedy semakin meninggi dan keras. Tasya sampai harus menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Udah ah, aku mau makan dulu. Nanti sampai kantor aku telepon kamu." Tasya mematikan sambungan telepon karena melihat Andreas sedang berjalan ke arahnya sambil membawa nampan berisi burger dan kentang goreng.
Selama Tasya menyantap burgernya, matanya beberapa kali melirik ke ponsel yang masih mode silient. Tedy masih berusaha menghubunginya.
"Siapa sih? telepon kok militan gitu? Enggak diangkat?" tanya Andreas heran.
"Biar saja, tanganku kotor." alasan Tasya
Tak disangka Andreas mengambil ponselnya dan menekan tombol hijau lalu mendekatkan pada telinganya.
"Halo, ini teleponnya Tasya. Orang nya lagi makan, tidak bisa diganggu. Nanti telepon lagi yah." setelah mengucapkan kalimat itu langsung memutuskan sambungan telepon.
Wajah Tasya seketika menegang dan pucat, perasaan takut perlahan menyelimutinya. Hal itu disadari Andreas, "Sorry.."
Tasya hanya geleng kepala "It's okay. I will explain to him." Nasi sudah menjadi bubur, dia sudah dapat membayangkan gimana marahnya Tedy nanti.
Setelah menghabiskan makanan yang ada dihadapkannya, kemudian Tasya beranjak untuk mencuci tangannya.
Kembali dari meeting, Tasya melanjutkan pekerjaannya yang tertunda dari pagi. Tak terasa matahari mulai tenggelam. Dilirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangnnya, "Huff...hampir jam tujuh malam." gumam Tasya.
Dibereskan berkas berkas di mejanya, lalu mengetuk pintu ruangan Andreas.
"Apakah ada yang perlu saya kerjakan lagi An??"
"Ohh..tidak ada sih. Sudah mau pulang ya? Aku juga kok. Mau kuantar?"
"Tidak perlu, saya bisa pesan gojek kok" jawab Tasya
"Jam segini pasti lama, sudahlah aku antar pulang saja. Toh ada Indra yang nyetir. Kamu tolong info Indra untuk stadby di lobby 10 menit lagi." tegas Andreas, matanya menatap tajam dan itu tandanya tidak mau mendengar bantahan lagi. Tasya hanya bisa pasrah dan menjalankan perintah si bos.
Perjalanan ke kos kos an Tasya sebenarnya tidak terlalu jauh, namun karena macet jadi memakan waktu lebih lama. Namun selama perjalanan tidak terlalu membosankan karena Andreas dan Tasya membahas projek Malang yang baru saja dimenangkan oleh perusahaan mereka.
Belum sempurna Tasya keluar dari mobil matanya sudah menangkap sosok Tedy yang sedang duduk di teras, merokok. Setelah menunggu mobil Andreas hilang dari pandangan, Tasya membuka pintu pagar kos-an dan berjalan menunduk menuju Teras.
Tangannya mulai bekeringat, Tasya gugup sehingga beberapa kali tersandung kerikil kecil. Bayangan buruk sudah terbesit di depan matanya, seperti mimpi buruk. Tapi kali ini adalah mimpi buruk yang telah menjadi kenyataan....