Kau Yang Membunuh Hati

1253 Words
iniLelaki itu menatap Jenny nanar, sedang yang ditatap tersenyum manis padanya, seakan tak merasa bersalah sama sekali saat mengutarakan tuntutan yang terdengar begitu gila. Mana mungkin ia memberikan uang satu milyar setiap bulannya pada Jenny. Walau memang bisnis dan gajinya sebagai anggota DPR lebih dari jumlah yang Jenny sebutkan, namun tetap saja semua itu tak masuk akal dan Altair belum cukup gila untuk menuruti Jenny. Altair pada akhirnya memilih duduk pada kursi di hadapannya Jenny. Ia memikirkan cara apa yang bisa dilakukannya untuk menggagalkan tuntutan Jenny. Wanita jahat itu tak akan bisa memerasnya bagai seorang penjahat jalanan. Ia tak pernah menyangka Jenny yang matanya selalu memancarkan sinar kebaikan, memiliki sisi sengeri ini. Apalagi wanita itu tadi hendak membunuhnya dengan mengarahkan pisau padanya. Lalu tiba-tiba wanita itu mulai tenang dan mengajukan tuntutan yang tak masuk akal. Wanita itu pasti telah kehilangan kewarasannya. “Apa yang membuatmu berpikir begitu lama? Pasti tuntutanku terlalu kecil. Apa aku harus menaikkan jumlah uangnya? Ah … atau sekalian aku meminta villa di puncak, agar aku ada tempat menginap jika berlibur ke sana. Ah … aku memang bodoh karena melewatkan villa indah itu. Tempat di mana kamu melamarku itu memang harusnya aku miliki. Bagaimana menurutmu?” Jenny tersenyum dan menatap pria di hadapannya penuh harap. Sementara Altair bergidik ngeri melihat senyuman Jenny yang menghiasi wajahnya yang sedingin es. Tak ada lagi kehangatan atau kelembutan yang dapat dilihat dari sepasang netra wanita itu. Altair seakan tengah berhadapan dengan orang yang berbeda. Pasti inilah niat Jenny merayu dan membuatnya jatuh dalam perangkap cinta, hingga tak takut untuk tak segera menjadikan wanita itu miliknya. Ketakutan bila ada orang lain yang merebut wanita itu darinya. “Jangan harap, aku akan mengabulkan semua permintaan konyolmu itu. Semuanya terdengar nggak masuk akal. Aku nggak mungkin bisa memberikanmu sebanyak itu.” Jenny tertawa mengejek. “Ya Tuhan … kamu ternyata pelit sekali. Ah … sayang sekali. Padahal yang kudengar tahun depan kamu akan mencalonkan diri sebagai gubernur di Jakarta. Kira-kira apa tanggapan orang-orang saat mendengarkan berita perselingkuhanmu ini ya?” Jenny tersenyum dan menatap pria di hadapannya dengan datar, sedang pria itu mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia tak menyangka Jenny akan mulai mengancamnya seperti ini. Bagaimana bisa wanita itu membuatnya merasa kalah? Bukankah Altair pintar berdebat, mengapa kini ia malah membeku? Apa semua ini karena rasa bersalah atau mata Jenny yang terlihat bersungguh-sungguh telah membuat hatinya diliputi rasa khawatir? “Kau konyol jika publik akan termakan oleh omonganmu. Mereka pasti akan menudingmu yang tidak lain adalah seorang mantan model sebagai biang kerok dari masalah di antara kita. Apalagi mereka mendengar kabar, jika agensi tempatmu bekerja dulu ingin merkrutmu kembali menjadi model.” Lelaki itu tersenyum penuh percaya diri, “Mereka akan menuliskan, Jenny si model bersinar kembali ke panggung dan meninggalkan suaminya yang malang. Pada akhirnya, aku yang akan menang, Jen.” Jenny terdiam sesaat, sedetik kemudian tawanya pecah. “Kau tak hanya bodoh, ternyata cukup konyol juga,” Ucap Jenny seraya berdiri dan mendekatkan wajahnya pada telinga pria itu, “Mau tahu satu hal menarik?” Ia menjauhkan wajahnya dan mengeluarkan beberapa lembar foto dari dalam tas, lalu memberikannya pada Altair. “Foto-foto ini pasti bisa membuat media mulai membicarakan banyak hal tentangmu. Seorang pengusaha muda, tampan, dan seorang anggota DPR tega menyelingkuhi istrinya yang malang. Lalu, istrimu itu akan tampil di media dan menangis tersedu-sedu, menunjukkan pada seluruh Indonesia akan betapa hancur dirinya.” Jenny kembali menempatkan wajahnya di samping telinga Altair, “Menurutmu, aku atau kamu yang akan meraih simpati lebih banyak?” Pria itu melihat satu-persatu foto yang diberikan Jenny. Amarahnya terpancing, ia merobek-robek foto yang mengabadikan kemesraannya dengan beberapa wanita berbeda. Ia ikut berdiri, mendorong tubuh Jenny hingga terjatuh di tempat tidur, dan mencekik Jenny sangking geramnya. Matanya sudah gelap karena amarah, sedang Jenny tersenyum penuh kemenangan. Lelaki itu yang sadar apa yang hendak Jenny perbuat segera menarik tangannya dari leher jenjang wanita itu, membuat Jenny terbatuk dan bisa kembali bernafas. Jenny mengusap-usap lehernya, sedang pria di hadapannya terduduk lemas di lantai, menatapi tangannya yang bergetar. Tak menyangka Jenny bisa membuatnya menunjukkan sisi ngeri dari dirinya. “Kenapa nggak diteruskan? Bukankah lebih baik jika aku mati? Ah … padahal selangkah lagi, kamu berhasil melenyapkanku. Aku nggak sabar mengetahui bagaimana isi pemberitaaan tentang ini keesokan harinya,” Jenny tersenyum dingin, “Di sana akan tertulis; ketahuan selingkuh, anggota DPR membunuh istrinya sendiri untuk menutupi aibnya.” Altair mengeraskan rahangnya dan menatap Jenny tajam. “Kamu memang gila!” Jenny tertawa untuk yang kesekian kalinya. Ya, mungkin dirinya memang telah menjadi gila karena semua rasa sakit yang ditahannya selama berbulan-bulan. Ia diacuhkan, didiamkan, dan ditinggalkan sendirian. Setiap malam tersiksa dengan pemikiran, siapa yang berbaring dengan pria itu sementara dirinya sendirian di rumah mewah mereka? Berbulan-bulan hatinya disiksa dengan keji. Apa lelaki itu pikir, semua derita itu tak lantas bisa merenggut kewarasannya? Orang waras akan seketika menjadi gila dengan semua penyiksaan bathin itu. Jenny sudah lelah menangisi ketidak pulangan pria itu ke rumah yang tak lagi terasa hangat. Sudah lama ia memendam rasa sakitnya dan mengisi benaknya dengan pemikiran-pemikiran positif tentang lelaki yang dinikahinya. Ia membuang semua prasangka yang menambah pedih di hati. Hingga melihat dengan mata kepalanya sendiri, pria itu tengah b******u dengan seseorang di ruangan yang seharusnya pria itu gunakan untuk bekerja bukan untuk bermesraan apalagi bermain wanita. Rendah sekali kelakuan pria itu. Jenny tak kuat lagi menanggung sesak di dadanya. Pada saat itu, Jenny memutuskan menyewa seorang detektif swasta untuk mengumpulkan bukti. Ia tak mau bersikap terburu-buru dan kehilangan segalanya. Ia telah kehilangan hati, dunia, mimpi, dan kisah cinta. Kehilangan pria itu tak lagi terasa begitu menyeramkan karena semua kehilangan yang telah ia alami. “Aku yang gila atau kamu, Mas? Kamu menjanjikan dunia padaku, lalu kamu merenggutnya begitu saja dariku? Apa yang kamu pikirkan saat bermesraan dengan banyak wanita? Apa kamu merasa senang? Merasa tercabar dengan hubungan terlarang itu? Katakan padaku dan buat aku mengerti mengapa semua yang terlihat sempurna tega kau hancurkan!” “Apa kamu merasa aku berpaling hanya karena mencari kesenangan semata? Apa kamu nggak bisa mencari kesalahan di dalam dirimu? Apa kamu begitu sempurnanya?” Jenny tertawa, hingga air mata jatuh di kedua sudut matanya. Ia mengusap air matanya kasar, merasa tak berguna membicarakan hati dengan pria yang tak lagi memiliki hati untuknya. Ia akan melakukan hal yang sama. Membunuh hatinya sendiri agar tak lagi tersakiti. Ia tak akan lagi jatuh cinta dan menitipkan hatinya pada seorang asing. Jenny tak ingin kembali hancur seperti saat ini. Lelaki itu adalah pembunuh keji yang tega menghancurkan hatinya. “Sudah cukup bicaranya. Setujui semua tuntutanku atau semua yang kau robek tadi akan tersebar di media sosial dan juga pemberitaan di negeri ini. Pikirkan saja impianmu untuk menjadi gubernur. Lebih baik bercerai baik-baik dan membuatku bahagia, daripada aku membuatmu kehilangan rasa simpatik dari orang-orang.” Altair menatap wanita di hadapannya tajam. Ia mengepalkan tangannya erat-erat. “Coba saja kalau memang kau bisa menjatuhkanku!” Jenny tersenyum manis. “Baiklah, itu pilihanmu sendiri dan jangan menyesalinya.” Altair tertawa. “Aku sudah memusnahkan foto-fotomu. Siapa yang akan mempercayaimu?” Lelaki itu tersenyum penuh kemenangan. Jenny tersenyum miring. “Kamu terlalu naif menjuru ke bodoh. Nggak mungkin aku memberikan bukti penting begitu hanya untuk membiarkanmu menyobeknya. Tenang aja, aku masih mempunyai salinannya dan beberapa foto tambahan lainnya. Aku nggak sabar memberitahukan hal ini pada rekan persku. Ah … aku harus menulis sesuatu yang galau di sosial mediaku. Tampaknya, aku harus pergi, banyak yang harus kulakukan.” Senyum di wajah Altair sirna begitu saja. Dengan cepat ia mencengkram pergelangan tangan Jenny dan menghentikan langkah wanita itu. “Aku setuju dengan tuntutanmu.” Senyum lebar terukir di wajah cantik Jenny. Senyum penuh kemenangan yang membuat hati Altair semakin panas, kebencian merasuki setiap relung hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD