Bab 20. Lusi Menemui Billy

1097 Words
Lusi merasa galau, pikirannya pun kacau. Lusi ingin memastikannya, lalu Lusi memutuskan membeli alat tes kehamilan di apotek. Sepulang kuliah, Lusi mencari apotek yang agak jauh dari kampus dan rumahnya. Lusi takut ada yang mengenalinya. "Cari apa mbak?" "Saya ingin membeli... alat tes kehamilan", ucap Lusi pelan. Petugas apotek tersebut melihat Lusi sebentar lalu membawakannya sebungkus alat tes kehamilan. "Maaf, kamu sepertinya masih muda, apa ini kehamilan pertama?" "Iya". "Lalu suaminya mana mbak, gak anterin?" "Maaf, ini uangnya, saya permisi". Lusi segera pergi dari apotek tersebut. Sesampainya di rumah, Lusi melakukan kegiatannya seperti biasa. Esok paginya, Lusi bangun pagi lalu menampung air seninya. Dia berharap hasilnya negatif namun alat tes tersebut menunjukkan garis 2 dan itu berarti Lusi hamil. Lusi tak percaya, dia menangis tanpa suara. Air matanya mengalir begitu saja. "Bagaimana ini? Aku hamil dan lelaki yang melakukan ini adalah.....Aku harus apa? Kalau Abah sampai tahu. Gak gak Abah gak boleh tahu hal ini. Aku harus merahasiakan dari Abah. Dan aku harus mencari ayah bayi ini. Tapi,..... apa dia mau bertanggung jawab. Jika tidak, aku harus apa", Lusi sangat kalut saat itu. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia bingung dan hanya bisa menyimpannya sendiri. Cukup lama Lusi berada di kamar mandi. Dia segera membenahi alat tersebut dan menyimpannya. Lusi segera mandi karena takut Pak Harris keburu bangun. Selesai mandi, Lusi masih menyiapkan sarapan seperti biasa namun pikirannya tidak fokus. Lusi banyak melamun di meja makan. "Lus, tak biasanya kamu melamun. Ada yang kamu pikirkan?", tanya Pak Harris yang menyadarkan lamunan Lusi. "Tidak ada Bah. Lusi hanya memikirkan tugas kampus". "Emang kenapa tugasnya Lus?" "Tugas kelompok, Bah. Jadi, mungkin hari ini Lusi pulang agak telat mau mengerjakan tugas di rumah teman". "Kirain Abah ada apa, iya kalau harus pulang telat tidak apa yang penting kamu izin, jadi Abah tidak khawatir". "Iya, Bah". Selesai sarapan, Lusi membereskan meja dan berangkat ke kampus. "Lusi pamit ya, Bah". "Hati-hati". Sepanjang perjalanan, Lusi berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang? Haruskah menemui Billy di pabriknya? Haruskah memberitahu Angga kalau dirinya.....? Selama di kelas, Lusi pun tidak fokus. Selesai kelas, akhirnya Lusi memutuskan untuk menemui Billy di pabriknya karena Billy lah, ayah dari calon bayi tersebut. Lusi memanggil taksi dan menuju pabrik Billy. "Tapi bagaimana kalau aku bertemu Ka Angga? Apa yang harus aku katakan?" Tapi Billy sudah memblokir contactnya dan tidak mengangkat telepon darinya, jadi mau tidak mau Lusi harus menemui Billy di pabrik. Jam baru menunjukkan pukul 3 sore, saat taksi yang ditumpangi Lusi sampai di pabrik. Lusi turun dari taksi dan berusaha memantapkan langkahnya untuk mencari Billy. Lusi bertanya pada security di pintu gerbang. "Sore Pak, saya ingin bertemu Pak Billy. Apa beliau ada?" "Mbak ini siapa ya?" "Saya ada keperluan dengan Pak Billy". "Mbak masuk saja ke gedung kantor sebelah sana. Nanti ada resepsionis, Mbak tanya lagi saja". "Makasih Pak, saya permisi". Lusi berjalan lagi dan masuk ke gedung, dia bertemu resepsionis lalu bertanya. "Sore, saya ingin ketemu Pak Billy. Apa beliau ada?" "Iya, sore. Pak Billy ada di ruangannya. Sebelah sana. Di ketuk saja pintunya". "Baik, terimakasih". Di depan pintu, meski dengan keraguan dan perasaan campur aduk, Lusi mengetuk pintu. "Tok...tok... ", lalu membuka pintu itu. Disana ada Billy yang sedang duduk memperhatikan laptop miliknya dan tidak memperhatikan siapa yang datang. Lusi perlahan memanggilnya, "Pak Billy". Lalu Billy melihat ke arah Lusi, "Kamu..., mengapa kamu ada di sini?" "Saya....sengaja mencari Anda, ada hal yang harus saya katakan". "Saya sudah jelas mengatakan bahwa kita selesai, jadi saya tidak harus mendengarkan perkataanmu. Silahkan tinggalkan tempat ini". "Tapi ini penting, Pak. Saya mohon dengarkan sebentar saja". "Apa kamu tidak bisa melupakan saya? Kamu ingin bercinta lagi dengan saya?", Billy mendekati Lusi. "Bukan...., saya ingin memberikan Anda ini", sambil mengeluarkan alat tes kehamilan dari dalam tasnya dan memberikannya kepada Billy. Billy lalu melihatnya, "Apa maksudnya ini?" "Saya..... saya ha.. mil dan Anda ayah dari calon bayi ini". "Hamilll, saya Ayahnya. Gak mungkin", lalu melempar alat tes tersebut. Lusi menatap tak percaya, "Anda tidak mau bertanggung jawab atas perbuatan Anda ke saya". "Kita melakukannya cuma sekali. Bagaimana mungkin itu saya? Kamu kan sering tidur dengan pria lain". "Anda berbicara seolah saya ini w************n", lalu menampar pipi kiri Billy dengan keras. Lalu Billy menatap tajam Lusi, "Apa ini wanita seperti kamu beraninya menampar saya?" Billy menyergap Lusi dengan cepat, Lusi terkunci lalu ingin melumat bibir Lusi. Lusi sontak kaget dan berusaha melawan. "Lepas atau saya teriak". "Teriak biar semua orang tahu termasuk Angga", Billy malah menguatkan lengannya. "Ahhhh....., sakit". Lalu Billy dengan memaksa melumat bibir Lusi dengan liar. Dan di saat itu, Angga datang, dia sedang menuju gedung kantor dan ingin menemui Billy untuk memberi hasil laporan di lapangan hari ini. Angga sudah berada di depan dan bertemu resepsionis. "Pak Angga, Pak Billy sedang ada tamu". "Tamu? Tidak apa saya hanya ingin menyerahkan laporan ini sebentar". Lalu Angga menuju kantor Billy, Billy masih menciumi Lusi sehingga ketukan Angga tak di dengarnya. Angga membuka pintu dan melihat Billy sedang berciuman dengan seorang wanita yang tampak punggungnya saja. Billy yang sadar kedatangan Angga, menghentikan aksinya dan memandang ke arah Angga. "Angga, kenapa tidak mengetuk pintu?" "Maaf Pak, tadi saya sudah mengetuk tapi tidak ada jawaban jadi saya... Maaf saya menganggu, saya hanya ingin memberikan laporan hari ini". "Letakkan saja di meja", Angga meletakkannya di meja tamu lalu bergegas meninggalkan ruangan. "Saya permisi Pak". Sementara itu, Lusi sangat ketakutan, jantungnya berdebar kencang, Lusi takut Angga mengenalinya. Namun, saat itu wajah Lusi memang membelakangin Angga. Billy yang melihat wajah Lusi yang ketakutan sangat senang. "Bagaimana kalau saya panggil Angga lagi sekarang? Apa reaksinya ya mengetahui kekasihnya berciuman dengan lelaki lain?" "Jangan...jangan...Pak". "Sepertinya dia sangat mencintaimu, kenapa kamu tidak minta dia menikahimu? Saya ini lelaki terhormat, saya pantas mendapatkan wanita yang sempurna tidak seperti kamu". "Lelaki terhormat", Lusi tersenyum sinis. "Anda hanya lelaki pengecut yang bersembunyi di balik jas Anda. Saya menyesal pernah terbuai dengan Anda. Saya mengerti sekarang mengapa Anda belum memiliki pasangan sampai sekarang". "Kamu.... jaga ucapanmu". Lalu Lusi segera meninggalkan Billy dengan wajah yang marah karena ucapannya. "Wanita itu benar-benar idamanku, cantik, berani, liar tapi gampangan. Apa benar dia hamil anak ku? Atau bisa saja itu anak lelaki lain? Tapi dia memintaku bertanggung jawab? Kenapa tidak meminta Angga?" Beribu tanya memenuhi pikiran Billy tapi arogannya menyingkirkan semua itu. "Aku tak peduli. Aku harus tetap pada prinsipku, barang bekas tetaplah barang bekas". Sementara itu, Lusi pulang dengan perasaan yang sedih. Harusnya dia tidak usah menemui lelaki seperti itu. "Aku harus menyelesaikan masalah ini sendiri. Billy tak mau bertanggung jawab jadi lebih baik aku hilangkan calon bayi ini. Iya, itu yang terbaik", sambil memegangi perutnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD