1# Meet You

1298 Words
"Kau yakin tidak mau mengambil posisiku kak?" Azura mendongak dari sarapannya. Wanita 23 tahun itu memandang Allura dengan senyum yang ringan. Azura menggeleng pelan sembari menyesap air putih yang ada di samping kanannya. Dari balik kaca gelas, ia dapat melihat raut kesal yang terpancar dari wajah cantik adiknya. "Kau tau bukan, hanya kau yang bisa meneruskan perusahaan Papa. Aku tidak mungkin melakukannya Al, kau tau bagaimana papa padaku," Azura bergumam sembari mengusap perut buncitnya. "Aku bahkan belum lulus kuliah kak! Aku tidak bisa melakukannya," Allura meletakkan sendok dan pisaunya ke piring, lalu sedikit mendorong benda bulat pipih itu ketengah meja, seakan memberi tau kalau ia sudah tidak berminat untuk menghabiskan sarapannya lagi. Perlahan tangan Azura naik menggengam tangan Allura yang ada di atas meja. Wanita itu mengusap pelan pergelangan tangan adiknya. Berharap dengan begitu Allura akan mengerti dan paham.  "Aku mohon, hanya untuk kali ini saja Al. Kita tidak bisa membiarkan perusahaan papa terlantar begitu saja. Disini hanya kau yang bisa menangganinya. Aku tidak mungkin memimpin perusahaan itu dengan kondisiku yang seperti ini, ditambah rasa tidak suka papa padaku semakin membuatku yakin, bahwa aku tidak patut memegang kendali. Hanya kau yang bisa membantu papa Al. Kumohon," "Aku benar-benar tidak suka saat melihatmu memohon seperti itu! Hentikan kak! Kau membuat posisiku sulit," Azura tersenyum jenaka sembari melepas pegangan tanganya. Wanita itu tau adiknya ini tidak akan menolak keinginannya. Meskipun terlihat kesal Allura tidak akan mungkin mengecewakan kakak dan papanya. Azura yakin itu.  "Jadi, kau menyetujuinya bukan?" Azura dapat mendengar hembusan nafas pelan yang keluar dari mulut Allura.  "Baiklah, aku akan menggantikan posisi papa sementara. Tapi ingat kak! Hanya sementara! Dan setelah ini aku selesai! Aku bersumpah akan menuntut papa untuk mengisi penuh stock es krim di lemari pendingin saat papa sudah sadar nanti!" Allura bersungut dan Azura hanya bisa tertawa kecil menanggapi. "As you wish, sis. Aku akan menjadi saksimu nanti," Allura mengangguk pelan. Perempuan itu segera berdiri saat dari kejauhan ia melihat Dicky berjalan pelan menghampirinya.  "Aku berangkat kak. Tolong jaga papa, dan doakan aku semoga aku tidak melakukan kesalahan fatal yang bisa membuat perusahaan papa bangkrut seketika," Ucapan Allura itu kembali membuat Azura terbahak.  "Baiklah aku akan menjaga papa dan juga mendoakanmu, sis. Good luck!"  Azura mengepalkan telapak tangannya lalu ia angkat ke udara, bermaksud menyemangati adiknya yang terlihat sangat menderita saat ini. Allura hanya tersenyum kecil lalu segera melangkah menghampiri Dicky yang berdiri tak jauh dari meja makan. "Anda sudah siap Miss?"  Tanya Dicky begitu Allura berhenti tepat didepannya. "Jika aku berkata belum, apakah itu akan membuatku terbebas dari hal ini?" "Jangan dengarkan dia Dic! Kau hanya perlu membawanya pergi ke kantor secepatnya," Azura berteriak dari meja makan. Dicky yang mendengar tanggapan Azura hanya tersenyum kecil menanggapi. "Silahkan, Miss" Dicky sedikit menyingkir, memberi jalan kepada Allura agar wanita itu bisa lebih dulu berjalan keluar. ●●● "Aku tak mengerti Dic," Allura terpekik kesal. Wanita itu mengetuk-ketukan jarinya dimeja dengan frustasi. Sudah sejak 2 jam yang lalu Dicky mulai sibuk mengajarinya ini itu. Berbicara ngalor ngidul tanpa berhenti. Tapi sudah sejak 2 jam pula Allura sama sekali tak mengerti apa yang dijelaskan oleh Dicky. Wanita itu hanya akan mengerutkan dahinya semakin dalam ketika Dicky mulai menyebutkan istilah-istilah perusahaan yang sama sekali ia tidak tau. Allura sampai tak habis fikir, bagaimana papanya itu bisa tahan dengan semua hal-hal yang melibatkan pikiran ini. Ini sama sekali tidak menyenangkan, ia bahkan berani bertaruh, Azura akan sependapat dengannya. "Tidak apa-apa, Miss. Semua memang butuh proses. Anda tidak perlu tergesa-gesa," Tepat beberapa detik setelah Dicky menyelesaikan ucapannya, pintu ruangan Allura diketuk. Menampilkan sosok wanita yang Allura kenal sebagai sekertaris papanya, Vonny. "Maaf, Miss. 15 menit lagi meeting akan segera dimulai," Vonny berujar sembari membaca buku agendanya. Allura mendesah pelan. Ia sama sekali tidak mengerti akan apa yang dijelaskan Dicky tadi. Dan sekarang dirinya harus menghadiri rapat. Yang benar saja?! Bagaimana cara ia berinteraksi nanti? Bagaimana kalau ia akan terlihat bodoh? Dan bagaimana-bagaimana lainnya yang tiba-tiba menyeruak masuk memenuhi isi kepalanya. Ini tidak adil!! Rutuknya dalam hati. "Sepertinya Miss. Allura belum siap untuk menangani rapat kali ini, Von. Bisakah aku menggantikannya?" Dicky berujar pelan. Membuat Allura menolehkan wajahnya cepat kearah laki-laki yang baru beberapa minggu ini ia kenal. "Tentu saja, saya akan segera menyiapkan bahan-bahannya," Vonny tersenyum manis, wanita itu lalu segera mengundurkan diri dari ruangan Allura. "Kau benar-benar akan menggantikanku Dic?" Dicky terdiam beberapa saat, wajah laki-laki itu terlihat kebingungan.  "Apa saya salah? Maafkan saya, Miss. Saya tidak bermaksud meragukan posisi anda. Saya akan bilang kepada Vonny untuk men-" "Tidak, tidak Dic. Aku benar-benar tidak keberatan, aku malah harus berterima kasih padamu. Entah bagaimana kalau tidak ada kau. Mungkin aku akan lompat dari gedung ini karna terlalu frustasi," Allura dapat mendengar hembusan nafas lega  dari mulut Dicky. Diam-diam wanita itu menahan tawanya melihat wajah Dicky yang terlampau panik. Padahal ia sama sekali tidak menyalahkan Dicky atas ucapan laki-laki itu. Memang dasar Dicky saja yang terlalu cepat menyimpulkan. "Saya kira anda tidak setuju dengan usul saya," "Jangan bodoh! Tentu saja aku setuju," Dicky tersenyum simpul. Laki-laki itu lalu segera membersihkan beberapa dokumen yang berserakan dimeja Allura.  "Anda bisa beristirahat dulu, Miss. Setelah meeting nanti, saya akan mengajari anda lagi," Allura mengetuk-ketukan jarinya di meja. Matanya terus mengamati pergerakan tangan Dicky yang cepat. Mungkin tidak ada salahnya ia mengikuti meeting. Toh dia tidak akan berbuat apapun disana, ia cukup harus diam dan mendengarkan. Siapa tau dengan mengikuti meeting kali ini, bisa membuat dirinya sedikit lebih mengerti tentang hal-hal yang menyangkut dunia bisnis. "Dicky?" Dicky menghentikan aktifitasnya lalu segera menoleh kearah Allura dengan alis terangkat satu.  "Ya, Miss?" "Apa aku boleh ikut?" Allura harus meralat ucapannya beberapa menit yang lalu. Ia saat ini benar-benar terlihat seperti orang bodoh. Pembicaraan yang bersliweran di telinganya sama sekali tak ia mengerti. Tau begini, memang seharusnya ia menunggu Dicky saja diruang kerjanya. “Apakah kita harus membuat produk baru dan menambah kualitas produk?” “Jika menambah kualitas, dana yang dikeluarkan pasti bertambah dan membuat produk yang baru memiliki harga yang lebih tinggi, apakah hal itu tidak mempengaruhi daya beli konsumen?” “Hal itu pasti terjadi, dengan membuat produk baru itu membutuhkan dana yang besar, dan juga bahan baku yang berbeda dan mesin yang harus diperbarui. Se-" "Maaf saya terlambat,"  Ucapan itu langsung mendapat perhatian khusus dari semua orang yang ada di ruang meeting tersebut. Tak terkecuali Allura yang juga menolehkan wajahnya kearah laki-laki yang berdiri tepat di depan pintu masuk. Allura membelalakan matanya kaget. Seketika bulu kuduknya meremang. Ia mengenal laki-laki itu. Dan tampaknya laki-laki itu juga tak kalah kagetnya saat melihat dirinya. Allura mengambil nafasnya dalam-dalam. Berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Tidak perlu ada yang dikhawatirkan ataupun ditakutkan disini. Toh mereka sudah selesai sejak 2 tahun lalu. "Tidak apa-apa pak Alno, kami belum membahas terlalu jauh. Silahkan duduk," Raefalno tampak sedikit tersentak kaget. Namun buru-buru bersikap normal kembali. Alno sedikit menyunggingkan senyumnya. Laki-laki itu lalu mulai berjalan menghampiri kursi kosong yang berada di antara meja bundar itu. Sialnya kursi itu tepat berada di depan Allura. Dan gadis itu tidak bisa tidak menahan rasa tak nyamannya. For God's Sake! Allura benci saat-saat seperti ini. Meeting tampak kembali berjalan normal. Pembahasan yang dilakukan masih sama seperti tadi. Yang berbeda hanyalah tatapan yang diberikan oleh Raefalno. Meskipun sedari tadi Allura hanya menundukan wajahnya, tapi wanita itu tau bahwa sedari tadi Alno memperhatikannya tanpa jeda. Dan hal itu sangat tidak baik untuk kesehatan jantungnya. Allura benci mengakui bahwa jantungnya masih berdetak diatas normal karna perlakuan Alno. Demi Tuhan ia sudah membuang jauh-jauh perasaannya pada Raefalno. Tapi memang dasar hati tidak bisa diajak kompromi! Waktu terus berjalan. Allura semakin tidak nyaman saja duduk dikursinya. Rasanya ia ingin cepat-cepat mengangkat pantatnya dari kursi yang didudukinya, bahkan ia tadi sempat berfikir bahwa kursi ini lebih panas dari kursi milik Feni Rose diacara talkshow 'Rumpi No Secret'. "Sekian Meeting pada hari ini. Terimakasih kepada rekan-rekan yang telah berpartisipasi," Allura tidak bisa lebih bersyukur lagi saat mendengar ucapan salah seorang anggota Meeting. Perempuan itu dengan cepat membersihkan dokumen di depannya. Wanita itu sedikit mencondongkan badannya ke samping Dicky untuk berbisik "Aku harus ke kamar mandi Dic. Kau pergi keruanganku dulu saja," Tanpa menunggu jawaban Dicky. Perempuan itu segera berdiri lalu berjalan cepat keluar dari ruang Meeting, berharap dengan begitu Alno tidak akan bisa menangkap pergerakannya. Tidak baik bagi kesehatan hati dan jantungnya jika Alno sampai menyapanya. Sangat berbahaya! Tapi sepertinya nasib baik sedang tidak berpihak pada Allura saat telinganya tanpa bisa dicegah mendengar panggilan Alno.  "Allura?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD