2# You Are To Me

1727 Words
"Allura?" Panggilan itu membuat tubuh Allura menegang. Tapi wanita itu tidak menghentikan langkahnya, dan ia juga tidak ada niatan untuk menghentikan langkahnya. Biarlah Alno berfikir bahwa dirinya tidak mendengar, atau sombong, atau apalah. Tapi yang jelas ia ingin segera menghilang dari jangkauan Alno. Allura merasa lengan kirinya ditarik kebelakang, membuat dirinya tanpa sadar terpekik kaget. "Hei!" Wanita itu mengerjap-erjapkan matanya. Berusaha mengambil kembali kesadarannya yang sempat menguap karna terlalu terkejut.  Saat ia tersadar, ia baru merutuki dirinya sendiri yang sudah berdiri kaku di depan Alno. Ah sial, ia kecolongan! Harusnya tadi ia berlari. "Kenapa kau menghindariku?" Allura bisa merasakan aura kesal yang dikeluarkan Alno.  Ah ia sungguh tak pernah berfikir kalau momen seperti ini akan ia alami. Berdiri berhadapan dengan orang dimasa lalu, yang bahkan Allura sendiri masih berusaha melupakannya.  "Al?" Panggilan Alno kembali membuat Allura sadar. Wanita itu memperhatikan Alno sekilas lalu berdehem pelan. Mencoba bersikap santai tanpa membuat Alno curiga bahwa sebenarnya saat ini ia sangat, sangat gelisah, dan.. mungkin sedikit takut.  "Namaku Moreen," Raefalno menaikan sebelah alisnya sembari memandang Allura jenaka, seakan akan hal yang baru saja dikeluar dari bibir Allura itu adalah hal paling bodoh yang pernah ia dengar.  "Jangan bertingkah bodoh! Itu memang nama depanmu, Al." Allura mendesah pelan. Apa yang sudah ia lakukan?! Ia malah mempermalukan dirinya sendiri dengan pernyataannya tadi. Semua orang bahkan tau nama depanmu Al! Rutuk Allura dalam hati.  Wanita itu tanpa sadar memilin baju disamping kiri dan kanannya. "Kau belum menjawab pertanyaan ku tadi. Kenapa kau menghindariku?" Alno kembali bertanya. Laki-laki itu menatap Allura intens sembari melipat tangannya di depan d**a. Tentu saja hal itu semakin membuat Allura panas dingin. Dan wanita itu yakin Alno dapat menangkap gerak geriknya. Allura kembali menarik nafasnya lalu menghembuskannya perlahan. Wanita itu kemudian mendongak, menatap Raefalno dengan senyum professionalnya. Ayo, Al! kau harus bisa segera pergi dari situasi ini! Teriaknya dalam hati. "Saya kira kita sedang berada dalam wilayah kantor, Mr. Maxwell. Saya harap anda bisa bersikap professional dengan tidak menanyakan hal pribadi diwilayah kantor," Allura berujar tanpa menghilangkan senyumnya sama sekali. Diam-diam ia berteriak dalam hati karna sudah berhasil menggeluarkan suara di depan Alno. Laki-laki di depannya tampak menaikkan sebelah alisnya. Tapi selanjutnya yang terlihat hanyalah senyum miring di bibir Alno. Allura menelan saliva-nya susah payah. Apa pria di depannya ini tidak sadar kalau senyumnya itu berpengaruh besar bagi, Allura?! "Oh, maafkan saya kalau begitu. Hmm, bagaimana kalau kita bicarakan masalah pribadi ini sambil makan siang di Sushi Tei, Ms. Eleanor? Sepertinya kau tidak akan sulit melakukan hal ini mengingat Restaurant itu berada tepat di seberang kantormu," "Hell no! " Allura langsung menutup mulutnya begitu ia selesai meneriakan umpatannya. "Ow, bahasamu kasar, Miss." Raefalno tampak terkejut mendengar ucapannya. Tapi tentu saja Allura tau, itu hanya kepura-puraan belaka. "Maaf saya harus pergi," Allura segera melangkahkan kaki jenjangnya meninggalkan Alno. Tidak peduli laki-laki itu akan menertawakannya. Yang jelas ia ingin segera pergi dari hadapan laki-laki itu. Karna jika ia mempertahankan posisinya, ia yakin temboknya akan segera runtuh. ●●●● Allura melangkah cepat memasuki ruangannya. Tidak perduli sapaan sopan Vonny kepadanya, yang jelas ia ingin segera masuk dan menenangkan dirinya di dalam ruangan yang satu bulan lalu masih ditempati oleh ayahnya. Allura tidak tau mengapa jantungnya masih berdetak dengan liar saat Raefalno tersenyum kepadanya tadi. Allura tidak tau kenapa perasaannya tiba-tiba menjadi lain saat mendengar suara Raefalno. sungguh Allura tidak mengerti dengan ini semua. Padahal ia yakin betul sudah menggubur perasaannya sejak 2 tahun lalu. Sejak Alno dengan kasarnya mengatakan kalau hubungan mereka telah berakhir. Sejak laki-laki yang ia puja mati matian itu mengatakan kalau ia hanyalah seorang anak kecil yang tak akan mampu memenuhi semua keinginan pria. Dan sejak pertama kalinya dalam hidup Allura merasa begitu direndahkan. Hatinya terasa perih saat kembali mengingat ucapan Raefalno dua tahun lalu. Ucapan yang dengan tidak sopannya mendobrak masuk dan menyayat hatinya begitu dalam. Saat itu ia bersumpah tidak akan pernah menemui Raefalno lagi, bahkan ia mulai membangun tembok besar mengelilingi setiap poros dihatinya. Dan sekarang, ia merasa telah menghianati perasaannya sendiri. Telah menghianati ucapannya sendiri. Telah menghianati tekadnya sendiri. Apa-apaan dirinya ini?! kenapa ia bisa sebodoh ini untuk larut kedalam perasaannya kembali?! Kenapa ia begitu bodoh dengan membiarkan air matanya kembali menangisi laki-laki b******k itu?! Demi Tuhan dia telah menyakitimu, Al!! Bahkan laki-laki itu tidak merasa menyesal sama sekali, Al! Laki-laki itu tidak pantas ditangisi! teriaknya dalam hati Allura menarik nafasnya dalam-dalam. Berusaha menyikapi hal ini dengan pandangan dewasa. Ya, dirinya sudah dewasa. Ia tidak boleh menyalahkan pertemuannya dengan Alno tadi. Itu semua hanyalah sebuah kebetulan yang harus membuatnya sedikit merasa sakit. Hanya sedikit, ia tidak apa-apa. Benar kan? "Itu hanya masa lalu, Al. Kau tak perlu mengingatnya lagi!" Desis-nya pelan. Perlahan perempuan itu berjalan kearah mejanya. Tepat saat pantatnya menyentuh kursi kebanggaan papanya. Pintu ruangannya diketuk, lalu sesaat kemudian Vonny sudah berjalan masuk mendekatinya. "Ada apa?" "Ada titipan, Miss." Allura mengerutkan dahinya bingung, tapi tak elak juga menerima kertas yang disodorkan oleh sekertaris papa-nya itu.  "Dari siapa?" "Mr. Raefalno,"  Allura menegang. Wanita itu buru-buru menatap selembar kertas yang sudah digenggamnya. "Dia... kesini?" "Baru saja pergi, Miss."  Allura masih diam memperhatikan kertas yang digenggamnya. Sebenarnya Vonny cukup penasaran dengan perubahan atasannya yang tiba-tiba ini. Tapi ia masih cukup tau diri untuk tidak menanyakan ada apa yang sebenarnya. "Kalau begitu saya permisi, Miss." Vonny berbalik, wanita muda itu baru akan menarik pintu saat Allura tiba-tiba bergumam. "Kalau dia kembali kemari, jangan biarkan dia masuk, Von."  Vonny diam beberapa saat, namun setelahnya mengangguk patuh. Allura masih memperhatikan secarik kertas putih yang dipegangnya. Ia sama sekali tidak berminat untuk hanya sekedar mengintip apa yang tertulis di dalam kertas tersebut. Tanpa sadar Allura mengepalkan tangannya, membuat kertas yang dipegangnya ikut teremas dalam genggaman-nya tersebut. Allura mengangkat tangannya keudara, dan dalam hitungan detik, kertas yang tadi dipengangnya sudah berpindah ke tong sampah dengan mulus. Ya, ia harus membuang kertas itu. Sama halnya saat Raefalno membuang perasaannya. Semua yang berhubungan dengan Alno harus ia enyahkan. Walaupun hanya sekedar kertas putih. ●●● "Pak? Pak? Apa anda mendengarkan saya?" Raefalno berjengit kaget saat mendapat tepukan keras dibahunya. Laki-laki itu langsung menoleh kesamping, dimana Kaemon sedang memperhatikannya dengan raut wajah kesal. "Adel sedang membacakan jadwalmu. Dan kau dengan rasa tidak terimakasihmu itu mengacuhkan dia begitu saja!" Ucap Kaemon sembari melipat kedua tangannya didepan d**a. Raefalno lalu menoleh kearah Adel yang hanya tersenyum memandangnya, "Maafkan saya, Del. Saya sedang tidak fokus. Kau bisa membacakan jadwalku nanti," Raefalno mengerlingkan mata birunya sembari tersenyum manis. Tentu saja perlakuannya itu membuat Adel menunduk semakin dalam. Tak dapat dipungkiri jika wajah wanita itu kini bersemu merah. Ia juga sama seperti wanita-wanita lain yang berusaha menarik perhatian putra Maxwell tersebut. Jadi tidak salah kan kalau ia sedikit merasa bahagia? "Ba-baik pak. Sa-saya permisi," Dengan gerakan cepat Adel langsung berbalik dan segera keluar dari ruangan bosnya itu. "Kau hanya membuat Adel semakin berharap! Tidak bisakah kau bersikap sewajarnya saja dengan para karyawanmu?! Setidak-tidaknya bersikap seperti Tuan Nelson. Dan kujamin semua karyawatimu tak akan mengharapkan cintamu lagi," gumam Kae sambil mendengus. Raefalno meringis kuda, laki-laki itu lalu berdehem pelan. Tangannya yang bebas menepuk-nepuk pundak Kae keras, "Aku bukan papa, Kae. Aku tidak mungkin sesadis itu dengan para karyawanku. Memangnya kau mau mempunyai atasan yang galaknya seperti Papa?" "..." "Aku yakin kau tidak mau bukan? Jadi santai saja, Kae. Malah seharusnya kau banyak-banyak bersyukur memiliki atasan yang begitu tampan dan baik hati sepertiku. Benar kan?" Kaemon memutar bola matanya jengah, namun tak urung juga mengangguk acuh. Ya, memang jika difikir-fikir Alno jauh lebih baik daripada Nelson. Ia mungkin tak akan sanggup jika atasannya model bapak tua galak seperti Nelson. Ia akan lebih banyak bersyukur mulai saat ini. "Good," Jawab Alno. laki-laki itu kemudian berdiri lalu berjalan pelan menuju lemari pendingin yang berada disudut ruangannya. Mengambil 2 botol soft drink yang kemudian salah satunya ia lempar kearah Kaemon. Kaemon yang sudah mengerti akan maksud Alno itu, dengan mulus menangkap botol yang melayang kearahnya. "Memangnya apa yang terjadi dengan pikiranmu? Sampai-sampai kau tidak mendengar apa yang dikatakan Adel tadi?" "Bukan apa-apa. Hanya bertemu seseorang saat meeting di EL INC tadi," Ucap Alno sembari mendudukan dirinya di single sofa. Kaemon menaikan sebelah alisnya penasaran, "Seseorang?" "Uh'um," "Perempuan?" "Uh'um," "Mrs. Gilbert?" "No," "Mrs. Jhonson?" "No," "Mrs. William?" "No," "Mrs. Maxwell?" "Itu Mamaku, Kae." "Mrs. Nagara?" "No," "Mrs. Achilles?" "Itu mama keduaku, Kae." "Mrs. Diaz?" "No," "Mrs-" "Tunggu dulu, Kae. Kenapa yang kau sebutkan hampir seluruhnya adalah wanita paruh baya dan sudah bersuami?" Kaemon menghendikan bahunya acuh mendengar penuturan bosnya, "Memangnya aku salah? Setahuku kau memang selalu antusias jika bertemu mereka. Padahal suami-suami mereka tampaknya sudah memperingatimu dengan tatapan sinis," Alno tergelak mendengar ucapan Kaemon. Memang ucapan PA-nya itu tidak sepenuhnya salah. Ia memang selalu antusias jika sudah bertemu dengan para wanita sosialita tersebut. Tapi bukan antusias dalam hal menyukai atau apalah. Melainkan antusias karna menurutnya wanita-wanita tersebut sangat baik kepadanya. Seperti pada saat Mrs. Diaz membelanya mati-matian di depan suaminya karna ia dengan sengaja menjadikan Hamster kesayangan Mr. Diaz sebagai makanan ular Phyton milik tetangga mereka. "Kalau bukan mereka, lalu siapa seseorang itu?" Pertanyaan Kae itu membuat Alno segera kembali dari alam lamunannya. Laki-laki itu meneguk sedikit air yang ada di dalam botol, lalu kembali menghadap Kaemon. "Ms. Eleanor," Alno bergumam sembari tersenyum. "Yang menghadiri meeting tadi bukan Mr. Eleanor. Kau tau bukan, belum lama ini ku dengar Tuan Geza jatuh sakit dan mengalami koma. Aku cukup terkejut saat mengetahui yang menggantikannya adalah putri kesayangannya," Kaemon menaikan sebelah alisnya sembari tersenyum jenaka, "Ex Girlfriend eh?" goda Kae sembari menaik turunkan alisnya. Raefalno tergelak melihat tanggapan Kaemon itu. Ya, Kaemon adalah orang yang mengetahui sekaligus hafal nama-nama semua mantannya. Entah mendapat ilmu dari mana. Alno sendiri bahkan tidak ingat berapa jumlah mantannya. Hanya beberapa orang saja yang mampu tersimpan di dalam otaknya. "Seingat ku dulu kau bilang dia masih terlalu kecil. Dan dia juga tidak bisa memuaskan hasrat liarmu itu. Lalu kenapa sekarang kau terlihat begitu gembira saat melihatnya? Apakah si itik sudah berubah menjadi angsa?" "Entahlah. Tapi dia begitu berbeda, Kae. Dia sudah menjadi dewasa, cantik, dan.. bertambah besar dibagian tertentu," Alno berdecak puas setelah mengutarakan maksudnya. "Really ? Kau hanya tertarik pada tubuhnya saja?! For God Sake, Alno! Kapan kau bisa menghargai wanita?! Kalau kau terus-terusan begini, kapan kau akan menikah bodoh?! Ingat umur!" Alno menghendikan bahunya acuh, seakan-akan ucapan Kae itu tidak terlalu penting untuknya. Lagi pula, untuk apa dia repot-repot menikah sekarang jika beberapa tahun ke depan ia masih bisa menggelar acara suci tersebut? "Tidak juga, sebenarnya bukan hanya tubuhnya. Ada sesuatu yang membuatku tertarik padanya. Tapi aku tidak tau apa," Gumam Alno sembari mengetuk-ketukan jarinya di dagu. Seakan memberi tahu kalau ia sedang berfikir keras saat ini. "Sudahlah, biar nanti ku pikirkan," Lanjutnya sembari berjalan kembali menuju kursi kebanggaannya. Menghiraukan Kaemon yang mengerutkan kening tak suka. "Pikirkan?" "Iya, pikirkan untuk mengajaknya Reuni," Kaemon tertawa sumbang mendengar penuturan Raefalno. Apa telinganya tidak salah dengar? Apa yang barusan Alno katakan tadi? Reuni? "Kau terlalu percaya diri, Bos. Kau fikir setelah apa yang kau lakukan dengannya, dia akan dengan mudahnya menerima mu? Oh, Come On! Berfikir realistis-lah! Dia.tidak.mungkin.kembali.padamu!" Kata Kae meragukan lengkap dengan setiap penekanan diakhir katanya. Tapi sepertinya Raefalno tidak perduli. Laki-laki itu hanya terkekeh mendengar ucapan Kaemon. "Kita lihat saja nanti,"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD