Rambut panjang bergelombang berwarna coklat itu tergerai indah di tubuh ideal wanita yang bernama Erika Mazeo. Kilau bola matanya yang berwarna abu, memperlihatkan rasa bahagianya bisa bertemu Daniel di sebuah tempat dan kondisi yang tidak terduga itu.
Keterkejutan itu pun reflek terjadi pada Daniel. Ia membalas uluran tangan Erika dan mengenalkan diri. “Daniel. Daniel Wijaya,” ucapnya sambil tersenyum dan mengingat jelas wanita yang berdiri di depannya adalah wanita yang sama ia temui tadi malam.
“Senang berkenalan denganmu, Daniel. Aku tidak menyangka kita bertemu lagi di sini,” ucap Erika, menatap lekat Daniel yang tersenyum di bawah sinar lampu terang. Tidak samar-samar atau redup seperti di Klub. Dan ia terlihat lebih tampan, walau pria yang bernama Hans itu pun tidak kalah tampan.
Deheman Hans memutus tatapan mereka. “Kalian sudah saling kenal?” celetuknya yang seketika melepaskan genggaman mereka.
“Ya,”
“Tidak.”
Ucap Erika dan Daniel serempak lalu tertawa kecil dan duduk.
“Ada apa dengan kalian? Aku tidak mengerti.” Hans mengernyit, begitu juga Albert. Mendengar jawaban mereka yang tidak kompak.
Daniel menyandarkan punggung di kursi empuk model klasik. “Kami belum saling mengenal, kebetulan kami bertemu di tempat yang sama tadi malam,” jelasnya yang disambut anggukan kecil Erika.
“Benarkah begitu, Nona Erika?” Hans mengangkat alis kanannya, melirik Erika yang sejak tadi mencuri pandang pada Daniel.
Erika mengangguk lagi. “Ya, Hans. Pertemuan tidak sengaja.” Ia tertawa kecil mengingat kejadian tadi malam. Kejadian yang terlalu cepat.
“Good. Sepertinya kita memang sudah ditakdirkan untuk bekerja sama. Besok, kami akan menemanimu ke tempat salah satu Departemen Store kami yang paling terbaik di Jakarta. Tapi sebelum membahas masalah itu sebaiknya kita memesan makanan dulu.” Hans mengangkat tangan ke arah Waiter yang sejak tadi menanti panggilan mereka.
Setelah memesan makanan, berbicara sejenak hingga makanan tiba. Hans terus memperhatikan Erika yang sejak tadi memperhatikan Daniel. Ia tidak tahu apa yang sudah terjadi dengan mereka hingga Daniel berhasil membuat wajah Erika merah padam setiap kali mereka beradu pandang.
Makan malam mereka pun berjalan lancar dan santai seperti halnya makan malam bersama keluarga. Diselingi perbincangan mengenai pekerjaan dan hal ringan yang memicu tawa kecil mereka.
Akhirnya setelah menghabiskan menu makanan Prancis yang ternama lezat di Jakarta itu, mereka harus mengakhiri pertemuan hari ini.
Berhubung Erika belum memiliki kendaraan, Daniel menawarkan diri untuk mengantarkan wanita itu pulang.
Beberapa menit setelah Daniel mengendarai kendaraan itu menuju area apartemen mewah di Jakarta, ia berkata, “Berapa lama kau tinggal di sini? Indonesia maksudku?” Ia melirik Erika yang sejak menaiki mobil tak banyak bicara.
Pandangan Erika kini beralih melirik Daniel. “Tidak lama. Hanya beberapa bulan saja,” jawabnya, yang sadar kehadirannya di Indonesia hanya untuk mencari tempat dan mengenalkan produk. Jika memenuhi target, perusahaannya akan menyewa tempat sendiri untuk produk mereka. Seperti semacam showroom.
"Bagaimana kau bisa bicara bahasa Indonesia?" Pertanyaan itu nyaris luput oleh Daniel yang penasaran sejak tadi malam.
Melihat Daniel yang penasaran, ia pun menjawab, "Aku memiliki sahabat orang Indonesia sejak kuliah. Dia lah yang mengajarkanku sampai menjadi seperti sekarang." Itulah jawabannya dan kali ini ia menanyakan ini, “Mengapa kalian tidak begitu mirip?”
Daniel meliriknya lagi. “Aku dan Hans?” tebaknya. Pertanyaan klasik setelah orang mengetahui ia dan Hans bersaudara.
Erika mengangguk dan tersenyum tipis. “Ya. Kau berambut coklat sedangkan Hans--”
“Ibu kami berbeda,” sela Daniel. “Ibunya adalah istri pertama ayahku yang sudah tiada.”
“Oh.” Erika paham sekarang. Walau ia menilai mereka berdua memiliki ketampanan yang berbeda, Daniel terlihat lebih santai dibandingkan Hans yang kaku dan serius. “Dia sudah menikah?”
“Ya.” Pandangan Daniel fokus ke depan lalu melirik Erika dan tersenyum. “Sama sepertiku.”
❤️❤️❤️
“Apa kau tidak bosan di rumah? Bukankah kau bisa menyewa Babysitter lalu kembali bekerja? Jika kau berubah pikiran kau bisa menghubungiku. Ini kartu namaku.”
Ucapan Sean terus terngiang di telinga Bella. Ia tidak fokus menonton film series kesukaannya yang sudah ia tunggu sejak pagi.
Semenjak pertemuannya dengan Sean, berhasil membuatnya bimbang. Bekerja sebagai Supplier memang bukan hal mudah untuk pemula. Namun bagi Bella menjadi Supplier, memiliki kenikmatan tersendiri. Dan Bella merindukan moment itu.
Lamunan Bella buyar setelah mendengar ponselnya berdering. Dengan cepat ia meraih ponsel dan terkejut melihat sebuah nama di layar.
“Hallo, Mike?” Dengan senyum lebar, Bella menyapa Mike. Pria yang sampai saat ini rutin menghubunginya sebagai sahabat walau seminggu hanya beberapa kali saja.
Mike menyeruput pelan kopi yang baru saja tersaji di atas meja. Ia menekan tombol loudspeaker dan menaruh ponsel itu di atas meja. “Apa kabarmu, Bell? Kau sudah makan malam?” tanyanya yang tahu di Jakarta sudah memasuki malam, berbeda dengan dirinya yang akan menghabiskan sarapan yang berupa beberapa tangkup sandwich dan secangkir kopi.
Sebelah tangan Bella memegang remote Tv, ia mengecilkan volume lalu menjawab ucapan Mike. “Kabarku baik, Mike. Kuharap kau juga sama.” Dengan jelas Bella mendengar suara orang banyak dan dentingan gelas. Ia yakin Mike sedang berada di kafe sedang sarapan. “Kau sedang sarapan?” Sekadar basa-basi.
“Ya, Bell. Tadi malam aku mabuk karena kesal.” Tiba-tiba Mike menceritakan apa yang terjadi dengannya tadi malam. Sesuatu yang masih membuatnya dongkol sampai sekarang.
Bella mengernyit. Ia tahu Mike sering meminum segelas Brandy atau yang lain, namun Mike jarang mabuk. Ia pun menjadi penasaran. “Ada masalah apa? Kau ditolak wanita? Atau masalah pekerjaan?” tebaknya. Menurutnya pria akan mabuk jika kecewa pada wanita, mengalami masalah di pekerjaannya dan kehilangan orang tua.
Dan alasan Mike adalah, “CEO baru sekarang adalah pria yang pernah bertengkar denganku, Bell.”
“Apa?!” Kedua mata Bella membulat. “Siapa yang menggantikannya, Mike? Lalu bagaimana dengan nasib Bob?” Begitu banyak pertanyaan yang mengambang di pikiran Bella saat ini, terutama tentang Bob. CEO yang menganggumi dirinya dan berani membayar mahal untuk bisa bekerja di New York.
Dengan pelan-pelan Mike mengunyah sandwich walau terus melanjutkan pembicaraannya bersama Bella. “Bob berencana akan mendirikan sebuah Clothing Company di New Jersey. Sementara CEO perusahaan ini diambil alih oleh Brandon Sorio, sepupu Bob yang selama ini sebagai investor. Setelah mendengar kabar itu aku shock,” ucapnya dengan nada tak semangat.
“Come on, Mike. Everythings gonna be ok with or without Bob.” Bella memberi semangat. “Ku harap urusan kalian sudah selesai. Kau atasan yang baik dan hebat, jangan hanya karena kau memiliki pemimpin baru, kau menjadi tidak semangat bekerja. Kau harus bersemangat. Kemajuan perusahan Hem&Hem berkat dirimu juga, Mike.” Sekali lagi Bella memberi semangat dan meyakini Mike bisa melupakan apa yang pernah terjadi antara Mike dengan pria bernama Brandon Sorio.
Senyum Mike mengembang. Ia kembali menghabiskan kopi latte nya lalu bicara lagi. “Thanks, Bell. Kau satu-satunya kawanku yang membuatku semangat hari ini walau aku tidak yakin Brandon melupakan pertengkaran kami setahun yang lalu.” Sayangnya ia masih tidak yakin bisa bekerja di bawah tekanan Brandon.
Lagi-lagi Bella penasaran. “Karena apa kalian bertengkar?”
“Seseorang.” Mike menyeka bibirnya lalu meneguk air mineral. “Dia mengenal seseorang dari cerita Bob. Karena Bob menceritakan aku dekat dengan orang itu, Brandon memintaku untuk merayu orang itu untuk bekerja lagi tapi aku menolak. Aku tidak ingin memaksakan orang yang memang memiliki kesibukan yang menjadi prioritas hidupnya. Tapi dia terus memaksaku dan aku adu mulut. Aku kesal karena yang aku tahu dia hanya sebagai investor tapi terlalu banyak ikut campur urusan internal perusahaan. Ternyata belakangan ini aku mengetahui jika perusahaan ini dibangun oleh Bob dan dia.”
“Oh My God!” Bella cukup terkejut dan tidak menyangka perusahaan tempat ia bekerja dibangun oleh dua pria yang salah satunya tidak ia kenal. “By the way, siapa orang yang kalian ributkan itu?” Ia penasaran. Lagi.
Mike menghela nafas lalu menjawab, “Kau. Orang itu adalah kau, Bell.”
❤️❤️❤️
“Ada apa?” Daniel memeluk Bella yang tahu belum tertidur setelah mereka bercinta kedua kalinya malam ini. Namun bibirnya kembali menciumi tengkuk Bella dan sepertinya akan terjadi untuk ketiga kalinya.
Helaan nafas berat Bella terhembus dari hidung bukan karena tak sanggup melayani Daniel ataupun takut Tristan mengganggunya lagi. Melainkan dirinya ragu Daniel menanggapi ceritanya. “Apa kau bahagia dengan keadaanku seperti ini, Dan?” Mau tak mau ia terpaksa menanyakan hal yang sejak tadi terlintas, sekalipun sedang bercinta.
“Ya.” Kini bibir Daniel berada di ceruk leher Bella dan memaksa Bella mendongak merasakan ciuman Daniel membuatnya berhasrat. “Kenapa, Sayang? Kau bosan?” Tangannya menyusup masuk kedalam selimut, ujung-ujung jarinya berjalan pelan di paha Bella lalu terhenti di sana.
“Ya.” Bella berbalik dan membuat Daniel terkejut. “Aku bosan hanya di rumah saja. Lagi pula…”
“Apa?” Daniel mulai cemas jika Bella membicarakan kebosanannya di rumah. “Apa Mike merayumu kerja lagi? Atau Bob memintamu bekerja di New york? Menjadi model cat walk juga lalu memamerkan tubuh seksimu di depan orang banyak?”
Setiap Daniel membayangkan pria tampan yang berada di lingkungan kerja Bella selalu membuatnya cemas dan merasa takut sewaktu-waktu Bella tergoda lalu meninggalkannya berdua dengan Tristan. Itu sebabnya ia merasa nyaman Bella menjadi Ibu Rumah Tangga. Egois memang, tapi melihat wajah melas Bella yang bosan, ia pun menjadi iba.
Sebisa mungkin Bella tidak tersulut emosi mendengar ucapan Daniel yang tahu mencemburui mereka. Selama ini ia mencoba jadi istri yang penurut walau watak kerasnya memang sulit ia hilangkan. Tapi ia terus mencoba meyakinkan Daniel seperti ini, “Mike tidak merayuku. Begitu juga dengan Bob yang sudah mengundurkan diri sebagai CEO. Aku hanya merasa bosan di rumah. Lagi pula, aku bisa menitipkan Tristan di rumah Papa dan menjadikan Mira babysitter selama aku bekerja.” Bella memberi penjelasan, ia tahu Daniel mengkhawatirkan keadaan Tristan dan juga dirinya yang selalu dekat dengan rekan kerja dari lawan jenis. Walau hanya cemburu buta.
“Lalu dengan cara apa kau menyusuinya? s**u formula?” tebak Daniel lagi. Ia sungguh-sungguh tidak menyetujui Tristan mengkonsumsi s**u formula sementara ASI Bella mencukupi untuk Tristan.
Gelengan kepala Bella mempertegas jawaban Daniel. “Tidak. Aku akan memompa ASI ku dan kujadikan stok untuk Tristan selama di rumah Papa. Aku pastikan Tristan baik-baik saja, Dan. Percayalah padaku, please…” Sekali lagi Bella memasang wajah melas. Dan itulah adalah salah satu cara mendapat restu Daniel selain memberinya ancaman.
“Bella.” Daniel mengusap pipi Bella, menatapnya serius seperti memikirkan strategi jitu melobi klien. “Beri aku waktu memikirkan ini, oke? Aku gak mau kita bertengkar hanya karena Tristan jauh darimu. Aku tahu kau bosan, tapi Tristan ...aku gak mau dia kekurangan kasih sayang hanya karena kau kembali bekerja dan dia lebih dekat dengan pengasuhnya. Kau paham kan?”
“Aku paham, Dan.” Tentu saja Bella tak mau kalah memberi penjelasan. “Kami hanya berpisah selama aku bekerja saja. Sama sepertimu. Dan aku pastikan Tristan tidak kekurangan kasih sayang sekalipun aku bekerja. Kau meragukanku?” Sebelah alis Bella terangkat ke atas. Ia yakin Daniel meragukan bukan karena masalah Tristan, melainkan dengan pria-pria tampan yang selama ini ada di ruang lingkup pekerjaannya.
Daniel mengerjapkan mata, melihat tatapan Bella yang sedang menelisik jawaban dari kilau bola matanya. Ia pun menjadi salah tingkah. “Tidak. Maksudku..aku percaya padamu. Dan...sama sekali tidak meragukanmu. Tapi..beri aku waktu memikirkan masalah ini dan aku akan memberi jawabannya, ok?”
“Sampai kapan? Sehari? Seminggu? Atau sampai Tristan berumur dua tahun?”
“Secepatnya.”
“Sekarang?”
“Tidak. Lusa.”
“Sekarang.”
“No. Lusa.”
“Baiklah. Jangan sentuh aku sampai lusa.” Itulah jurus jitu Bella selain memasang wajah melas. Ia pun langsung berbalik, memunggungi Daniel.
Tentu saja Daniel menghela nafas berat kecewa. Ia tidak sanggup tidak menyentuh Bella selama Bella ada di depan pandangannya. Dan ia pun terpaksa menyerah, seakan melambaikan bendera putih sebelum bendera kuning melambai. “Oke. Aku akan menjawabnya setelah pulang kerja. Bagaimana? Deal?”
Bella berbalik lagi. “Deal.”
❤️❤️❤️
“Bagaimana menurut kamu, Ndi?” Daniel berdiri disebut outlet yang manekinnya mengenakan baju yang ia produksi tiga bulan yang lalu. “Apa kita harus mengganti bahan ini? Tapi menurutku warna ini tidak terlalu norak,” ucapnya pada seorang pria yang selama ini menjadi supervisor di bagian produksi.
Pria yang bernama Andi itu mengangguk. “Warna ini sudah bagus, Pak. Menurut saya hanya modelnya sedikit diubah saja. Sekarang lagi trend dua warna,” timpalnya, melihat Daniel mengangguk setuju.
“Good idea.” Daniel menyetujui ide dari Andi. Ia pun melirik sekretarisnya yang sejak tadi merekam pembicaraan mereka melalui ponsel. “Kamu ingat itu, Santi. Model ini harus--”
“Daniel.” Sapaan Hans mengejutkan Daniel yang berjalan dari arah belakang bersama Erika dan seorang wanita lainnya.
Erika melambaikan tangan berjalan mendekat. “Hai, Daniel.”
Senyum Daniel mengembang menyambut kedatangan mereka. “Hai, Erika.” Lalu ia melirik Andi. “Tolong kalian selesaikan. Saya harus menemani klien dulu, ok?!” Mereka pun mengangguk setuju lalu melanjutkan menuju outlet yang lain.
“Perkenalkan ini Yani, asistenku selama aku di sini,” Erika menunjuk wanita berhijab yang berdiri di sampingnya.
Daniel membalas uluran tangan Yani. “Daniel Wijaya. Saya bertanggung jawab untuk bagian produksi di Departemen store ini,” ucapnya memperkenalkan diri lalu melirik Hans. “Kau sudah membawa mereka ke outlet itu?”
“Sudah.” Hans mengangguk. “Kebetulan kami melihatmu jadi kami mengganggumu sebentar,” ucapnya serius. Hans selalu berwajah serius jika masih berada di area tempatnya bekerja. Baik di Departemen store maupun kantor.
“Bagaimana menurutmu? Ini adalah tempat terbaik yang kami miliki di Jakarta. Apa mau melihat di tempat yang lain? Bogor, Jogja, Bandung?” tawar Daniel ramah.
Erika melirik Yani.
“Kami akan mencoba di sini dulu, Pak Daniel,” sahut Yani. “Kami akan melihat hasil penjualan selama beberapa bulan lalu mencoba di lokasi lain,” jelasnya yang disetujui Erika.
Tiba-tiba pandangan mereka terputus setelah melihat seorang pria bule tampan berjalan bersama pria bertubuh tambun menuju outlet Hem&Hem.
Daniel melirik Hans, “Siapa dia, Hans? Kau mengenalnya?”
Hans pun menoleh ke arah pria yang Daniel maksud. Pria yang terlihat tegas namun tampan dan sempurna. Sangat jelas ia tidak mengenal pria itu. Karena sebagai Manajer, ia memiliki wewenang untuk mengenal orang yang bersangkutan dengan outlet yang berada di Departemen store namun pria itu luput dari mereka. “Aku akan menanyakan itu padanya sekarang, Dan,” ucapnya dengan suara pelan lalu melangkah mendekati pria yang sejak tadi menjadi perhatian beberapa SPG dan dirinya.
“Maaf, saya Hans, Manajer di sini.” Hans menjulurkan tangan dan tersenyum tipis.
Pria tampan itu terkejut melihat Hans memperkenalkan dirinya mendadak. Ia pun membalas, “Aku Sean. Sean Gelther.”
❤️❤️❤️
Setelah menghabiskan makan malam lalu melanjutkan menonton serial tv berbayar, Daniel mencuri pandang melihat Bella sedang mengganti popok Tristan.
Buah hati kesayangan mereka itu sedang asik mengisap ibu jarinya seakan sedang mengisap Asi. Malam ini Tristan tidak banyak membuat ulah, hanya mengoceh tidak jelas, tertawa melihat Bella ketika berteriak karena kaget dan merengek ketika haus. Semua berjalan alami selayaknya kehidupan suami istri bersama buah hati mereka yang masih bayi. Namun malam ini Daniel harus memberi jawaban mengenai permintaan Bella. Jawaban yang makin membuatnya bimbang setelah berkenalan dengan pria tampan yang bernama Sean Gelther itu. Pria yang menjadi pengganti Mike. Atau lebih tepatnya pria yang akan lebih memiliki banyak waktu bersama Bella jika mengizinkan Bella bekerja lagi di perusahaan yang incomenya selalu mengalami kenaikan di cabang jakarta itu.
Daniel mengerjapkan mata ketika beradu pandang dengan Bella yang kini menyusui Tristan. Ia pura-pura menguap. “Aku mengantuk...aku duluan ya.” Ia bangkit dan bermaksud berjalan menuju kamar namun langkahnya tertahan ketika Bella bicara.
“Sebaiknya kau jangan menghindar, Dan,” tuduh Bella yang tahu akal-akalan Daniel.
Daniel berbalik dan tersenyum kecut. “Menghindar dari apa? Aku benar-benar mengantuk, Bell. Besok pagi aku harus meeting dengan Team.” Sebisa mungkin dia membuat alasan. Ia mendekati Bella, mencium kening Tristan lalu Bella. “Aku tidur dulu, night.” Kembali berbalik dan melangkah namun kali ini langkahnya benar-benar tertahan. Bella menarik ujung kaosnya hingga membuat ia terpaksa berbalik lagi. “Hentikan, Bell!”
“Mana jawabanmu, Dan?” Bella terpaksa to the point.
Daniel menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Jawaban apa?” Ia pura-pura amnesia lagi.
Bella geram, ia memejamkan matanya, menghirup nafas dalam-dalam dan bersiap berteriak.
“Stop!” Daniel mencegah Bella berteriak yang bisa membuat tetangga mereka mendengar teriakannya hingga unit kamar paling ujung. “Baiklah...ini jawabanku.” Kali ini Daniel yang memejamkan mata dan menghirup nafas dalam-dalam lalu membuka matanya melihat Bella yang sudah tak sabar menanti jawaban. “Jawabanku…" Lidahnya terasa kelu, tapi terpaksa melanjutkan ucapannya lagi dengan wajah memelas meminta iba dan pengertian. "Maaf. Aku tidak mengizinkanmu bekerja lagi, Bell.”
Mata Bella membulat, wajahnya memerah lalu tak lama Daniel menutup kedua telinga dan mendengar suara teriakan.
“Daniel!!”