bc

Can You See Me?

book_age12+
3
FOLLOW
1K
READ
revenge
counterattack
tragedy
comedy
mystery
scary
friendship
supernatural
horror
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Sesuatu yang tak terlihat itu memiliki banyak makna, meski tak terlihat bukan berarti tidak ada. Semua itu dialami oleh Ayara, gadis indigo yang memutuskan untuk membantu Leo menyelesaikan masalah dengan mahluk halus yang terus menerornya.

Namun, Ayara keliru akan satu hal, sesuatu yang nampak ada bukan berarti hidup. Oleh karena itu Ayara keliru, dalam perjalanan kisahnya ia menyukai seseorang yang sebenarnya orang itu telah tiada.

chap-preview
Free preview
PROLOG
Ketika matahari cukup terik menyoroti bumi, seorang laki-laki keluar dari kamarnya dengan amat tergesa-gesa, tangan kanannya membawa lembaran kertas sedang tangan kirinya menyambar kunci motor yang tergeletak di nakas dekat pintu kamar. Kedua matanya masih terpaku pada tulisan di lembaran kertas sambil mulut berkomat-kamit membaca tiap kalimat di kertas putih itu. Sejenak dia celingak-celinguk di sekitar sudut rumah, sebelum memutuskan berjalan keluar rumah. "Makan dulu, nak." Ucap seorang wanita berumur empat puluh tahunan yang berjalan keluar dari dapur. "Di kampus aja, Bunda. Aku hampir telat." Jawab laki-laki itu, dia menoleh kemudian menghampiri wanita yang dipanggul bunda tersebut. "Aku berangkat dulu." Ucapnya, lantas mengecup punggung tangan bundanya. "Hati-hati. Semangat UAS terakhirnya anak bunda." Respon sang bunda dengan senyum merekah. Laki-laki itu mengangguk, lengkung senyumnya pun terukir cukup lebar, membuat kedua matanya menyipit membentuk bulan sabit. "Aku pergi sekarang." Setelah berpamitan dia lantas menuju garasi rumahnya lalu mengambil motor hitam yang terparkir di sana. "Hati-hati !" Ucap bunda sambil menatap punggung putra sematawayangnya keluar dari rumah. •••|Can You See Me?|••• Di tempat lain pada waktu yang sama, gadis cantik dengan seragam SMA tengah bersantai mendengarkan musik melalui earphonenya, dia menatap keluar kendaraan berlalu lalang melalui jendela mobil. "Pa, kok macet banget sih?! Kalo kita telat gimana?" Protes suara laki-laki yang terdengar berat dari samping jok pengemudi. "Diem deh, lo yang telat bangun, malah marah ke papa." Jawab ketus gadis itu. "Ya iya sih, tapi kan biasanya gak semacet ini." "Udah-udah, jangan debat." Pria yang amat tenang duduk di jok pengemudi itu melirik anak sulung dan bungsunya bergantian. "Ada apaan ya? Kok sampai ada ambulans?" Monolog laki-laki berseragam SMA itu sambil menurunkan kaca jendela mobil, melihat situasi di luar yang masih saja macet, membuat mobil ditumpanginya tak dapat bergerak sama sekali. Gadis yang duduk di jok belakang pun mulai tertarik dengan suara sirine ambulan yang melintasi mobil mereka. Setelah ambulan itu berjalan cukup jauh, kemacetan mulai berkurang sehingga mobil hitam mereka dapat berjalan perlahan. "Ada yang kecelakaan, Kak." Ucap si bungsu. Matanya tertuju pada situasi jalan di mana terdapat beberapa orang dan dua petugas polisi, serta cairan berwarna merah kental yang menghiasi aspal hitam di seberang jalan yang mobilnya lewati. Karena perkataan adiknya, refleks gadis itu melihat ke arah luar, terlihat cukup kacau, pecahan kaca tersebar di jalanan ditambah orang-orang yang berkumpul menambah kemacetan. Ketika matanya menangkap sesuatu yang tidak biasa, dia langsung mengalihkan pandangan. Gadis itu memilih untuk memejamkan matanya sambil mengatur napas perlahan. AC mobil yang ditumpanginya sangat dingin, tetapi keringat tak luput keluar dari pelipis gadis itu. "Pa, kalau udah nggak terlalu macet, boleh minta tolong di cepetin nggak mobilnya? Aku sedikit nggak nyaman ... takut telat." Sang papa melirik sekilas putri semata wayangnya dari kaca spion "Iya kak, Papa usahakan ya." Bungsu yang hendak memprotes sang kakak itu pun mengurungkan niatnya ketika ia melihat kakaknya tengah terpejam ditambah perubahan warna bibir menjadi pucat. "Kak, lo sakit?" Tanyanya, jelas dia terlihat cukup khawatir. "Atau lo lihat sesuatu tadi?" Tebaknya kemudian. "Gue nggak buta, ya gue bisa lihat lah !" Kesal gadis itu. Meski tahu kemana arah pembicaraan laki-laki yang lebih muda darinya itu, dia lebih memilih untuk tidak menggubris. "Duh, bukan itu maksud gue, Kak." Terlihat satu sudut bibir kakaknya yang sedikit terangkat. "Udah deh ah, diem. Gue lagi pusing." Alibinya. "Iya oke, oke, sorry." Papa yang masih tenang mengemudi akhirnya menarik senyum simpul, meski berbeda sifat dan karakter kedua anaknya itu tak pernah bertengkar hebat, kasih sayang mereka sangat jelas meski disalurkan dengan cara berbeda. "Nanti pulang nya mau Papa jemput lagi?" "Mau." Ucap si bungsu cepat. "Nggak usah, Pa." Jawab sang gadis. Dia mulai membuka kedua matanya. Kedua anaknya itu menjawab bersamaan, namun jawaban mereka sangat tidak kompak. "Jemput aja ya, Pa? Motor Aji besok udah bener, jadi nggak bakal minta antar jemput lagi." "Naik mini bus aja. Kasian Papa." Ucap kakaknya. "Nggak bisa, Kak. Gue takut naik mini bus." "Duh. Yaudah masih banyak ojol." Sanggah gadis itu. "Gapapa, Kak. Papa nggak ngerasa capek kok. Nanti Papa jemput ya, tapi agak sore." "Yes!" Seru sang adik, senang. "Manja banget." Cibir gadis itu. "Suka- suka, wle." "Dih ngeledek lo?" "Nggak. Pede amat." "Awas lo ya, kalo ada tugas, nggak bakal gue bantuin." Ucap gadis itu kesal. "Awas ya kak, kalo motor gue udah bener, gue nggak mau dimintain anter." "Dendaman. Dasar bocil." "Kita cuma beda satu tahun." "Tetep aja bocil, lo belum punya KTP." Ledek sang kakak. "Bentar lagi punya!" Adik tak mau kalah. Papa yang melihat pertengkaran itu hanya tersenyum gemas. "Ini kalo kamu jadi kuliah di luar kota, Aji pasti kesepian." Ucap sang papa. "Seneng dong, Pa. Kan Aji berasa anak satu-satunya." Laki-laki yang menyebut dirinya Aji itu tersenyum puas. Plakk Tangan yang terulur dari belakang menepuk lengan Aji dengan cukup keras. "Iya, abis itu papa mama nggak ada di rumah, lo sendirian mampus ada mba kunti." "Pa! Lihat kelakuan kakak! KDRT iya, nakut- nakutin juga iya." "Dia duluan yang ngeselin, Pa." Ucap gadis itu membela diri. Papa tak menjawab, dia yang semula tersenyum pun mendadak terdiam. "Ayara, kamu nggak apa - apa kalau ngekos? Sebetulnya papa kurang tega kalau kamu keluar kota." Papa yang mulai menyebut nama putrinya, membuat kedua anak itu menoleh padanya. "Eum... it' okay kok, Pa. Aya bisa handle." "Mending lo pikir - pikir lagi kak. Di deket sini juga ada kampus yang bagus kok, ya ... walaupun swasta, tapi papa mampu biayain kita kan?" Pria yang sudah menginjak umur empat puluh lima itu pun terkekeh karena pengakuan putranya. "Nanti kamu pikirin lagi baik-baik, Ya. diskusi sama mama, juga sama guru di sekolah." Ayara mengangguk. "Pikirkan jurusan yang mau kamu ambil, masalah kampus dimana itu menurut papa nomor dua. Yang terpenting jurusannya dulu, jangan asal ambil jurusan." "Oke, Pa." "Kalau Aji mau ambil teknik, boleh?" "Yang bener aja? matematika juga di remedial mulu." Ledek sang kakak. "Udah jangan ribut, sepanjang jalan debat mulu kalian ini." Lerai papa. "Boleh, ambil jurusan apa pun boleh. Asalkan papa nggak dengar kalian ngeluh mau pindah jurusan nanti." Jawab papa untuk pertanyaan putranya. Mobil yang dikendarai mereka pun akhirnya sampai di pelataran sekolah, setelah berpamitan kedua remaja itu bergegas keluar dari mobil dan berlari kecil memasuki area sekolah bertepatan dengan bel yang berbunyi di seluruh penjuru gedung. "Kak, lo beneran mau kuliah di luar kota?" Tanya Aji yang mulai memelankan langkah kakinya, menyamakan dengan langkah kaki si kakak. "Nggak tahu, masih bingung." Jawab Ayara seadanya. "Jangan deh, Kak. Gue takut lo kenapa - kenapa." Ayara menoleh, dia mengerutkan keningnya. "Posesif lo?" "Ih, serius kak! Atau, nanti kakak lanjut pengobatan dulu deh sampai benar - benar udah gak bisa lihat yang gituan lagi." Ayara terkekeh. "Gue baik - baik aja." "Masalahnya, Kak. Tadi aja kakak udah pucet banget, kalau di luar kota siapa yang jaga kakak kalau ada apa - apa? Ga bakal ada yang bisa ngertiin kondisi kakak juga." "Alay ah, nggak perlu khawatir. Tadi itu cuma shock aja. Selebihnya gue bisa handle." "No. You can't, Kak. Please pikirin lagi, ya?" "Pikirin diri lo sendiri, Ji. Sebelum lo khawatirin gue." "Ck! Susah ah ngomong sama batu." Terlanjur kesal karena jawaban sang kakak, Aji berjalan cepat mendahului Ayara. Ayara terkekeh singkat, dia memandang tas punggung sang adik yang ikut bergerak mengikuti pergerakan langkah kaki laki-laki itu. Bersamaan dengan pergerakan Aji, Ayara menangkap bayangan hitam yang mengikuti Aji. Entah sejak kapan makhluk itu muncul, Ayara hanya memandangi adiknya sambil terus waspada jika saja mahluk hitam tersebut mengganggu Aji.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
102.3K
bc

My Secret Little Wife

read
98.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook