bc

Invented

book_age16+
6
FOLLOW
1K
READ
HE
fated
blue collar
drama
bxg
brilliant
city
like
intro-logo
Blurb

“I would never wanna be a mom. Is that ok?”

“That’s fine.”

***

Orang di luaran mengenal Shanette sebagai wanita karier yang berhak mengisi daftar 30 under 30 Asia. Rekan dan karyawan kantornya akan mendefinisikan Shanette sebagai wanita yang tidak segan-segan membunuh klien-banyak-mau dengan senyum iblis dan tatapan tajamnya. Akan tetapi, mereka tidak pernah tahu bahwa di dalam tas wanita 27 tahun itu terimpan antidepresen. Di laci tidak terjamahnya, tinggal sebotol obat yang diperlukan agar dia bisa tertidur tenang. Di balik segala gemilang, hidup Shanette tak benderang. Ada ketakutan yang mendalam, bahkan untuk memiliki keturunan.

***

Gazza tak lahir dari sendok emas yang sering membuat orang-orang melunturkan juang seseorang. Dia merintis segalanya dari bawah, hingga berada di posisi technical manager dan mampu mempersunting seorang Shanette Alshameyzea. Orang-orang bisa bilang bahwa usahanya membuahkan seribu kebahagiaan. Akan tetapi, ratu di hidupnya, ternyata masih menyimpan ribuan luka, yang bahkan tidak diketahuinya.

chap-preview
Free preview
000_Before The Days Start
*** Terpaan angin gugur di bumi Utrecht sudah jauh dari kata hangat. Beberapa orang yang berlalu-lalang di bawah sana, melindungi badan dengan outer yang cukup tebal. Musim dingin hampir menjelang, bersamaan dengan November yang hendak berpulang. Bangunan-bangunan tua kota padat ini pun seolah mengamini siklus alam, turut menampakkan dingin, setidaknya bagi sepasang anak manusia yang tengah menjatuhkan tatap pada keluasan Utrecht yang terhampar di bawah sana. Sekarang, di mata mereka, hampir seratus kilometer kekayaan geografis kota cantik ini, tak membutuhkan waktu lama untuk dijelajahi sebab segalanya terlihat jelas dari ketinggian Dom Tower. Namun, penglihatan yang meraup jauh itu tidak mengubah perspektif di kepala keduanya, yang masih sesempit sebuah sudut bangunan Utrecht University tempat mereka dipertemukan. Dua insan dengan senyum yang tak pernah sama. Dua pasang mata itu terpaut ke depan sana. Pada pepohonan yang meranggas, kerumunan orang yang berjalan cepat agar tak memakan banyak waktu untuk sampai di tempat tujuan, atau atap-atap bangunan yang tampak anggun dengan keapikannya di kota ini. Keduanya menerawang jauh, seolah mencari sesuatu yang tak bisa ditemui di mana pun, padahal jawabannya hanya ada pada satu sama lain. Jawaban yang masih sama sejak beberapa tahun lalu, hingga kini mereka kembali ke sini dengan gelar mahasiswa yang sudah tanggal sejak lama. "Aku nggak pernah bercanda soal prinsipku, Za. Jadi, buat apa kamu tanya lagi?” Gazza melirik ke samping, dan memakukan tatap ke arah gadis di sebelahnya. “Sorry.” Mendengar hal itu, Shanette mengudarakan tawa, membuat terpa angin yang menimpa mereka di ketinggian tiga ratus kaki menjadi sedikit berkurang dinginnya. Meski hal itu tidak mampu membuat tegang yang ada dalam diri Gazza sepenuhnya meluntur. Masih ada takut yang tersimpan di sana. Takut jika rencananya gagal, pun takut jika ia berhasil. Aneh, bukan? “Kenapa, sih? That’s totally ok, kalaupun kamu tanya.” Rambut Shanette yang sengaja digerai, menjadi sasaran empuk bagi angin yang bertiup untuk mengibarkannya, membuat sang gadis semakin cantik di mata Gazza. “Aku cuma bilang, semua hal bisa berubah dalam diri aku, tapi nggak dengan prinsip itu. It’s maybe hard to believe, tapi aku bukan seorang wanita yang memakukan kesempurnaan kaumnya dengan kepemilikan keturunan. Dan aku juga nggak memandang keturunan sebagai salah satu tujuan berumah tangga. Say that I’m not a religious, aku nggak akan bantah, karena emang itu kenyataan dalam pikiran aku.” Perlahan, sembari pemandangan yang tidak pernah membuatnya bosan sejak matanya meraup sosok itu, Gazza mengeratkan genggamannya pada kotak kecil spesial yang dia sembunyikan di dalam kantung trench coat yang dia kenakan. Seolah dengan melakukan hal tersebut, dia bisa menyalurkan berbagai ragu, membiarkan benda itu merampas takut yang membelenggu, dan menggantinya dengan sekokoh keyakinan untuk maju. Gazza tersenyum. Sudah sejauh ini, dan Shanette semakin menjadi hal yang tak bisa dia lepaskan. Seharusnya, syarat yang diberikan gadis itu bukan sebuah hal besar, bukan? Ah, bukan syarat. Shanette tidak pernah mensyaratkan apa pun kepada Gazza. Gadis yang selalu anggun di atas stiletto-nya itu tak pernah memaksa siapa pun untuk maklum dan menerima apa yang dia pegang. Dia tidak pernah meminta orang-orang—termasuk Gazza—untuk bertahan di sisinya. Jika hendak pergi, pergilah. Shanette tidak akan menukar apa pun dan siapa dan apa pun untuk prinsip yang sekuat hati dia pertahankan. "Yea, I know. I’m just … curious? People say, ‘Time flies, people change,” but I already forgot that you’re Shanette Alshameyzea. Someone who never gave up on her principles.” Shanette tertawa, selalu cantik di mata Gazza. “You sound like a half of me, Aeccestane.” Benar juga. Bersama dengan gadis itu sejak menempuh strata satu di Utrecht University, membuat banyak hal tentang Shanette menjadi memori di luar kepala bagi Gazza. Sayangnya, sebagian memori itu justru membuat dia takut untuk mengambil keputusan yang sudah sejak lama dia pertimbangkan. Bukan. Ini bukan tentang salah dan kurangnya Shanette, melainkan karena lelaki itu sadar bahwa apa yang dipegang Shanette tidak akan semudah itu dijadikan bagian dari dirinya. Sementara, ketika ingin mengikat seseorang, Gazza tahu betul bahwa dia harus terlebih dahulu menerima segala hal dalam diri sosok itu. “I know you as well as I know myself,” celetuk Gazza, menampilkan sebuah kecongkakan yang tidak akan dia sesali telah ada. Katanya, “Knowing Shanette is a pride.” Namun, kali ini Shanette menolehkan kepala dan berkacak pinggang, mencipta lipatan di bagian pinggang pada coat cokelat pastel di tubuhnya. “It means, you don’t know me that well. Kamu aja suka nggak sadar kalau pelupa dan selalu bilang, ‘Masa, sih?’ setiap aku ingetin. Knowing me as well, huh?” Wajah penuh sarkasme itu, tak pelak membuat Gazza mengudarakan tawanya. Baiklah, dia menyerah. Di sini, Shanette yang lebih tahu dirinya dibanding sebaliknya. Segalanya selalu Shanette, dan akan tetap Shanette. Lalu, pertanyaannya, apakah Gazza mampu melepaskan seseorang yang menjadi pusat rotasi dunianya ini? Pertanyaan itu menggema hebat di dinding kepala Gazza. Wajahnya tersenyum teduh seketika itu juga, menatap Shanette yang sudah kembali menghadap ke depan sana, menikmati pemandangan dan aroma Kota Utrecht yang berulang kali dia katakan, menjadi tempat yang paling dia rindukan. An art gallery could never be as unique as you. Bait itu tampaknya tak meleset sedikit pun untuk menggambarkan Shanette di mata Gazza. Shanette tidak pernah hanya seorang manusia, seorang mahasiswa Indonesia yang membuatnya terkagum-kagum di sebuah auditorium kuliah umum yang dia hadiri, sesosok tubuh yang dapat dihidu aromanya dari stiletto yang mengentak angkuh di lantai yang dingin, maupun gadis yang ternyata tidak berani ke kamar mandi sendirian. Shanette bahkan lebih dari semua hal prestisius itu. Dia adalah seni, sebuah mahakarya yang tak akan membuat satu pun mata bosan menatapnya. Namun, di sisi lain, Shanette adalah Shanette. Seseorang yang meski semua label di pundaknya hilang, tak akan pernah membuat Gazza dengan rela hati meninggalkan. Maka, sekali lagi, Gazza memberikan tempat bagi satu tanya yang berulang kali bersarang di kepala. Apakah dia mampu melepaskan seseorang yang sudah mencuri banyak hal dari dirinya? Gazza menekan lebih erat genggamannya di dalam sana, mengimpit kotak beludru yang sudah dia siapkan dari lama dengan telapaknya yang sudah sedikit basah. Jawabannya adalah tidak, dan akan selalu tidak. Gazza tak pernah mau melepaskan gadis itu. Maka kini, tanpa keraguan lagi, suara Gazza menyebut nama Shanette dengan pasti. “Shane.” Sang gadis menoleh, memberikan tatapan menunggu, siap mendengar apa yang kali ini akan diucapkan lelaki di hadapannya. “Ya?” Sedetik, dua detik, tak ada kata selain yang ditransfer melalui tatapan mata. Hingga Gazza melarikan mata ke tangan bersih Shanette, sebelum menggenggamnya dengan satu tangan yang bebas. Dapat Gazza lihat, Shanette memberikan tatapan yang semakin binggung di hadapannya, membuat lelaki itu tersenyum, padahal jantungnya berdetak bukan main. Perlahan, satu tangan yang sedari tadi dia sembunyikan, dibawa menemui dunia luar, didekatkan kepada tautan mereka berdua, sebelum Gazza melepaskan tangan Shanette untuk membukanya. Gazza tahu, sudah ada tatapan bingung sejak kotak hitam itu berkenaan langsung dengan sinar matahari yang menyorot lembut. Namun, kini keterkejutan itu bertambah entah berapa kali lipat. “Gazza ….” Pemilik nama belakang Aeccestane itu membalas lirihan Shanette dengan menggenggam satu tangannya, memberikan belaian halus dan senyum tulus tanda menenangkan. Yakin, dia sudah yakin. Setelah satu kalimat meluncur dari bibirnya, Gazza tidak akan sedetik pun melepaskan genggamannya dari Shanette. “Shanette Alshameyzea, nikah sama aku, ya?” Dirasakan tangan Shanette menegang di genggaman Gazza. Gadis itu terlihat mengetatkan rahang, dan yang bisa Gazza lakukan adalah terus konsisten dengan perilakunya sejak tadi; memberikan elusan lembut di punggung tangan Shanette, serta menatap gadis itu tepat di maniknya, memberikan waktu sebanyak mungkin agar Shanette bisa menangkap semua ini dan memberikan respons yang entah akan melegakan bagi Gazza atau tidak. Lalu, perlahan, gadis itu membuka bibirnya, yang sejak tadi sedikit berkedut. “Gazza, you know. I can’t ….” "But, you love me, don’t you?” Tidak ada kalimat yang diberikan Shanette. Dia hanya menatap Gazza lama, seolah meminta lelaki itu menyelami matanya untuk mencari sendiri jawaban yang dia mau. Dan tidak sulit bagi Gazza untuk mengerti, bahwa iya adalah jawaban yang ingin Shanette beri. Gazza tersenyum. “It’s already a crystal clear. You love me, and I also do.” Meski begitu, getar di bibir Shanette masih terlihat jelas. Gadis itu sesekali hendak membuka mulut, tetapi urung lagi, dan Gazza masih setia dengan gemingnya. Menunggu dan menunggu, sampai Shanette mampu membagi pikirannya dengan rungu Gazza. “I would never wanna be a mom. Is that ok?” Lagi-lagi, senyumlah yang dihadiahkan Gazza untuk Shanette, sebelum bibirnya tanpa ragu berucap, “That’s fine. We talk about it so many time.” Shanette tampak tertegun di depannya. Genggaman gadis itu pun mengerat, dan Gazza menggerakkan tangan yang satunya untuk turut meraih tangan itu. Dia menunduk, fokus ke sana, membalikkan telapak tangan Shanette dan menempatkan kotak cincin yang dia bawa tepat di atas sana. Baru setelah dia yakin tempat itu sempurna untuk benda sacral ini, Gazza mengangkat wajah dan mendapati Shanette tengah menatap telapaknya. Gazza diam, menunggu Shanette membalas tatapnya. Lalu, kala waktu itu tiba, senyumnya tersungging. “Jadi … mau, ya, nikah sama aku?” Dengan Dom Tower yang menjulang setinggi lebih dari tiga ratus kaki, juga Kota Utrecht yang tampak seperti miniatur dari menara itu, yang menjadi saksi, sepasang jiwa itu saling mengulas senyum. Sebuah iya mengudara entah hingga terdengar rasi bintang yang mana. Satu hal yang pasti, ia mampu menggedor-gedor hati keduanya, hingga terdengar kuat satu sama lain saat dua tubuh itu saling merengkuh. Mereka resmi menutup satu perjalanan tentang kesendirian, dan memulai sebuah jalan panjang baru dengan entah apa yang menunggu di hadapan. Shane, perempuan yang melontarkan sepatah iya itu, entah tengah mengabaikan kenyataan atau terlalu gegabah mengambil keputusan karena lelaki di depannya terlalu berharga untuk dilepaskan. Padahal dengan dirinya, ia belum selesai. Akan tetapi, untuk Gazza, dia memutuskan memulai. Sadar ataupun tidak, bersama istana yang hendak dibangun, ada boam waktu yang ditanam. Pun Gazza ... tidakkah memperhitungkan hal itu? ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.4K
bc

My Secret Little Wife

read
99.0K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.7K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook