Nasibku Di Tanganmu

1465 Words
Langit mendesah malas melihat notifikasi di ponselnya. Malia lagi. Gadis itu kembali mengingatkannya tentang janji melukis hari ini. Sejujurnya, rasa kesalnya akibat acara makan siang kemarin belum sepenuhnya hilang, membuat niatnya untuk bertemu Malia merosot tajam. Namun, ia juga terlalu lelah untuk kembali berdebat. Lagipula, janji adalah janji. Dengan enggan, Langit memasukkan peralatan lukisnya ke dalam tas, lalu beranjak. "Akhirnya sampai juga!" Seru Malia, saat Langit tiba. Ia menyambutnya di depan pintu rumah dengan senyum cerah yang membuat Langit semakin sebal. Tanpa menunggu jawaban, gadis itu menarik tangannya. "Kita ke kamarku aja!" Langit menghentikan langkahnya, merasa canggung. "Kenapa harus di kamar? Gak bisa di luar aja?" Tapi seperti biasa, Malia tak peduli. Dia kembali menyeret Langit, memaksa langkahnya. Sesampainya di ambang pintu kamar, Langit tertegun. Ia tak pernah melihat kamar seluas dan semewah itu dalam hidupnya. Luasnya bahkan bisa menampung seluruh rumahnya. Pantas saja Mentari ingin sekali menginap di sini, gumamnya dalam hati. "Tadinya aku mau di teras, tapi di sana lagi ada tamunya Papa dan Mama," Malia menjelaskan, membuka pintu balkon dan menunjuk ke bawah. Tampak Pak Subagja dan Sang Istri tengah berbincang santai bersama dua orang tamu mereka di teras kolam renang. Langit membalas senyum sapa mereka dengan lambaian tangan canggung. "Lukisan dari kamu aku taruh di kamar tidur," Malia menarik tangan Langit ke sebuah ruangan lain yang terletak di balik dinding ruang kerjanya. Di sana, lukisan Langit menggantung anggun di atas ranjang raksasa. "Dan sekarang aku mau kamu melukisku lagi." "Melukis kamu?" Langit menatap Malia terkejut. Ya, Tuhan, kenapa dia selalu saja berubah pikiran? Gerutunya dalam hati. "Aku enggak perlu belajar melukis. Aku mau kamu melukis aku. Tapi kali ini enggak pakai air mata," sahut Malia, tatapannya lekat. Langit tak bisa berkata-kata lagi. Ia tak punya pilihan selain menuruti permintaannya. Ia akan membuat lukisan wajahnya dari samping saja, biar tak perlu menatap kedua matanya. Ia yakin Malia akan terus bertingkah aneh hanya untuk mengganggunya. Dan benar saja. Malia tak bisa duduk diam, tubuhnya terus bergerak sepanjang waktu. "Aku enggak mau dilukis dari samping!" protesnya, lalu membalikkan tubuhnya dan memandang lurus ke wajah Langit, senyum jahil tersungging. Sambil menghela napas, Langit meletakkan kuas lukisnya, mengganti kanvas yang sudah tergores warna, lalu mulai melukis kembali, berusaha mengabaikan tatapan intens Malia. Kini Malia menatap Langit tak berkedip. Ia tahu Langit tak akan tahan menatapnya berlama-lama, tapi ia tak peduli. Karena hanya dengan cara ini ia bisa berlama-lama memandangi wajah tampannya. Dengan bentuk rahangnya yang kuat, bibirnya yang terkatup rapat, dan mata kelam nan tajam yang seperti ingin menantang siapa saja yang berani mengganggunya. Dia seperti dilahirkan sebagai seorang jagoan. Tapi siapa pun tak akan menyangka, jika dia mempunyai hati selembut kapas. Dia menghormati wanita seperti dia menghormati Ibunya. Dia menjaga adiknya seperti dia menjaga jiwanya. Dan dia menjaga harga dirinya seolah dia tak akan bisa hidup tanpanya. Ia tak pernah bertemu dengan seorang laki-laki yang merasa terhina dengan materi yang didapatnya tanpa keringat. Ia ingin mengetahui apa yang tersembunyi di dalam mata kelam itu. Ia tahu, ada sesuatu yang masih disimpannya rapat-rapat, yang tak ingin dibagikannya kepada siapa pun. Tapi ia yakin suatu saat ia akan mengetahuinya. Langit akan bercerita lagi padanya. Karena ia percaya dia adalah laki-laki yang telah dikirimkan Tuhan untuknya. Dan dia akan terus berjuang sampai ia mendapatkan cintanya. Ia lebih baik mati saja daripada harus berpisah dengannya. Dan kini, laki-laki itu menatapnya dengan matanya yang kelam. Lalu berjalan mendekatinya, membungkuk di hadapannya, dan mengusap air matanya. "Jangan menangis lagi," bisiknya, lembut. .... Langit menatap Bima dengan terperangah. "Jadi sekarang Malia udah beneran jadi pemilik kafe juga?" tanyanya tak percaya. Bima mengangguk, santai. Langit menggeleng-gelengkan kepalanya. Meski ia sudah menyadarinya sejak lama, jawaban Bima itu tetap saja membuatnya terkejut. "Kok, lu mau, Mas?" Tanyanya lagi, heran. Bima tertawa, mengepulkan asap rokok. "Daripada kita diusir, gak boleh sewa lagi? Repot gue! Pelanggan kita udah banyak di sini." Langit terdiam. Ia lalu memandangi Bima yang tengah menyulut rokoknya. "Lu beneran udah ngerokok lagi?" Tanyanya, keheranan. Bima menghisap rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskannya ke udara. "Memangnya cuma lu aja yang pusing sama Malia?" jawabnya, yang disambut gelak tawa Langit. "Sekarang dia minta gue cari barista lagi." Ucapan Bima membuat Langit hampir saja menumpahkan kopi yang tengah diminumnya. Ditatapnya pria itu dengan mata terbelalak. "Serius?" Tanyanya tak percaya. "Dia gak mau lu jadi barista lagi." "Hah?!" "Katanya lu mau kerja di perusahaannya?" Langit menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi bersamaan dengan hembusan napas kencang. Ternyata Malia belum menyerah. Pintar sekali dia memaksanya menerima tawaran itu dengan cara mengusirnya dari kafe. "Gak tau, Mas. Kuliah gue aja belum selesai," sahutnya, frustrasi. "Loh, katanya empat bulan lagi lu mau lanjutin kuliah? Bareng Mentari?" Langit menggeleng. "Gue jadi gak yakin sekarang." "Jangan menolak rezeki, Lang. Lu kan bisa kuliah sambil kerja, biar gaji tetap jalan," Bima menasihati, nadanya tulus. "Ini terlalu berlebihan, Mas." "Mungkin buat kita berlebihan. Tapi kalau buat mereka mungkin gak ada artinya. Apalagi, mereka merasa kehutangan budi yang besar sama lu. Hutang nyawa gak bisa dibayar dengan apa pun." Langit tersenyum tipis, menyesap kembali kopinya. "Kalau memang takdirnya dia belum saatnya mati waktu itu, pasti ada orang lain juga yang menyelamatkan dia." "Tapi, masalahnya gak ada orang lain selain lu. Lu sama dia emang ditakdirkan untuk ketemu. Mungkin sebenarnya dia yang menyelamatkan lu, Lang. Tuhan mengirim dia buat membantu hidup lu. Pernah gak lu berpikir, beberapa bulan yang lalu lu masih pusing mikirin biaya kuliah Mentari. Lu juga gak pernah ngebayangin bisa lanjutin kuliah lagi. Tapi lihat sekarang? Mungkin itu cara Tuhan menjawab doa-doa lu." Langit kembali terdiam. Dilayangkannya pandangan ke angkasa. Ke langit yang terlihat cerah pagi itu. Kini hatinya mulai bertanya-tanya, rahasia apalagi yang disembunyikan langit di atas sana. .... Langit membuka pintu ruangan itu. Seketika Pak Johan menyambutnya dengan ramah, lalu mengenalkannya kepada seorang wanita yang sudah dikenalnya. "Mas Langit sudah kenal Bu Chyntia, kan? Langganan kafe nya Mas Langit juga," ujar Pak Johan, tersenyum. Langit mengangguk, hatinya bertanya-tanya. Ia tahu Bu Chyntia adalah Manajer HRD Bagja Company. "Begini Mas Langit. Pak Subagja meminta saya untuk mengajak Mas Langit membantu saya. Ya, sambil menunggu Mas Langit melanjutkan kuliah. Jadi Mas Langit bisa sambil belajar dulu di sini," Bu Chyntia menjelaskan, suaranya profesional. Langit menatap Pak Johan dengan bingung. Apa maksudnya? Mengapa mendadak sekali? Bagaimana dengan kafe? Tapi ia melihat Pak Johan tampak enggan menjawab pertanyaan di wajahnya. Ia yakin Pak Johan pun sama bingungnya dengan dirinya. Namun, ia memang tidak punya pilihan lain. Hidupnya saat ini benar-benar berada di tangan Malia. Bu Chyntia lalu memintanya untuk menandatangani surat-surat pengangkatannya sebagai karyawan baru. Dan ia pun melakukannya tanpa bertanya sedikit pun. Ia sudah benar-benar pasrah. "Selamat, Mas Langit! Selamat bergabung di Bagja Company!" ucap Bu Chyntia, tersenyum lebar. "Mas Langit bisa mulai kerja Senin besok di kantor ini sama saya. Nanti saya siapkan mejanya. Soalnya perintahnya itu dadakan, Mas! Baru semalam saya dikabari," ucap Pak Johan, mengangkat bahu sedikit. Langit tersenyum tipis. Siapa lagi yang suka punya rencana dadakan selain Malia? Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Setelah mengucap pamit, ia lalu berjalan ke ruangan lain yang berada di seberangnya. "Hai!" Malia mengangkat wajah dari layar komputer di depannya denga sumringah. Ingin sekali Langit melampiaskan emosinya. Tapi melihat wajahnya yang seolah tanpa dosa, ia tahu Malia tak akan peduli pada perasaannya. Dia akan tetap menjalankan rencananya. "Udah ketemu Pak Johan?" Langit mengangguk, tanpa senyum sedikit pun. "Oke. Kalau gitu sementara kamu di sini dulu." "Maksudnya?" "Kamu belum ada meja kan, di kantor Pak Johan? Jadi kamu sementara di sini dulu sama aku." "Terus aku ngapain?" "Ya, temani aku aja." "Ya, kalau begitu aku mendingan bantuin Mas Bima, sambil nunggu barista yang baru," Langit menawarkan, sedikit putus asa. Malia menggeleng. "Kamu udah bukan barista lagi." "Tapi kasihan Mas Bima, Mal!" "Kamu selalu mikirin orang lain." Malia menatap tajam. Langit terdiam. Percuma berdebat, Malia tidak akan mau mengalah. "Kalau kamu udah mulai kuliah, waktu kamu kan gak cukup buat aku. Jadi sekarang kita akan menghabiskan waktu bersama terus," Malia berkata lembut, menyandarkan kepalanya di bahu Langit. "Kita kan udah hampir setiap hari ketemu, Mal." "Gak cukup buat aku mengenal kamu." Langit menatap Malia. "Kamu mau tahu apa lagi?" "Yang kamu sembunyikan." Malia menjawab tanpa ragu. "Kamu juga selalu punya rahasia di belakangku. Kamu selalu punya rencana untukku," sahut Langit, nadanya jengkel. "Aku hanya melakukan apa yang orang lain akan lakukan juga kalau mereka jadi aku." "Tapi kamu berlebihan." "Aku gak berlebihan. Kamu yang selalu menganggapnya begitu," Malia membalas, tak mau kalah. Langit kembali menghela napas. Ia sudah lelah berdebat. "Aku boleh gak tiduran di sini?" Tanyanya, suaranya lelah. Malia mengangguk dengan senang. Langit lalu menyandarkan punggungnya di sofa, dan mencoba memejamkan mata. Ia memang sangat mengantuk, tapi bukan itu yang membuatnya ingin terpejam. Ia hanya ingin sejenak menikmati waktu untuk merenungi nasibnya, yang kini seolah diatur sepenuhnya oleh Malia. Perlahan ia merasakan kedua matanya semakin berat, dan akhirnya ia pun terlelap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD