Kuijinkan Kamu Masuk Dalam Hidupku

1787 Words
Sudah empat hari Langit bekerja bersama Pak Johan. Pekerjaannya tak banyak. Pak Johan sudah memiliki tim yang sangat profesional; Langit benar-benar hanya belajar dan mengamati cara kerja mereka. Mereka pun sangat menghormatinya. Entah karena pengaruh Malia, atau karena rasa segan karena mengetahui latar belakang dirinya. Malia juga sudah tak secerewet dulu. Cemburunya pun sudah jarang muncul. Bagaimana mau cemburu, di kantor Pak Johan, semua karyawannya laki-laki. Malia bahkan sudah "menyingkirkan" satu-satunya wanita di kantor itu—sekretaris Pak Johan—dan menggantinya dengan seorang asisten laki-laki. Ya, Malia memang memikirkan segalanya. "Bagaimana Mas Langit? Sudah empat hari, apa masih betah?" Tanya Pak Johan saat mereka menikmati makan siang bersama untuk pertama kalinya. "Lumayan, Pak." Langit tersenyum tipis. "Bertahan, ya, Mas Langit. Pak Subagja itu orangnya sangat baik," imbuh Pak Johan, suaranya tulus. "Pak Johan sudah lama bekerja di sini?" Tanya Langit, penasaran. "Hmm, saya sudah dua puluh tahun bekerja di sini. Dulunya saya juga karyawan biasa seperti Mas Langit." "Wah. Hebat, Pak Johan. Kok, betah, Pak?" "Saya tidak bisa pindah ke lain hati." Pak Johan tertawa ringan. "Saya banyak berutang budi kepada Pak Bagja. Beliau sudah banyak membantu saya." "Oh ya? Dibantu apa, Pak?" "Ya, semuanya. Kebanyakan membantu biaya-biaya. Mulai dari pendidikan anak saya. Berobat istri saya. Bahkan sampai dibantu mencicil rumah." Langit menatap Pak Johan dengan terkejut. Ada rasa takjub di matanya. "Baik sekali beliau, Pak?" Ucapnya, jujur. "Beliau memang sangat baik. Tidak hanya dengan saya. Semua karyawan yang membutuhkan pasti akan dibantu oleh perusahaan. Meskipun kadarnya berbeda. Semakin lama masa kerjanya, semakin banyak bantuan yang diberikan." Langit terdiam, kunyahannya terhenti. Tiba-tiba saja ada rasa bersalah di hatinya mendengar ucapan pria itu. Selama ini ia selalu berprasangka buruk dengan semua yang Malia dan keluarganya berikan padanya. Tapi ternyata mereka memang orang-orang yang tulus. Langit merasakan kelegaan dalam hatinya. Kini ia merasa lebih percaya diri berada di sini, di tengah orang-orang ini. "Makanya di sini semua betah, Mas. Biar pun sekarang ada Mbak Malia yang sering marah-marah, tapi mereka tetap bertahan. Karena mereka merasa nyaman bekerja di sini. Tidak ada yang takut terkena PHK. Perusahaan ini sudah sangat mapan." "Oh, tidak ada yang pernah dipecat, Pak?" Pak Johan menggeleng. Tapi tiba-tiba ia terbatuk, lalu meneguk air mineral dari dalam botol. "Ya, mungkin hampir ada yang mau dipecat. Tapi kan, tidak jadi..." ujar Pak Johan, mencoba menutupi sesuatu. Meski Langit tahu yang dimaksudkannya adalah Eva. Kini Pak Johan memandang Langit dengan canggung, mulutnya seperti ingin mengucapkan sesuatu. "Maaf, ya, Mas Langit. Mungkin ini bukan urusan saya. Tapi... saya berharap Mas Langit bersabar." "Maksudnya, Pak?" Langit mengerutkan kening. "Ya... menghadapi Mbak Malia. Dia masih muda. Dan dia sudah banyak melalui masa-masa buruk dalam hidupnya. Jadi mohon dimaklumi kalau sikapnya terkadang suka... ya... Mas Langit paham apa yang saya maksud." "Maksud Bapak, karena kematian adiknya?" "Salah satunya itu. Tadinya Pak Bagja berharap banyak pada Mario. Tapi sekarang satu-satunya yang diharapkan hanyalah Malia. Kalau seandainya Mas Langit sedang bertengkar dengan Mbak Malia, tolong pikirkan beliau." Salah satunya? Apakah ada hal lainnya? Langit bertanya dalam hati, pandangannya menerawang. .... Langit terbangun ketika merasakan sebuah tangan meraba punggung telanjangnya. Ia membalikkan badan. Didapatinya sebuah wajah tersenyum memandangnya. Ditariknya tubuh pemilik senyum itu dalam dekapannya. "Kamu wangi banget," bisiknya. "Langit! Lepasin! Kamu berat!" Jerit Malia, berusaha melepaskan diri sambil tertawa. Tapi Langit malah semakin mengeratkan pelukannya. "Siapa suruh ganggu orang tidur," sahutnya dengan mata yang kembali terpejam. Ia tak memedulikan tubuh Malia yang meronta-ronta. "Heii! Ayo! Ayo! Pacarannya di luar!" Teriakan Mentari di ambang pintu, memaksa Langit melepaskan dekapannya. "Huuh! Ganggu orang pacaran aja!" Gerutunya. Malia tertawa, lalu mendaratkan sebuah kecupan di pipinya. "Katanya perginya mau pagi-pagi?" Ucapnya. Langit tersenyum. "Sorry. Aku baru tidur jam tiga semalam." "Kenapa?" "Mikirin kamu!" Goda Langit balik, tersenyum lebar. Dan Malia pun mendaratkan cubitan gemas di tangan Langit yang membuatnya langsung menjerit. "Ayo! Tuan dan Nyonya Langit keluar! Sarapan sudah siap!" Teriak Mentari lagi. Membuat Malia menarik paksa tangan Langit keluar dari dalam kamar. "Duh, De! Masa tamu dikasih sarapan mi instan?" Keluh Langit, menatap tiga mangkuk mi instan dengan telur ceplok di atasnya. "Justru karena Kak Malia jarang makan mi, makanya aku buatin! Ya, kan, Kak?" Sahut Mentari, memandang Malia yang hanya bisa tertawa. "Bilang aja kamu malas beli," sungut Langit, mengundang tawa Malia. "Sorry, aku gak sempat bikinin sarapan. Kamu suruh aku pagi-pagi ke sini," sesal Malia, memanyunkan bibirnya. Langit menggeleng. "Gak apa-apa. Hari ini kan tema pacaran kita 'wisata kuliner ala Langit'," sahutnya, mengedipkan mata. "Aku ikut, dong, Mas!" Mentari memandang Langit dengan wajah memohon, matanya berbinar. "Anak kecil, ganggu aja!" Sahut Langit. "Huh! Nanti aku juga mau pergi pacaran sendiri!" Sungut Mentari, bibirnya mencebik. "Gak boleh! Bawa ke sini dulu pacar kamu biar Mas lihat!" Langit menatap Mentari dengan mata melotot. "Uuuh! Biarin aja aku jomblo sampai tua. Gak ada cowok yang berani deketin aku. Semua takut sama Mas Langit!" Sungut Mentari lagi, frustrasi. "Kamu boleh pacaran kalau udah selesai kuliah," sahut Langit lagi, wajahnya serius. Mentari menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dulu waktu SMA juga Mas Langit pacarnya banyak. Tiap minggu ganti pacar. Di setiap sekolahan punya pa—" Langit buru-buru membekap mulut Mentari. "Bisa diam, gak?" ucapnya dengan mata yang kembali melotot. Malia kembali tertawa terbahak-bahak melihat pertengkaran khas kakak beradik itu. "Nanti aja, Kak. Kalau aku nginap di rumah Kak Malia, aku ceritain semua!" bisik Mentari pada Malia. "Jangan percaya!" Seru Langit. "Lagian, memangnya kamu ingat?" Sergahnya lagi, berusaha menutupi jejak masa lalu. "Aku ingat! Mau aku sebutin namanya? Ada Bella, Delia, Ti—" Mentari tak jadi meneruskan kalimatnya saat dilihatnya Langit kembali menatapnya dengan galak. Ia pun lalu terdiam dengan wajah cemberut. .... "Jadi benar, dulu pacar kamu banyak?" Tanya Malia sambil menyuapkan es campur ke dalam mulutnya, senyumnya geli. Langit tersenyum. Diletakkannya mangkuk es campur yang sudah kosong di atas jok motornya. "Hmm... aku enggak ingat!" Sahutnya, lalu balik bertanya, "Kalau kamu?" Malia menggeleng. "Aku cuma pernah pacaran dua kali." "Oh ya?" Langit menatap Malia tak percaya, sedikit terkejut. Malia mengangguk. "Aku kan, bukan player kayak kamu." Langit tersenyum malu. "Aku udah enggak ingat mereka. Waktu itu pun aku sering lupa namanya." "Enggak ada satu pun yang berkesan?" Malia menyelidik, penasaran. Langit menggeleng. "Mereka hanya teman dekat. Enggak ada yang spesial. Mereka sering datang ke rumah. Malahan mereka lebih akrab dengan Ibu dan Mentari. Terkadang mereka di rumah sampai seharian. Sampai Ibu harus memaksa pulang karena takut orang tuanya akan mencari." Malia tertawa. "Memangnya ada yang enggak mau pulang?" Langit kembali mengangguk. "Waktu itu ada yang enggak mau pulang sampai satu minggu. Dia enggak betah di rumahnya. Terus orang tuanya mencari dia ke rumahku sambil membawa polisi." "O ya?" Malia membulatkan mata, semakin tertarik. "Malahan pernah ada yang tiba-tiba datang sekeluarga memintaku bertanggung jawab karena anaknya hamil. Mereka pikir aku yang berbuat karena dia sering main ke rumah." "Hah? Terus?" Malia menatap Langit dengan wajah penasaran. "Ya, aku suruh dia mengaku siapa yang hamilin dia. Ibu sempat syok. Dikira beneran aku yang bikin dia hamil. Sejak saat itu Ibu memintaku untuk menjauhi mereka." Langit mengakhiri ceritanya dengan tawa kecil. Malia tersenyum, hatinya menghangat. Langit selalu saja punya cerita yang membuatnya semakin mengaguminya. "Kalau kamu?" Langit balik bertanya. "Aku... enggak ada yang menarik dari ceritaku," Malia menjawab dengan enggan, raut wajahnya sedikit berubah. "Pasti cowok kamu ganteng-ganteng. Kaya, pintar, dari keluarga terpandang seperti kamu. Mereka pasti enggak pernah ngajak kamu naik motor tua kayak gini." Langit menepuk-nepuk Vespa tua kesayangannya, sedikit merendahkan diri. Malia memandang Langit dengan hati yang teriris. Andaikan saja dia tahu yang sebenarnya, mungkin dia tidak akan memandang dirinya sebagai Malia yang sama. "Sudah habis?" Langit melirik ke dalam mangkuk es yang dipegang Malia. Malia mengangguk. "Sekarang mau jajan apa lagi?" "Aku mau cicipin semuanya!" Sahut Malia dengan wajah sumringah, antusias. Langit lalu menggandeng tangan Malia menyusuri jalan kecil yang penuh sesak oleh pengunjung Pasar Kaget itu. Begitu kaki melangkah masuk, mereka langsung disergap oleh hiruk pikuk kehidupan. Aroma bakso kuah panas bercampur, gurihnya sate ayam yang dibakar, disusul semerbak gorengan renyah yang baru diangkat, dan manisnya es campur yang menggoda. Semuanya berbaur, menciptakan aroma khas sebuah pasar. Malia menatap sekeliling dengan mata berbinar, penuh kekaguman dan sedikit keheranan. Ini adalah dunia yang sama sekali baru baginya, sebuah kontras nyata dari kehidupan teraturnya. Wajahnya memancarkan takjub, menyaksikan keramaian yang belum pernah ia rasakan secara langsung. Di sepanjang lorong sempit, tenda-tenda kecil berwarna-warni berjejer rapat, memamerkan dagangan mereka. Penjual dengan suara lantang menawarkan barang dagangan, bersaing dengan suara musik dangdut dari pengeras suara yang pecah-pecah. Malia terpaku, menyerap setiap detail: tawa anak-anak yang berebutan naik komedi putar sederhana, obrolan ibu-ibu yang menawar harga, dan deru motor yang sesekali melintas di sela-sela keramaian, semuanya menciptakan melodi kehidupan kota yang belum pernah ia dengar sedekat itu. Di satu sudut, seorang penjual martabak manis sibuk menuangkan adonan ke wajan panas, asap tipis mengepul, mengundang antrean panjang. Tak jauh dari situ, pedagang mainan menjajakan balon dan gelembung sabun yang terbang bebas di udara, menarik perhatian anak-anak. Setiap sudut pasar memancarkan energi, sebuah potret nyata dari kehidupan yang berdenyut, hangat, dan tak pernah sepi. Ini adalah kegembiraan murni yang sederhana, sesuatu yang terasa asing namun memikat hatinya. "Ada bakso enak langganan Mentari di sini. Kita coba, ya?" Ajakan Langit disertai pegangan lembut tangannya, menyentak lamunan Malia. Mereka masuk ke dalam sebuah tenda penjual bakso yang sangat sesak. "Kamu pasti sering ke sini sama Mentari?" Tanya Malia, matanya menyapu sekeliling. "Udah jarang. Sekarang Mentari lebih suka pergi sama teman-temannya," jawab Langit, sedikit melankolis. "Masa kecil kamu pasti bahagia seperti anak-anak di sana." Malia menunjuk sekelompok anak-anak kecil yang tengah berebutan naik ke sebuah wahana komedi putar. Terdengar riuh rendah tawa mereka. Langit mengangguk. "Meski hidup sederhana, tapi masa kecilku cukup bahagia," sahutnya. "Kalau kamu?" Malia hanya menjawab dengan senyuman tipis, pandangannya menerawang. "Mungkin waktu aku lagi bermain komedi putar di pasar kaget, kamu juga lagi bermain yang sama di Disneyland." Langit mencoba berseloroh. Kini Malia tertawa. "Aku baru satu kali ke Disneyland. Waktu kecil sekali. Sudah enggak ingat rasanya," sahutnya. Langit menghembuskan napasnya. "Setiap orang menjalani hidup yang hampir sama. Hanya tempatnya yang berbeda. Aku terbiasa berada di tempat ini karena aku mengenalnya sejak kecil. Tapi buat orang yang belum pernah mengalaminya, dia mungkin enggak akan betah." "Menurut kamu aku enggak akan betah?" Malia menatapnya, sedikit menantang. Langit menatap ragu. "Kita hidup di dunia yang berbeda," sahutnya, pelan. "Dari mana kamu tahu aku enggak akan betah kalau kamu enggak pernah mengizinkan aku masuk ke dalam duniamu?" Malia membalas. "Karena terkadang aku juga merasa takut masuk ke dalam duniamu. Aku enggak terbiasa. Terkadang aku bingung bagaimana harus bersikap. Aku enggak tahu caranya." Langit mengakui, ada kerentanan dalam suaranya. Malia kembali tersenyum, kelembutan terpancar di matanya. "Aku akan mengajari kamu asal kamu enggak marah-marah terus," ucapnya. Dan Langit pun tertawa, tawa renyah yang mengakhiri percakapan serius itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD