Sampai Kamu Mencintaiku

1248 Words
Dengan langkah tergesa, Malia menarik tangan Langit. Jemarinya menggenggam erat, seolah takut ia terlepas. “Cepetan! Papa sudah nunggu di mobil,” ucapnya dengan suara penuh semangat yang sedikit terburu-buru. “Kita mau makan siang di mana, sih?” tanya Langit sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Ia menyipitkan mata, silau matahari menusuk wajahnya. “Di hotel,” jawab Malia singkat. Ia berlari kecil menuju sebuah sedan hitam mewah yang sudah menunggu di depan lobi, mesinnya berdengung halus seakan memberi salam. Setengah jam kemudian, mobil berhenti dengan mulus di depan lobi hotel bintang lima—hotel yang sama tempat Malia dulu mengajaknya makan malam. Kenangan itu melintas sekilas, tetapi segera menghilang ketika mereka melangkah masuk ke restoran, tempat Pak Subagja telah duduk menunggu. Begitu kembali berhadapan dengan Pak Subagja, d**a Langit serasa mengencang. Usai basa-basi yang singkat namun penuh tekanan tak terlihat, ia menanti—menunggu kata-kata itu: "kontrak berakhir". Sebentar lagi ia akan terbebas dari Malia. Hidupnya akan kembali seperti dulu. Membosankan, tapi lebih baik dari pada harus menghadapi drama Malia setiap hari. Meski ia juga tak mengerti mengapa hatinya malah gelisah. “Saya mengundang kamu makan siang ini untuk merayakan Malia yang mulai bergabung dalam perusahaan.” Tatapan Pak Subagja pada putrinya lembut dan bangga; senyum lebarnya memancarkan kebahagiaan yang tulus. “Sudah dua tahun saya membujuknya, tapi dia tidak pernah mau. Dan kamu… kamu bisa meyakinkan dia hanya dalam satu hari. Terima kasih banyak, Langit.” Wajah pria itu tampak haru; ada kelegaan yang jelas terlukis di sana. Langit menatap Malia, bingung. Alisnya terangkat, mencari penjelasan. Namun Malia berpura-pura tidak melihat tatapannya, seolah ia tak mendengar tanda tanya yang berteriak dari mata Langit. Ada kebohongan yang melintas begitu saja—ia bisa merasakannya. “Dan… sebelum makanan kita datang, saya ingin memberikan sesuatu sebagai rasa terima kasih dari saya dan Malia.” Pak Subagja meraih tas kerjanya dan mengeluarkan sebuah amplop besar. Jantung Langit seketika berdebar lebih keras. Ini dia: Surat pemutusan kontrak. “Kamu tidak boleh menolaknya,” ucap Pak Subagja sambil menyerahkan amplop itu. Nada suaranya tegas, tak ingin dibantah. Perlahan Langit membuka amplop itu. Sebuah kunci mobil berkilau beserta surat kepemilikannya jatuh ke telapak tangannya. “Buat saya…?” tanyanya pelan, nyaris tak percaya. Pak Subagja mengangguk. “Tapi ini—” “Ingat, kamu sudah berjanji, Nak.” Ucapan itu memotong kalimatnya, membuat Langit terdiam mendadak. Langit kembali melirik Malia, dan kini ia memahami segalanya: alasan kebohongan kecil itu. “Ini mobil Malia. Dia ingin kamu memilikinya,” jelas Pak Subagja. “Dia takut kamu menolak kalau dia bilang langsung. Mobilnya sudah ada di basemen gedung.” Langit tercekat. Mobil semewah itu? Untuk dia? Ia tidak tahu harus merasa apa. Ia memang senang karena sekarang ia tak perlu takut kehujanan lagi. Tapi ia juga merasa tak pantas mendapatkan mobil semewah itu. Apalagi rumahnya kecil. Tak ada tempat untuk menaruhnya. Ia tak mungkin meletakkan mobil semewah itu di pinggir jalan. Ah, kejutan Malia kali ini malah membawa masalah baru. “Aku kasih mobil itu supaya kamu ingat aku terus,” ujar Malia sambil tersenyum lebar, matanya berbinar seperti anak kecil yang berhasil memberi kejutan. “Terima kasih,” ucap Langit. Nadanya kaku—terlalu kaku untuk sebuah hadiah sebesar itu. Ia senang, tapi juga tertekan. Dan sebelum ia sempat menata pikirannya, suara Pak Subagja kembali memanggil. “Dan satu lagi, Langit…” Langit refleks menahan napas. Ini dia: keputusan yang ditunggu. “Saya berterima kasih karena kamu sudah menemani Malia sampai ia bisa berubah seperti sekarang.” Pak Subagja menatap putrinya dengan bangga, lalu kembali menatap Langit. “Tapi… Malia ingin hubungan kalian tetap berlanjut.” Seolah ada sesuatu yang meledak pelan di kepala Langit. “Maksudnya, Pak…?” suaranya tercekat. “Aku masih butuh,” potong Malia cepat, nadanya manja. Langit bersandar ke kursi, hampir kehilangan pijakan. Kebingungan memenuhi kepalanya—untuk apa lagi ia diminta menemani? Apa Malia benar-benar membutuhkan itu, atau ada alasan lain? --- Begitu mereka kembali ke kafe, Langit menggenggam lengan Malia dan menariknya ke teras belakang. “Sekarang jelasin semuanya,” ucapnya tegas. Tangannya terlipat di d**a, tatapannya menusuk. Malia hanya mengedikkan bahu, ekspresinya polos. “Apa yang harus dijelasin? Kamu cuma meneruskan apa yang Papa minta.” “Itu dia masalahnya, Mal! Kamu nggak perlu minta Papa buat bikin aku tetap nemenin kamu. Itu kebangetan!” suara Langit meninggi tanpa ia sadari. “Tapi aku nggak mau kita cuma jadi teman biasa. Hubungan kita itu spesial.” “Tapi kamu nggak perlu ngikat aku, Mal. Buat apa?” “Karena kalau nggak terikat, kamu bisa berubah sewaktu-waktu. Kamu belum tentu mau nemenin aku kayak biasanya. Kamu pasti akan selalu punya alasan untuk menolak. Dan lama-lama kamu akan jauhin aku.” Nada Malia pelan, tapi logikanya menampar Langit. Untuk beberapa saat Langit tidak mampu bicara. Kini ia mengerti: Kehadiran dirinya saja tak cukup bagi Malia. Dia harus masuk dalam hidupnya lagi. Mengatur semuanya. “Sampai kapan, Mal?” tanya Langit lirih. Pasrah. Malia terdiam. Lalu menatapnya dalam, seolah mencari keberanian di kedalaman mata lelaki itu. “Sampai kamu mencintaiku…” Langit terbelalak. Ia terdiam. Bingung untuk menjawab. “Tapi cinta nggak bisa dipaksa, Mal. Biarkan semuanya berjalan apa adanya.” “Tapi perasaan kita nggak sama, Lang. Kamu masih ragu. Dan kalau kita biarkan gini aja, aku takut kamu belok arah. Kita harus berjuang ke arah yang sama.” Ada keteguhan yang membuat Langit nyaris kehabisan kata. “Dan kalau di tengah jalan kita gagal?” suara Langit nyaris hanya bisikan. “Kalau kita gagal karena kamu nggak bisa mencintaiku… aku akan menyerah. Tapi kalau karena alasan lain, aku bakal berjuang. Kamu sendiri yang bilang kita harus mencari kebahagiaan kita.” Jawabannya sederhana, tapi mengguncang jiwa Langit. --- “Mas!!” Lamunan Langit buyar saat Mentari mengibaskan tangan di depan wajahnya. Aroma nasi goreng mengepul di bawah hidungnya. “Lamunin Kak Malia lagi, ya?” goda Mentari sambil meletakkan telur ceplok di atas piring kakaknya. “Enggak!” Langit cepat membantah. Terlalu cepat. “Tapi dari pulang kerja kok, ngelamun aja? Ngaku aja, Mas…” Mentari menyenggolnya. Langit buru-buru mengalihkan. “Katanya kamu mau ngomong sesuatu?” Mentari mengangguk penuh semangat. “Kak Malia ngirimin aku formulir beasiswa dari kantor Papanya. Beasiswa kuliah. Di mana aja, tinggal pilih. Daftarnya harus sekarang.” “Serius?” Langit tercenung. Kenapa harus lewat Mentari? Kenapa Malia tidak bilang padanya langsung? “Terus kamu mau?” tanyanya. “Mau lah! Masak rejeki ditolak?” Mentari menyengir. “Tapi beasiswa biasanya syaratnya banyak, Tan.” “Syaratnya cuma satu…” Mentari menahan tawa. Langit mengerutkan kening. “Satu apa?” “Syaratnya cukup Mas Langit!” Dan pecahlah tawa Mentari—renyah, puas. Langit mengusap wajah. “Malia makin keterlaluan.” “Ya jangan putus dulu, Mas,” ucap Mentari sambil meraih gelas air. “Sampai aku selesai kuliah.” Langit terkekeh pendek. “Sekarang kamu tim Malia, ya?” “Aku tim siapa aja yang bikin hidup kita lebih ringan. Hidup ini udah berat, Mas. Kalau ada yang mau bantu dengan tulus, kenapa nggak? Mas bisa fokus mikirin masa depan sendiri. Kuliah lagi, kerja bagus, nikah, punya keluarga…” Nada Mentari berubah matang, dewasa sebelum waktunya. Langit menatap adiknya lama. Ada sesuatu yang hangat sekaligus menyesakkan. Adik kecilnya sudah tumbuh. Sudah mulai paham dunia. Bahkan lebih logis darinya. Dan mungkin… ia benar. Mungkin ia harus berhenti melawan arus. Menerima Malia apa adanya. Dan membiarkan waktu—atau takdir—menentukan akhirnya. Sebuah keputusan yang terasa berat… namun entah kenapa sedikit melegakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD