Kamu Mengubahku

1205 Words
Langit tertegun, matanya tak beranjak dari sosok Malia yang berdiri di hadapannya. Ada sesuatu yang berbeda. Sangat berbeda. Dengan setelan kerja serba hitam yang elegan, tas laptop yang tersampir di tangan, sepatu hak tinggi yang memancarkan kepercayaan diri, dan rambut yang diikat rapi, Malia terlihat seperti wanita dewasa yang matang dan mandiri. Dia tampak seperti versi baru yang bahkan belum sempat ia kenali. Bukan Malia yang selama ini ia hadapi. Bukan gadis manja yang terus mencari perhatian dari dunia yang terasa terlalu luas baginya. Malia tersipu ketika tatapan Langit tak kunjung berpaling. “Kenapa? Kaget, ya?” tanyanya, senyum tipis mengulas bibirnya. “Kamu… mulai kerja?” Langit akhirnya bersuara, suaranya terdengar nyaris tak percaya. Malia mengangguk pelan. “Bantu Papa,” jawabnya singkat. Jawaban itu saja sudah cukup membuat ribuan tanya saling berebut tempat dalam kepala Langit. Bagaimana bisa seseorang berubah sedrastis ini hanya dalam semalam? Baru kemarin Malia merajuk karena tak diizinkan mengikuti kelas melukis. Dan hari ini—seakan berlari mendahului semestanya sendiri—dia memutuskan untuk mulai bekerja? Tidak masuk akal, batin Langit. Malia memang penuh kejutan, tetapi kali ini kejutan itu terasa seperti perubahan besar yang selama ini tidak pernah ia bayangkan. “Ehm!” Malia berdeham kecil, membuyarkan lamunan Langit. “Oh! Maaf, aku… maksudku, kamu mau kopi?” tanyanya tergagap, mendadak kikuk. “Coffee latte. Take away,” jawab Malia, nadanya tenang—profesional seperti penampilannya. Langit mengangguk, namun ragu-ragu sebelum kembali bertanya, “Hmm… mumpung masih sepi, kamu mau ngopi bareng aku?” Ia merasa bodoh seketika. Kenapa juga tiba-tiba ia jadi tidak percaya diri? Malia tampak heran dengan ajakan itu—karena biasanya Langit tidak suka diganggu pagi-pagi begini. Namun ia mengangguk juga, tersenyum tipis lalu duduk dengan anggun. Tak lama, Langit datang membawa dua cangkir kopi. Dan lagi-lagi ia terpaku. Dengan penampilannya saat ini, tak seorang pun akan mengira Malia pernah begitu putus asa hingga berada di tepi kehancuran. Selama ini, Langit selalu melihatnya sebagai gadis kecil yang haus perhatian. Tetapi sekarang… ia melihat sesuatu yang sama sekali berbeda. “Kamu kelihatan dewasa dan… cantik,” ucap Langit, masih tak bisa menyembunyikan kekagumannya. “Berarti kemarin-kemarin aku enggak dewasa dan enggak cantik?” goda Malia sambil pura-pura cemberut. Langit tertawa kecil, kepalanya menggeleng-geleng. “Kemarin juga cantik. Tapi aku lebih suka kamu yang sekarang. Kamu kelihatan mandiri. Aku bangga.” Ada ketulusan yang tidak bisa ia sembunyikan. “Kamu pikir aku cewek manja yang cuma bisa gangguin kamu kerja?” protes Malia sambil manyun, tapi sorot matanya jelas menggoda. Langit kembali tertawa. “Pasti Papa kamu bangga banget,” ujarnya sambil membayangkan betapa leganya Pak Subagja. Malia menatapnya lama, tatapannya lembut namun dalam. “Aku berubah karena kamu,” ucapnya lirih, jujur, dan hangat. Langit terdiam sesaat, menelan perasaan aneh yang tiba-tiba merambati dadanya. “Itu karena kamu sendiri,” jawabnya merendah. Ia benar-benar percaya itu. Tiba-tiba suara pintu terbuka. Bima masuk sambil menenteng boks roti dan kantong besar belanjaan. Ia mematung ketika melihat Malia. “Kamu… kerja?” tanyanya tak percaya. Malia mengangguk pelan sambil menahan senyum melihat wajah Bima yang begitu lucu dalam kebingungan. “Wah! Selamat! Aku ikut senang!” seru Bima tulus. “Cuma bantuin Papa, Mas,” jawab Malia. Bima menepuk punggung Langit, seolah memberi selamat kepadanya atas sesuatu yang tidak ia mengerti. “Jadi kamu bakal sering ngantor di sini, dong?” “Sementara iya,” jawab Malia. “Sambil belajar.” Langit menyesap kopinya, tiba-tiba merasakan sesuatu yang mirip dengan lega… dan entah kenapa, sedikit kehilangan. Ini seharusnya kabar baik. Malia berubah. Tugasnya hampir selesai. Dia akan sibuk, fokus pada perusahaan. Perasaannya pada Langit—yang dulu hanya muncul dari ketergantungan emosional—akhirnya akan memudar. Malia akan melupakannya. Dia hanya akan menjadi barista yang pernah lewat dalam hidupnya. Langit menarik napas pelan, dan anehnya… dadanya terasa sesak. “Kamu kenapa?” tanya Malia, menatapnya. Langit kelabakan. “Enggak apa-apa. Aku cuma mau ngucapin selamat buat kamu.” Ia mengulurkan tangan—dan Malia malah menepisnya sambil tertawa kecil. “Apaan sih, kamu,” ujarnya sambil tersipu. Langit ikut tertawa. Benar, Malia bukan karyawan baru. Dia calon pemilik perusahaan raksasa. Rasanya konyol sekali ia ingin bersalaman. “Hm, aku enggak bisa lama. Harus langsung ke kantor. Meeting pertama.” Malia melirik jam tangan, lalu meneguk habis kopinya. “Aku pergi dulu, ya. Makasih kopinya.” Belum sempat Langit memikirkan kata apa yang harus ia jawab, pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibirnya. “Kamu... mau makan siang bareng aku nanti?” Malia terhenti. Matanya melebar sedikit, memastikan ia tidak salah dengar. Sebab baru kali ini—sejak ia mengenal Langit—laki-laki itu yang mengajaknya makan. Dan ketika melihat wajah Langit yang sungguh-sungguh, bahkan sedikit berharap… Malia tersenyum dan mengangguk. “Sampai ketemu siang nanti!” serunya riang, lalu melangkah pergi. Langit tetap menatapnya hingga pintu tertutup. “Hm… akhirnya, kan, lu jatuh cinta juga,” komentar Bima dari balik konter. “Ah. Enggak!” Langit mengelak cepat. “Mata enggak bohong,” balas Bima sambil merapikan belanjaan. Langit tak menjawab. Karena jauh di lubuk hatinya, ada sesuatu yang menegang, seperti benang perasaan yang baru mulai ditarik perlahan. --- Siang harinya, Malia menghampiri meja Langit sambil sedikit terburu-buru. “Kita makan apa?” tanyanya ceria. Langit menunjukkan sate ayam. “Gimana hari pertama kerja?” “Capek! Banyak meeting. Maaf ya, jadi lama.” “Gapapa. Kantinnya juga sepi,” jawab Langit sambil tersenyum. Malia menatapnya dalam. “Hari ini kamu juga berubah,” ujarnya pelan. “Berubah?” Langit berusaha terlihat santai, padahal panik. “Kamu lebih perhatian,” jawab Malia sambil tersenyum, menyukainya. Langit menyembunyikan wajahnya di balik gelas minuman. “Ini… merayakan perubahan kamu,” kilahnya. “Oh iya!” Malia tiba-tiba memotong, “Papa ngajak kita makan siang besok. Bisa, kan?” Langit mengangguk pelan. Hatinya terasa berat. Ya. Besok tugas itu akan resmi berakhir. Setelah jeda, ia memberanikan diri bertanya, “Kenapa kamu bisa berubah secepat itu?” Malia terdiam sejenak, memandang botol minum di tangannya. Lalu perlahan ia bicara—dengan suara yang nyaris seperti bisikan. “Setelah kamu ajak aku lari pagi… dan kita bicara soal kebahagiaan… aku mikir semalaman.” Ia menarik napas panjang. “Aku merasa hidupku sempit. Seperti aku terkurung di botol kaca yang gelap. Padahal aku bisa keluar… cuma dengan memecahkannya.” Matanya mulai berkaca-kaca. “Aku terus hidup dalam masa lalu yang hancur… dan aku merasa mati bahkan sebelum Mario mati.” Air matanya jatuh. “Hidupku enggak punya apa pun yang bisa dibanggakan. Dan aku enggak punya alasan untuk tetap hidup… sebelum aku ketemu kamu.” Langit terpaku. Dunia seakan berhenti. Ia ingin mendengar lebih banyak, tetapi hati Malia sudah retak terlalu dalam. Air mata itu jatuh satu-satu, tanpa ia bisa menahannya. Akhirnya Langit meraih tangan Malia, menggenggamnya erat. “Kamu enggak perlu lanjutin,” ucapnya lembut. “Aku bodoh…” isak Malia. Langit menggeleng, ibu jarinya mengusap air mata itu. “Kamu enggak bodoh. Kamu hanya belum mengerti dirimu waktu itu. Dan kamu enggak hancur. Kamu di sini, Mal. Kamu masih punya hati. Hati yang bikin kamu bisa menangis. Dan itu… bukti kalau kamu masih hidup.” Dalam sorot mata itu, Langit merasakan sesuatu yang dalam—sesuatu yang ia takut sebut sebagai... cinta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD