Membuka Hati

1062 Words
Langit melambaikan tangan ke arah kamera pengawas di atas gerbang besi besar rumah Malia. Beberapa detik kemudian, pintu pagar itu bergeser pelan, disambut seorang petugas keamanan yang menunduk sopan sambil mempersilakannya masuk. Udara sore terasa lembut di kulitnya, namun dadanya justru sesak oleh sesuatu yang sulit diuraikan. Hari ini ia mencoba mengikuti saran Mas Bima: memperbaiki hubungannya dengan Malia. Mencoba menerima gadis itu tanpa rasa terpaksa, tanpa defensif, tanpa menganggapnya sebagai beban yang harus ia tanggung karena kontrak. Langit lelah bertengkar. Lelah menjaga jarak. Mungkin… kalau ia membuka sedikit ruang, keadaan bisa berubah. Mungkin Malia pun akan berubah. Ia memarkirkan motor di samping garasi besar. Ketika ia melepas helm, suara melengking terdengar dari atas. “Langit!” Malia melambai dari balkon, lalu menghilang ke dalam rumah. Dalam hitungan detik, suara langkah tergesa-gesa mendekat dari arah pintu depan. Pintu terbuka—dan sebuah kecupan mendarat cepat di pipinya. “Mal!?” Langit memekik, langsung menoleh ke kiri-kanan. Panik. Ia membayangkan Papa atau Mama Malia muncul entah dari mana. Malia terkikik geli. “Papa Mama lagi gak ada di rumah,” ujarnya santai. Langit mengembuskan napas lega. Ia mengangkat kantong plastik berisi bungkusan makanan. “Ini pesanannya. Makanan yang kamu belum pernah makan.” Malia langsung antusias. “Apa ini?” “Martabak ketan hitam,” jawab Langit sambil nyengir. “Kamu belum pernah, kan?” “Belum…” Malia menyipitkan mata. “Ini pasti kesukaan kamu?” Langit mengangguk. "Aku yakin kamu gak bakal bisa bikin,” jawab Langit, penuh kemenangan. “Jadi kalau mau makan kamu harus minta aku.” Malia menyengir lebar, lalu menarik tangannya. “Ayo ke belakang!” Langit ikut melangkah. Sesampainya di sana ia terdiam, terpaku menatap pemandangan di depannya: Halaman belakang rumah itu bagaikan kepingan surga tropis. Rumputnya tebal, hijau seperti permadani; pohon-pohon palem menjulang, membentuk dinding alami yang tersembunyi di balik tembok tinggi. Kamboja berjatuhan di tanah, meninggalkan aroma manis yang lembut di udara. Kolam renang memanjang, airnya bening, dikelilingi patung-patung batu yang menyemburkan air dari mulutnya. Gemericik air mengalir dari dinding bebatuan menuju kolam ikan di samping jembatan kayu kecil. Di sisi lain, lapangan tenis dan basket berdiri berdampingan, luasnya bahkan melebihi satu blok kompleks perumahan Langit. Ia merasa bagaikan berada di sebuah resor di Bali. Langit menarik nafas panjang, menyadari betapa jauh berbeda kehidupan yang ia jalani dan kehidupan yang Malia nikmati. Bak langit dan bumi. Langit duduk perlahan dengan rasa asing yang mendadak muncul dalam dirinya. Malia duduk di hadapannya, tangannya sibuk membuka bungkusan martabak dengan penuh semangat. Saat ia memasukkan potongan pertama ke mulutnya, wajahnya langsung berbinar. “Enak?” Langit bertanya sambil menahan senyum. Malia mengangguk dengan mulut penuh. Tak lama, seorang pelayan datang membawa es teh lemon dingin, potongan buah segar dan sepiring pastry. “Kamu suka olahraga ya?” tanya Langit sambil melirik lapangan besar itu. “Papa Mama suka tenis. Kak Leon dan Mario dulu suka basket. Aku suka renang.” “Leon itu abang kamu?” Malia mengangguk. “Dia udah lama tinggal di Amerika. Dia… hidup di sana sama boyfriend-nya.” Langit sontak menoleh. “Boyfriend? Maksudnya…?” Malia menunduk, suaranya melembut. “Papa marah besar waktu tahu. Sejak itu Papa gak mau mengakui Kak Leon lagi.” "Ooh..." Langit mengerti. Ia tak ingin lagi bertanya. “Mario…” Malia terhenti. “Mario meninggal tiga tahun lalu. Kecelakaan di London. Ditabrak pengendara mabuk.” Langit menelan ludah. “Maaf, aku… gak tahu.” “Gak apa-apa.” Senyum Malia tipis, getir. “Kamu pasti penasaran kenapa aku depresi," jawabnya sambil menoleh ke arah Langit yang terdiam canggung. Ia lalu menghela nafas berat. "Ini bukan hanya tentang kematiannya yang menghantuiku. Tapi ada sesuatu yang… jauh lebih gelap. Sesuatu yang bikin aku percaya kalau semua kesialan ini adalah hukuman. Sebuah takdir yang aku tulis sendiri." Langit menatap dengan rasa penasaran yang hampir tak bisa ia tahan, namun saat melihat sorot mata gadis itu yang begitu rapuh, ia mengurungkannya. Suasana hening sesaat. Lalu Malia berkata pelan, “Suatu hari, kalau keberanian itu datang, aku akan cerita ke kamu.” Ada luka dalam suaranya. Langit hanya mengangguk. Sore itu mereka menghabiskan waktu dengan hal-hal yang lebih ringan. Menceritakan masa kecil, masa sekolah, tingkah bodoh teman-teman mereka dulu. Sesekali tawa pecah—tawa yang terasa jernih setelah sekian lama. Di rumahnya sendiri, Malia tampak jauh lebih santai, lebih bisa bernapas. Langit melihat sisi Malia yang jarang muncul—versi yang tak pernah ia temui di luar rumah. Mungkin Mas Bima benar. Malia hanya butuh perhatian yang tulus. “Terus kapan kamu mau lanjutin kuliah?” tanya Malia sambil mencelupkan kakinya ke kolam. “Belum tahu. Sekarang aku mikirnya Mentari dulu. Dia harus kuliah sampai selesai,” jawab Langit, ikut mencelupkan kakinya. “Kamu kakak yang hebat.” Langit tersenyum kecil. “Biasa aja. Semua orang pasti begitu kalau punya adik.” "Berenang, yuk!" Malia menceburkan diri ke kolam, lalu tanpa aba-aba ia menarik Langit. Byur. Langit tercebur. “Mal!!” teriaknya kesal. “Aku kan gak bawa baju ganti!” Tapi Malia malah sengaja membuatnya semakin kesal. Ia menyipratinya berkali-kali sambil tertawa terbahak-bahak. Tawa yang lama hilang dari hidup gadis itu. Melihat kebahagiaan di wajah Malia, rasa kesal Langit perlahan luruh. Ia akhirnya membiarkan gadis itu bermain air sesukanya. Malam turun ketika Langit sudah berganti pakaian. Saat ia kembali ke dekat kolam, Malia terpaku menatapnya. “Kamu… mirip Mario,” bisiknya. Matanya berkaca-kaca. Langit langsung kikuk. “Aku bisa pakai bajuku kok. Gak apa-apa basah.” Malia menggeleng. “Nggak apa-apa. Aku cuma lagi ingat.” Sejenak, hanya suara air kolam yang terdengar. Langit lalu mendekat dan menggenggam tangannya. “Jangan sedih. Ingat… sekarang ada aku.” Malia menatapnya, dan untuk pertama kalinya Langit melihat cahaya di matanya. Cahaya lembut, rapuh, tapi nyata. Ia memeluknya erat. “Terima kasih untuk kebahagiaan hari ini,” ucapnya bergetar. Ucapan itu menghantam d**a Langit. Ada sesuatu yang meleleh perlahan—sesuatu yang tidak ia sangka bisa tumbuh. Kehangatan, keterikatan, dan rasa ingin menjaga. Saat ia pamit pulang, hatinya terasa penuh. Ada perasaan berbeda yang tumbuh. Perasaan hangat, rasa lega, rasa… yang ia sukai. Tetapi ia tak ingin berharap. Karena hidup tak pernah sesederhana itu. Dan cinta saja tak akan pernah cukup. Meski Malia mencintainya, meski ia mulai menyukai kehadiran gadis itu, dunia mereka masih terlalu jauh. Dan ia tak ingin berharap terlalu tinggi—tidak pada hidup yang sering mengejutkannya dengan cara yang kejam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD