Tak Ingin Jauh Darimu

1269 Words
Langit memandangi Mentari yang tengah sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas besarnya. "Memangnya berapa hari sih, nginapnya? Kok, banyak banget bawa bajunya?" Tanyanya, keningnya berkerut, keheranan. "Nginapnya sih, satu malam, tapi aku sama Kak Malia kan, mau 'Girls Day Out' seharian. Jadi outfit-nya harus banyak, buat OOTD." "Apa itu OOTD?" "Outfit of The Day!" "Maksudnya?" Mentari memandang Langit seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Susah deh, ngomong sama 'old school'!" Gerutunya. Dan Langit pun menahan senyum mendengarnya. "Memangnya kalian mau jalan ke mana aja?" Tanyanya lagi. Mentari menggeleng. "Aku enggak tahu. Kak Malia enggak bilang. Aku sih, terserah aja. Aku yakin Kak Malia pasti ngajak aku ke tempat-tempat elit yang instagramable," ucapnya dengan wajah berseri. "Ingat ya, De. Kamu jangan minta dibelikan apa-apa sama dia." "Iya... Kakandaaa. Huuuh Itu terus pesannya dari semalam!" Mentari mencebikkan kedua bibirnya. Dan Langit akhirnya tersenyum juga. Sejak semalam Mentari sangat sibuk menyiapkan pakaian yang akan dibawanya untuk acara weekend bersama Malia. Dia sangat bersemangat karena Malia akan mengajaknya jalan-jalan dan menginap di rumahnya. Ia tidak pernah melihat Sang Adik begitu gembira seperti saat ini. Suara klakson mobil yang tiba-tiba terdengar membuat Mentari bergegas merapikan tasnya. "Kak Malia udah jemput!" Serunya seraya berlari ke luar kamar dan membiarkan Langit membawakan tas besarnya itu. "Maaf ya, aku gak turun. Buru-buru," ucap Malia saat Langit menghampirinya. "Enggak apa-apa," sahut Langit. "Aku titip Mentari, ya? Kalau dia nakal omelin aja. Atau suruh pulang sendiri," selorohnya seraya meletakkan tas besar Mentari ke dalam mobil. "Uuh! Memangnya aku anak kecil? Begini-begini aku tuh, ngerti behave." Gerutu Mentari, membuat Malia tertawa. "Aku pergi dulu, ya!" Pamit Malia. Langit mengangguk. "Makasih, udah ngerepotin!" Ucapnya. Malia menggeleng. "Enggak repot sama sekali. Aku malahan senang," sahutnya, lalu menutup jendela kaca dan berlalu dari hadapan Langit. Langit memandangi mobil Malia hingga menghilang dari pandangannya, lalu kembali masuk ke dalam rumah. Sambil menyandarkan punggungnya di sofa, ia lalu termenung. Hening yang menyelimuti rumah terasa lebih pekat dari biasanya. Ia semakin tidak mengerti dengan perubahan sikap Malia. Semakin hari sikapnya semakin membuatnya bingung. Sejak dia membatalkan pertunangan, tiba-tiba saja dia menjadi pendiam dan tak banyak bicara. Dia bahkan sudah jarang menelepon atau mengiriminya pesan seperti biasanya. Mereka hanya berbicara saat makan siang di kantor. Dan mereka juga sudah tidak pernah lagi berkencan atau pergi berduaan seperti dulu lagi. Ia merasa Malia seperti menjaga jarak darinya. Padahal satu bulan lagi mereka akan berpisah. Bukankah seharusnya mereka malah menjadi lebih dekat, memanfaatkan sisa waktu yang ada? Ia merasa semakin yakin ada yang disembunyikan darinya. Tapi apa? Rahasia apa yang begitu besar sampai bisa mengubah Malia secepat itu? Langit memutar-mutar gelang pemberian Malia yang melingkar di pergelangan tangannya, jari-jarinya merasakan ukiran nama 'Malia' di sana. Dipandanginya sekeliling rumahnya yang sepi, terasa hampa. Aneh, sekarang ia merasa kesepian yang menusuk. Padahal dulu ia sangat senang jika Malia tak mengganggunya. Tapi kini ia malah merindukannya. Ia sangat merindukan Malia yang dulu—Malia yang penuh drama, yang selalu mengisi hari-harinya menjadi penuh warna. Langit semakin gelisah saat membayangkan Malia akan meninggalkannya sebentar lagi. Apakah Kakaknya akan bisa menjaganya nanti? Bagaimana kalau dia melupakannya? Atau dia bertemu laki-laki lain lalu jatuh cinta padanya? Ah, tiba-tiba saja Langit menjadi takut. Hampir setahun Malia mengisi kekosongan hatinya, dan hidupnya yang membosankan. Mereka memang sering bertengkar, namun dari setiap pertengkaran itu, ia belajar menjadi dewasa. Membuatnya belajar untuk kembali membuka hati untuk cinta, dan membuatnya perlahan melupakan dukanya, menyembuhkan sedikit demi sedikit lukanya yang dalam. Dia telah mengubah dirinya menjadi pribadi yang lebih baik dalam waktu sekejap. Tapi kini, setelah mereka melalui semua drama yang melelahkan itu, dan ia mulai mencintainya, tiba-tiba saja dia memutuskan untuk pergi meninggalkannya. Meskipun ia bisa menerima alasan logisnya, tapi tetap saja ia tak bisa membohongi perasaannya jika dia ingin menjauh darinya. Seolah ia sengaja membangun sebuah dinding tak terlihat di antara mereka. .... Malia memandangi Mentari yang tengah sibuk berfoto selfie di balkon apartemennya yang mewah, dengan latar belakang pemandangan kota. Sesekali ia terlihat berbicara dengan seseorang melalui sambungan video sambil tertawa-tawa, suaranya renyah dan penuh kebahagiaan. Dia terlihat begitu gembira, seolah tak ada beban di dunia ini. "Keren banget, Kak, apartemennya!" Ucap Mentari saat Malia menghampirinya dengan membawa semangkuk salad buah segar yang terlihat menggiurkan. Malia hanya menjawab dengan senyuman tipis, senyum yang tak sepenuhnya sampai ke mata. "Kenapa enggak pernah ditempatin, Kak?" Tanya Mentari dengan wajah polosnya. "Kalau Kakak tinggal di sini, kasihan Mama Papa enggak ada yang menemani di rumah," Jawab Malia. Mentari menghembuskan napasnya, pandangannya menerawang jauh. "Kak Malia beruntung banget hidupnya. Masih punya orang tua... hidup serba berkecukupan..." ucapnya seperti bergumam pada dirinya sendiri, ada nada iri yang terdengar samar. Malia tak menjawab. Ia tak sanggup berkata-kata. Ucapan Mentari yang polos, justru membuat hatinya teriris pedih. Ia semakin merasa berdosa, dan beban di dadanya terasa semakin berat. "Terus, kalau nanti udah menikah, Kak Malia sama Mas Lang tinggalnya di sini?" Pertanyaan Mentari yang tak terduga itu membuat Malia hampir saja tak bisa menahan air matanya yang sudah menggenang. Tapi akhirnya dengan terpaksa ia mengangguk, sebuah kebohongan yang kembali mengiris pedih hatinya. "Kata Mas Lang, nanti aku boleh ikut tinggal di sini. Kak Malia... enggak keberatan, kan?" Ucap Mentari malu-malu, matanya penuh harap. Malia menggeleng, menahan isakan yang ingin keluar. "Tentu aja enggak. Kakak malah senang..." sahutnya, ditahannya suaranya agar tak bergetar, agar tidak mengkhianati perasaannya yang sebenarnya. Mentari tersenyum lebar, kegembiraan terpancar jelas di wajahnya. "Makasih, ya, Kak. Kakak udah baik sama aku. Udah ngajak aku jalan-jalan seharian. Makan di tempat mewah, beliin aku baju, sepatu, dan tas mahal." Malia mengangguk. Ucapan terima kasih Mentari membuat dadanya semakin sesak. "Seumur hidupku baru kali ini Kak, aku ngerasain yang namanya jadi orang kaya." Mentari memandang Malia dengan kedua mata yang berbinar-binar, sebuah kebahagiaan yang tulus namun justru semakin menyiksa Malia. Malia tertawa sekaligus menangis dalam hati. Tawa hambar yang menyembunyikan kepedihan. Andai saja ia bisa menebus dosanya dengan segala yang ia punya. Andai saja ini semua bisa menghapus karma yang kini membayangi hidupnya. "Tapi Kakak janji ya, jangan bilang Mas Lang aku yang minta beliin." Mentari berbisik, sedikit nakal. Malia kembali mengangguk. "Kan, memang kamu enggak minta? Itu semua hadiah dari Kakak. Anggap aja kenang-kenangan." Kenang-kenangan dari hari-hari terakhir kita. Bisiknya dalam hati. Kini Mentari menatap Malia dengan ragu. "Hmm... Tapi Kak Malia pergi ke Amerika-nya cuma sebentar, kan? Cuma setahun?" Tanyanya, ada sedikit kecemasan di wajahnya. Dengan terpaksa Malia kembali mengangguk, kepalanya terasa berat. Mentari tersenyum lega. "Jangan terlalu lama, Kak. Kasihan Mas Lang. Sekarang dia jadi sering melamun di rumah." Ucapan Mentari, yang terdengar begitu lugu, justru membuat Malia terkejut, hatinya mendadak mencelos. "Melamun?" Tanyanya, tak percaya. Mentari mengangguk, wajahnya terlihat sungguh-sungguh. "Kayaknya dia sedih mau ditinggal sama Kak Malia." "Oh ya?" Malia menatap Mentari tak percaya, sebuah perasaan campur aduk muncul di dadanya. Apakah Langit juga merasakan hal yang sama? "Iya, Kak. Dia jadi agak pendiam. Terus kayak orang bingung. Makanya Kakak jangan lama-lama di sana," tambah Mentari, tangannya bergerak mengambil salad dengan garpu dan memasukkannya ke dalam mulut. Malia kini termenung memikirkan kata-kata Mentari. Hatinya mendadak gelisah, bercampur aduk antara rasa bersalah dan sedikit kebahagiaan karena Langit ternyata peduli. Ia tahu Langit kecewa saat ia memutuskan untuk pergi. Tapi ia tak pernah membayangkan jika ternyata dia akan merasa kehilangan. Karena ia tidak melihat ada perubahan pada sikapnya, ia kira Langit hanya menerima. Apakah dia menutupinya? Apakah dia juga bingung dengan sikapnya yang mulai menjaga jarak? Malia menghela napasnya. Andai saja dia tahu, semua yang ia lakukan adalah demi dirinya. Karena ia tak ingin melihatnya hancur. Ia akan pergi selamanya. Ia akan menghilang dengan membawa serta rahasia itu bersamanya. Ini adalah satu-satunya cara untuk melindunginya dari kebenaran yang akan menghancurkan segalanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD