"Tangan lu, kenapa?" Bima mengamati tangan kanan Langit yang kini terbalut perban putih. Ada nada curiga dalam suaranya.
"Gak apa-apa, cuma lecet dikit." Langit menjawab santai.
"Lu habis berantem lagi?" Bima menatapnya lekat.
Langit terdiam. Disesapnya kopi hitamnya perlahan, enggan untuk menjawab.
Bima menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lu kapan bisa berubah kalau masih gak bisa nahan emosi?" Keluhnya.
"Dia gangguin Malia, Mas." Langit akhirnya menyerah, suaranya mengandung sedikit kemarahan yang masih tersisa.
"Hah?!" Bima tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya, matanya membulat. "Siapa yang gangguin Malia? Lu ajak dia ke mana?!" Tanyanya beruntun, nada suaranya naik beberapa oktaf.
"Tempat tongkrongan gue dulu."
Bima menatap Langit tak percaya, seolah baru saja mendengar hal paling gila. "Astaga! Laaang! Lu coba deh, sekali-sekali kalau mau berbuat sesuatu, tuh, pikir panjang dulu!" Omelnya, dengan nada lebih keras.
Langit kembali terdiam, matanya menatap cangkir kopi di tangannya, tak berani menjawab.
"Lu lagian ngapain ngajak Malia ke situ?"
"Kemarin gue ngajak dia jalan-jalan seharian. Terus pulangnya mampir ke situ." Langit menjelaskan, suaranya pelan.
Bima kembali menggeleng-gelengkan kepalanya, dahi berkerut dalam. "Lu sekarang harus ninggalin masa lalu. Lu mesti jalan terus ke depan. Jangan tengok-tengok ke belakang lagi. Pakai ngajak Malia lagi!"
"Baru kali ini lagi, Mas..." Langit mencoba membela diri, namun terdengar ragu.
"Belum lama lu nonjok orang di jalanan sampai mental, lu bilangnya baru kali itu." Bima memotong, mengingat insiden lain.
"Kalau itu masalahnya lain. Dia nyerempet motor gue, terus dianya yang ngajak ribut duluan!" Langit menukas cepat, membela tindakannya.
"Terus, waktu lu mau lempar pengunjung kafe dari atas sini?"
"Lah, itu kan, karena dianya bikin onar di sini? Gangguin pelanggan lain."
Bima menghela napas panjang, frustrasi. Ia tak bisa berkata-kata lagi, tahu bahwa argumennya akan sia-sia. "Terus Malianya gimana? Dia pasti syok?" Tanyanya, nada suaranya terdengar khawatir.
Langit mengangguk, tatapannya meredup. "Dia nangis."
"Untung gak sampai mati tuh orang. Bisa habis hidup lu. Mendingan tuh tato lu hapus, deh. Lu bawaannya jadi panas terus! Kalau Pak Bagja sampai tahu bisa-bisa kita diusir dari sini!" Bima melanjutkan omelannya.
Langit tertawa mendengar omelan Bima yang panjang lebar. Mas Bima memang selebay itu. Dia selalu saja mengaitkan sesuatu dengan bisnisnya. "Lu belum cari barista baru, Mas?" Tanyanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Ada beberapa kandidat. Nanti sore gue mau tes dan interview. Lu ke sini aja sebentar untuk tes mereka."
"Cowok?"
"Itu syarat utama dari Malia," tukas Bima, tatapannya menyindir Langit.
Langit hanya tersenyum, pikirannya kembali melayang pada Malia. Tumben gak ada kabar pagi ini? Apa dia masih syok? Tiba-tiba saja hatinya tak tenang, dihantui rasa bersalah. "Gue ke kantor Malia dulu, deh, nengokin dia," ucapnya, lalu beranjak pergi.
Namun ternyata, setibanya di sana, ia mendapati ruang kerja Malia yang masih terkunci.
"Mbak Malia hari ini gak masuk, Mas. Kata Pak Bagja beliau sakit." Seorang wanita berseragam kantor tiba-tiba datang menghampirinya.
"Sakit apa?" Langit mendadak cemas, jantungnya berpacu.
"Pak Bagja tidak bilang sakitnya apa, Mas. Cuma bilang sakit saja."
Langit semakin gusar. Apalagi Malia masih tak menjawab teleponnya. Akhirnya ia pun memutuskan untuk menjenguknya di rumah.
Setibanya di rumah Malia, dengan diantar seorang asisten rumah tangga, Langit langsung menuju kamar gadis itu.
"Hai..." Sapa Langit, memandangi Malia yang tengah berbaring lemas di atas tempat tidurnya, wajahnya pucat.
Malia tersenyum tipis, berusaha menunjukkan ia baik-baik saja.
"Kamu sakit apa?" Langit menyentuh wajah gadis itu, meraba pipinya yang terasa hangat, lalu mengecupnya dengan lembut.
"Cuma masuk angin..." bisik Malia, suaranya sedikit serak.
"Ini pasti gara-gara kemarin, kan?" Langit menatapnya dengan rasa bersalah yang kentara.
Malia menggeleng. "Aku udah mendingan. Udah minum obat. Cuma masih sedikit lemas," ucapnya, mencoba menghilangkan kekhawatiran di wajah Langit.
"Harusnya aku enggak ngajak kamu panas-panasan naik motor," sesal Langit, pandangannya meredup.
Malia kembali tersenyum. "Kan, aku yang mau?" Sahutnya, sambil menarik tubuhnya bersandar di tempat tidur, lalu meminta Langit duduk di sampingnya.
"Tapi kamu jadi sakit..."
"Hei... gak apa-apa. Namanya juga proses untuk mengenal satu sama lain." Malia mencoba menghibur.
"Tapi caraku salah. Aku juga udah bikin kamu ketakutan."
Malia menggeleng. "Kamu gak salah. Itu memang dunia kamu. Aku cuma belum terbiasa. Semalam itu aku cuma takut kamu menghabisi laki-laki itu..." bisiknya, mengingat kembali kengerian semalam.
"Maafin aku..." Langit semakin merasa bersalah. Ada rasa malu yang menyelimutinya. "Sekarang kamu tahu, gak ada yang istimewa dalam hidupku. Enggak ada yang menyenangkan buat kamu."
"Berjanjilah itu untuk yang terakhir kalinya. Kamu enggak akan melakukannya lagi." Malia menatap Langit, memohon.
"Aku akan usahakan." Langit menjawab, sedikit ragu.
Malia tertawa kecil mendengar jawaban Langit. "Kamu pakai ini." Ia lalu melepaskan sebuah gelang dari pergelangan tangannya—sebuah gelang bangle platinum dengan ukiran nama 'Malia' di dalamnya—dan memasangkannya di tangan Langit. "Kalau suatu saat kamu gak bisa menahan amarahmu. Kamu lihat gelang ini. Kamu akan ingat aku," ucapnya, lembut.
Langit menatap gelang itu, senyum tersungging di bibirnya. "Kalau aku kangen, aku juga bisa mengusap gelang ini, dan kamu akan muncul?" Selorohnya.
Malia kembali tertawa. "Janji kamu enggak akan melepasnya," ucapnya.
Langit mengangguk. "Selama kita masih bersama aku enggak akan melepaskannya," ucapnya, tulus. Dipeluknya tubuh Malia, lalu diciumnya rambutnya. "Sekarang kamu harus sembuh dulu. Kamu harus banyak beristirahat. Nanti sore aku ke sini lagi."
"Kamu mau pergi?" Malia memegang tangan Langit, menahannya.
"Kamu gak mau aku pergi?" Langit tak jadi melangkah.
Malia mengangguk.
"Oke." Langit tersenyum. "Tapi sekarang kamu istirahat dulu. Aku akan tunggu di sofa. Kamu bisa panggil aku kalau perlu sesuatu." Langit menyelimuti tubuh Malia, lalu berjalan ke ruangan di depannya. Dan menunggu di sana, memastikan Malia benar-benar beristirahat.
....
Dengan tergesa, Langit berjalan menuju kafe. Ia hampir saja lupa, sore ini Bima memintanya untuk menguji seorang calon barista. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti saat sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya. Langit membaca dengan bingung. Mas Bima memintanya untuk tidak usah datang? Memangnya kenapa?
Terlihat sekali wajah terkejut Bima begitu melihatnya di ambang pintu kafe. Ia masih memegangi ponselnya yang menyala, seolah-olah baru saja akan mengirim pesan lain.
"Udah terlanjur, Mas. Kenapa gak dari tadi?" ujar Langit, bingung.
"Langit?!"
Tiba-tiba sebuah suara yang sangat dikenalnya terdengar dari pintu teras yang terbuka.
Langit terpaku. Jantungnya hampir saja melompat keluar. Ia mematung di tempatnya. Perempuan itu berjalan mendekatinya, perlahan. Dengan senyum yang sangat dikenalnya, senyum yang dulu sering menghantuinya. "Sandra?" Bisiknya, suaranya tercekat.
"Apa kabar?" Sandra menjabat tangan Langit yang gemetar, sentuhan yang terasa asing namun familiar.
"Kamu..." Langit tak bisa melanjutkan, otaknya mendadak kosong.
"Aku ngantar keponakanku untuk interview Barista di sini." Sandra menjelaskan, nada suaranya tenang, seolah tak ada yang aneh.
"Oh!" Hanya itu yang keluar dari mulut Langit. Tenggorokannya terasa tercekat.
"Hmm. Keponakan kamu suruh masuk aja kesini, San. Biar aku mulai interview-nya." Suara Bima memecah kecanggungan di antara keduanya, menyelamatkan Langit dari keterdiaman.
"Oke. Thank you, Mas Bim!" Sandra lalu meminta seorang pria muda yang sedari tadi menunggu di teras untuk mengikuti Bima ke dalam.
Dan kini Langit memandang Sandra dengan salah tingkah. Tapi Sandra terlihat sangat tenang, bahkan cenderung santai, seolah pertemuan itu adalah hal biasa.
"Kamu mau duduk di sana?" Tanya Sandra sambil menunjuk teras belakang kafe yang lebih sepi.
Langit mengangguk tanpa kata. Lidahnya tiba-tiba saja menjadi kelu. Ia tidak bisa berpikir jernih. Tanpa sadar diikutinya langkah Sandra. Lalu duduk di hadapannya dengan bingung, pikirannya masih berkecamuk.
"Gimana kabar kamu?" Sapa Sandra, suaranya membuyarkan lamunan Langit.
"Aku... baik," sahut Langit setelah menghela napasnya, berusaha menguasai diri.
"Kamu kelihatan lebih ganteng sekarang." Sandra tersenyum tipis, pandangannya mengamati Langit.
Ucapan Sandra membuat Langit akhirnya tersenyum kecil, sedikit canggung. "Gimana kabar kamu?" Tanyanya, mencoba membalas keramahan.
"Seperti yang kamu lihat!" Sandra menjawab singkat, gesture tangannya menunjukkan penampilannya yang rapi.
Langit memandangi Sandra kembali. Ia tak banyak berubah. Masih terlihat langsing dan fit seperti biasanya. Ia pasti masih rajin berolahraga. Kulitnya yang kecoklatan dengan wajah yang selalu tersenyum membuatnya semakin memesona. Siapa pun akan senang berada di dekatnya. Hanya sekarang rambutnya dipotong pendek. Membuat penampilannya benar-benar seperti wanita karir. Ia terlihat sangat dewasa dan penuh percaya diri. "Kamu masih cantik," sahut Langit, jujur.
Sandra tertawa, renyah, memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Sesaat Langit tertegun. Ia selalu menyukai tawa Sandra yang lepas, tawa yang dulu begitu akrab di telinganya.
"Aku dengar kamu sudah gak jadi barista lagi di sini?"
Pertanyaan Sandra membuat Langit bertanya-tanya. Dari mana dia tahu?
"Kamu kerja di Bagja Company?"
Langit akhirnya mengangguk.
"Hebat! Belum jadi sarjana sudah bisa masuk perusahaan besar."
Langit menanggapinya dengan senyuman tipis. Ia tak tahu ucapan Sandra itu adalah bentuk pujian atau sindiran. "Kalau kamu?" tanyanya, mengalihkan fokus.
Sandra menunjuk sebuah gedung bertingkat berkaca biru di hadapan mereka, yang menjulang tinggi di kejauhan.
"Jadi selama ini kamu di sana?" Langit tak bisa menutupi rasa terkejutnya. Selama ini mereka begitu dekat, namun tak menyadarinya.
"Sudah satu tahun lebih. Perusahaan kontraktor juga, tapi tidak sebesar Bagja Company."
Langit memandang kembali gedung berwarna biru itu. Itu adalah gedung terdekat yang bisa terlihat jelas dari teras kafe. Dan selama ini ia selalu mengamati orang-orang yang berada di sana, tanpa pernah menyadari jika ternyata Sandra juga berada di sana. "Kok, bisa tahu ada lowongan Barista di sini?" Tanyanya kemudian, mencoba mencerna semua informasi itu.
"Dari IG Cafe Dewa. Aku kan, follow. Tapi aku memang gak bilang sama Mas Bima. Aku cuma kasih tahu keponakanku yang kebetulan lagi cari kerja. Gak nyangka juga terus dipanggil. Ya, sudah aku antar sekalian." Sandra menjelaskan dengan santai.
"Aku pikir kamu masih di Bandung?"
"Cuma sebentar. Hmm, aku dengar sekarang kamu lagi dekat dengan Malia Subagja?"
Pertanyaan itu mengagetkan Langit. Meski sebenarnya ia tak merasa aneh jika Sandra mengetahuinya, tapi entah mengapa ia merasa ada sesuatu di balik pertanyaan itu. Sebuah nada tersembunyi.
"Pasti kamu sangat mencintainya." Sandra melanjutkan, suaranya datar, tanpa emosi yang terlihat.
Ah, benar saja! "Kamu kok, bisa tahu?" Langit sengaja membuatnya cemburu, ingin melihat reaksinya.
"Kamu pakai gelang perempuan. Itu pasti punya dia." Sandra menunjuk gelang Malia di pergelangan tangan Langit, matanya tajam.
"Oh!" Langit tersenyum, lalu dengan sengaja diusap-usapnya gelang itu, membuat Sandra akhirnya mengalihkan perhatiannya, sorot matanya sedikit berubah.
"Aku ikut senang sekarang kamu sudah membuka diri," ujar Sandra dengan suara yang datar, namun Langit bisa merasakan ada sesuatu yang tersimpan di baliknya.
"Aku mencoba lagi." Langit menjawab singkat.
"Aku harap dia lebih beruntung dari aku."
Langit tersenyum dingin. "Bukannya kamu yang ninggalin aku dulu?" Sindirnya.
Sandra terdiam, senyumnya memudar. Enggan untuk menjawab. Dipandanginya langit sore yang tiba-tiba saja mendung, seolah suasana hatinya ikut berubah. "Aku pangling dengan kafe ini. Jadi lebih cantik. Dulu aku ingat sering menemani kamu di sini sepulang kuliah," ucapnya, mencoba mengalihkan pembicaraan, seolah ingin mengingatkan Langit pada kenangan indah mereka dulu.
Tapi Langit hanya terdiam. Ia tak mau mengingat apa pun tentangnya. Ia sudah lama menguburnya dalam-dalam. Dan kali ini pun ia berharap bahwa ini adalah pertemuan terakhir mereka. Ia tak ingin lagi melihatnya, tak ingin lagi masa lalu itu mengusik kehidupannya yang sekarang.
Suara pintu yang terbuka seolah mengabulkan doa Langit. Dilihatnya Bima masuk dengan pria muda itu, interview sepertinya sudah selesai.
"Sudah selesai, Mas?" Tanya Sandra, menegakkan punggungnya.
"Sudah. Nanti tinggal tunggu kabar aja. Soalnya masih ada kandidat lain juga."
"Oh. Oke! Makasih banyak, Mas Bim." Sandra beranjak dari duduknya. Lalu berjalan menuju pintu. Tapi sesaat kemudian ia berhenti dan kembali menatap Langit. "Nomorku masih sama," ucapnya, dengan nada yang menggantung di udara, sebelum kemudian menghilang di balik pintu, meninggalkan aroma parfum yang samar.
Bima dan Langit saling berpandangan dengan raut wajah yang sama-sama kebingungan, tercengang oleh kata-kata terakhir Sandra.