5. Akar Semua Bermula

1172 Words
Beberapa Minggu Lalu... “Pak, saya bisa memanggil rombongan pengawalan kalau sekiranya Bapak ingin cepat sampai dan beristirahat.” Alvar menoleh ke kursi belakang, menghadap langsung pria penting yang duduk dalam satu mobil dengannya di sana. Pria itu tersenyum tipis, senyum ramah yang selalu terlihat menghiasi wajah beliau—wajah sang Presiden. “Tidak perlu, Alvar... Saya baik-baik saja. Kita sedang tidak terburu-buru, jadi tidak perlu memanggil rombongan pengawalan untuk melewati kemacetan ini.” Pria yang duduk di kursi belakang itu menatap ajudannya yang duduk di depan, tepat di samping pengemudi mobil berplat merah itu. “Saya sudah sering mendapatkan semua kemudahan dengan adanya pengawalan, jadi bukan masalah merasakan hal semacam ini sesekali. Hujan dan macet, masalah yang selalu tidak bisa dihindari oleh orang-orang di luar sana, kan?” Dengan ujung matanya Alvar melihat Adam menoleh keluar jendela mobil, mungkin mengamati deretan mobil yang ada di sekitar mereka. Alvar sendiri melihat beberapa orang sedang berteduh di berbagai tempat di emperan toko yang sudah tutup. “Ah…” kata Adam tiba-tiba, seperti teringat sesuatu dan ingin mengatakannya. Alvar menoleh sedikit ke jendela, dan dia mendapati seorang ayah sedang melindungi putrinya dari cipratan hujan; keduanya sedang berteduh di sebuah emperan toko. Alvar menduga, sang presiden sedang teringat pada putrinya yang sedang berada jauh di belahan benua sana. “Alvar,” panggil Adam. Alvar menoleh ke sang presiden. “Siap, Pak.” “Setahu saya, kamu masih sendiri. Benar, kan?” Alvar terdiam sejenak, sebelum kembali memasang posisi siaga dan menjawab dengan suara tegasnya, “Siap. Benar, Pak. Saya masih sendiri.” “Kekasih juga belum punya?” “Eh? Ah, maksud saya. Siap. Belum juga, Pak.” Adam tersenyum tipis. Tampaknya dia menyadari bahwa Alvar kurang nyaman dengan hal yang dia tanyakan. “Ada seseorang yang sedang kamu sukai?” Kening Alvar mulai berkerut, meski versinya jelas lebih minim dibanding orang lain pada umumnya. Dari kacamata siapa pun, kerutan itu mungkin tidak terlihat, karena yang jelas nampak hanya ekspresi datarnya seperti biasa. “S-siap. T-tidak ada, Pak.” “Hhm... Kalau begitu—apa kamu berkenan saya jodohkan dengan putri saya?” “E-EH?” Alvar buru-buru menunduk, membungkuk sebisanya dalam posisi duduknya yang seperti itu, menggumamkan maaf pada sang Presiden beberapa kali karena sudah menaikan nada suaranya di depan beliau. Tapi bagaimana pun itu pertama kalinya sang presiden menanyakan hal itu kepada Alvar, yang tentu saja membuat Alvar terkaget bukan main. Dia bahkan menganggap semua itu hanya gurauan beliau belaka. Lagi pula... Kenapa Beliau tiba-tiba menanyakan itu padanya? Apa alasannya? Apa dasarnya? Dan... kenapa dirinya? *** “Semuanya siaga. Bapak sebentar lagi akan keluar dari ruangan pertemuan,” Alvar memberi perintah melalui earpiece yang terpasang di telinganya. Balasan “roger” bisa Alvar dengar dari sana, membuat beberapa pengawal yang berjaga di setiap sudut gedung memasang posisi siaga sesuai protokol yang berlaku. Alvar yang berada di dalam ruangan langsung mengambil langkah pertama begitu Adam berdiri dari kursinya bersama beberapa menteri yang bertugas, menyalami delegasi-delegasi yang datang bertamu. “Alvar, kamu satu mobil lagi dengan saya, ya,” ucap Adam ketika dia berpapasan dengan Alvar yang sedari tadi menunggu di pintu keluar. Alvar terkejut, karena seharusnya posisi itu jelas diisi oleh ajudan yang berpangkat lebih tinggi darinya. Memang ini bukan kali pertama Alvar mendapati sang presiden memintanya seperti itu, tapi tetap saja dia belum terbiasa. Belum sempat Alvar menjawab, Adam sudah lebih dulu berlalu, mengantar beberapa delegasi dari negara lain itu untuk meninggalkan istana lebih dulu. Umumnya, istana utama adalah tempat utama bagi sang presiden untuk bekerja, dan di sana jelas ada kediaman yang bisa dia tempati dengan segala fasilitasnya. Tetapi sejak dia menjabat sebagai presiden, Adam lebih menyukai tinggal di istana lain yang tidak jauh dari Ibukota. Alvar tahu, alasan di balik pilihan tak biasa sang presiden adalah karena di istana yang lain itu dia bisa merasa lebih tenang. Istana alternatif ini letaknya di pinggiran kota, dengan udara yang sejuk dan lebih terasa dekat dengan alam. Bagi Adam dan keluarganya, Alvar paham, tempat seperti itu sangatlah cocok. Dan Alvar pun paham, dalam perjalanan dari ibukota menuju istana alternatif itu Adam kerap menggunakan waktunya untuk mengobrol dengan ajudan-ajudan yang ikut bersamanya di satu mobil, berusaha mengenal ajudan-ajudannya itu lebih dekat. Alvar tentu termasuk salah satunya. Alvar adalah sesosok lelaki yang tampan dan tegas, dan di beberapa kesempatan dia menjadi sorotan karena prestasinya, baik itu ketika dia masih di bagian pengamanan Angkatan Darat maupun ketika dia sudah dipindahkan ke jajaran pengamanan khusus Presiden. Dan Alvar tahu, satu hal yang dipertanyakan orang-orang tentangnya adalah kenapa dia belum juga menikah. “Bagaimana hari ini? Kamu lelah?” Tanya Adam ketika mereka sudah berada di dalam mobil dan bersiap melaju ke istana alternatif. Alvar sedikit grogi. Dia baru saja duduk dan memasang sabuk pengaman. “Siap. Tidak, Pak.” Adam tersenyum. “Tidak usah formal begitu. Saat ini hanya ada saya, kamu, dan Pak Najim. Jadi, tidak masalah untuk tidak bicara dalam posisi siaga seperti itu,” jelas Adam. Sialnya, apa yang dikatakannya ini justru mempersulit Alvar. Bagaimanapun posisi Alvar saat ini adalah berhadapan dengan seorang kepala negara. Jangankan kepada beliau, kepada atasannya di batalion saja Alvar tetap harus menggunakan bahasa formal dan siaga ketika dia tiba-tiba dipanggil di malam hari. Baginya itu sudah sebuah kebiasaan, seperti telah mendarah-daging di dalam dirinya. “Belajarlah untuk melakukannya, Alvar. Saya dengar dari yang lain, kamu memang selalu kaku seperti ini, ya.” “Siap. Maaf, Pak.” Adam terkekeh. “Saya sudah bilang, tidak perlu seperti itu.” “Si—maksud saya... Maaf, Pak.” “Nah, begitu. Kan terdengar lebih baik,” timpal Adam, terdengar puas. Hening kemudian mengisi mobil yang masih melaju di tengah keramaian Ibukota itu. Diiringi pengawalan di depan, belakang, kanan, dan kiri, mobil yang membawa orang nomor satu di negeri itu melaju dengan lancar tanpa hambatan. “Bagaimana? Kamu sudah mempertimbangkan tawaran saya, Alvar?” “Eh?” Alvar mengubah posisi duduknya menjadi sedikit menyamping karena dia berusaha menghadap sang pemimpin negara. “Duduklah dengan nyaman, Alvar. Kamu tidak perlu menoleh pada saya seperti itu. Cukup jawab saja pertanyaan saya. Saya masih bisa mendengar dengan baik kok dengan posisi dudukmu yang tadi.” Alvar yang masih menatap atasan tertingginya itu kemudian menunduk. Lantas, dia mengangguk pelan, mengubah posisi duduknya kembali ke sikap sempurna. “Jadi, bagaimana? Kamu menerima tawaran saya?” “I-itu... Saya pikir waktu itu Bapak bercanda.” “Bercanda?” Kekehan Adam terdengar renyah, seperti membelah keheningan malam di jalanan. “Apa menurutmu menawarkan putriku untuk berjodoh denganmu itu adalah sebuah candaan?” tanya Adam kemudian. Alvar menoleh panik. Dia baru sadar telah mengatakan sesuatu yang tidak pantas. Pasti dia sudah gila karena mengatakan hal macam itu, sampai-sampai atasan tertingginya itu berpikir demikian. “E-eh, tidak! Bukan seperti itu maksud saya, Pak. Saya tidak bermaksud menganggap begitu. Hanya... hanya saja… saya pikir… itu hal yang mustahil bagi saya. Itulah kenapa saya pikir ucapan Bapak tempo hari itu hanya keisengan sambil lalu.” “Ah, sial. Kenapa kalau sudah berbicara mengenai hal-hal semacam ini kata-kataku justru kacau!” Umpat Alvar dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD