Rei dalam perjalanan pulang sebelum masuk ke dalam rumah ia memarkirkan motornya di parkiran kost. Ziel dan Uca turun dari motor, setelahnya keduanya berjalan menjauh lalu Ziel merangkul sang adik sambil memerhatikan sang mami. Kini Rei menatap Ziel tegas, sambil memarkirkan motornya dengan aman.
"Kakak masuk ke rumah," ucap Rei lalu memberikan kunci kamar pada Ziel.
"Iya Mi," ucap Ziel pasrah. Ia lalu berjalan ke atas bersama Uca. Langkah keduanya belum jauh ketika sang ibu memanggilnya.
"Uca di sini, main dulu sama Tante Cinta."Rei mengatakan itu sambil menggandeng tangan anak perempuannya.
Ziel berjalan ke kamar dengan pasrah kali ini ia pasti akan dimarahi sang mami. Sementara Rei membawa Uca menuju warung milik cinta juga membawa tas milik anak perempuannya. Di sana ia melihat Arin dan Cinta yang tengah bermain dengan Cia.
"Udah balik lo Mak?" tanya Arin dijawab anggukan oleh Rei.
"Nitip Uca sebentar, gue mau ngomong sama Ziel." Rei menyempatkan diri menggendong Cia yang mengecap dan mengatakan kalau ia ingin menyusu pada sang ibu. "Nanti ya Nak, mami ke Kak Ziel dulu." Rei kemudian mengembalikan Cia pada Cinta.
"Jangan terlalu keras Mak sama Ziel kesian dia." Arin mengingatkan sambil sibuk menciumi pipi Uca.
"Iya, tenang aja. Pokoknya gue nitip anak-anak dulu ya." Rei meminta tolong kemudian berjalan meninggalkan warung cinta.
Rei berjalan menuju kamar kostnya. Wanita itu berjalan dengan cepat. Ia ingin berbicara pada si sulung bertanya tentang apa yang terjadi sebenarnya hari ini. Rei tau Ziel bukan anak yang nakal dan suka membuat keributan. Dulu sekolah Ziel memang sedikit berbeda karena menjadi pilihan Rei sekolah terbaik yang para siswanya memang saling bersaing untuk memperebutkan nilai.
Rei masuk ke dalam rumah, kini melihat Ziel yang telah berganti pakaian, sepatu dan seragam milik si sulung juga telah dirapikan dengan baik oleh anak itu. Ziel duduk di tempat tidur tak melakukan apapun hanya menunggu sang mami. Rei duduk di samping Ziel dan kini si sulung duduk tegak di samping sang mami.
"Sekarang Kakak jelasin ke mami semuanya. Kenapa hari ini sampai ada keributan gini."
"Mami percaya kalau Ziel ngomong semua?"
Rei menatap anak laki-lakinya, Rei tau Ziel takut padanya, tapi Rei percaya kalau si sulung tak akan membohonginya. "Mami masih percaya kalau Kakak Ziel enggak akan bohongin mami."
"Arsyad mau nyontek tugas. Ziel ingat mami always says kalau we need to learn to know something, right?"
"Iya mami ingat."
Ziel hela napas sebelum kembali menceritakan apa yang terjadi pada sang mami. "Arsyad mau contek PR aku, aku enggak kasih. Ziel tawarin dia buat belajar. Ziel ajarin semua kalau dia mau, tapi dia tolak. Arsyad bilang dia mau lihat dulu, nanti dia belajar. Tapi Ziel tolak dan dia marah. Ziel bilang dia bodoh. Mami bilang Orang pintar itu mereka yang mau belajar, so? Arsyad enggak mau belajar jadi Ziel bilang dia bodoh."
Rei hela napas, ia jelas mengetahui persaingan di sekolah Ziel saat ini berbeda, lingkungan sekolah si sulung juga berbeda. Di sekolah swasta Ziel dulu tak banyak yang berani mencontek, semua selalu bersaing, mencontek sama dengan menghancurkan reputasi siswa tersebut. Mereka lebih baik membuat kelompok belajar.
"Tapi Ziel enggak bisa asal judge orang bodoh gitu. Sekolah Ziel sekarang itu beda, lingkungan temen-temen Ziel tinggal juga beda. Ziel juga udah beda sekarang. Mami enggak ada kekuatan buat melindungi Ziel lebih baik. Mami enggak punya apa-apa sekarang, yang mami punya cuma Ziel dan adik-adik. So, mami harus ngapain? harus gimana kalau Ziel di keluarin dari sekolah?" Rei bertanya cemas.
"Just stop and enough." Ziel jawab enteng.
"No! Ziel harus sekolah, kenapa kamu merasa stop sekolah itu biasa aja? Ziel harus pinter, jadi sarjana. Bukan buat mami, tapi buat Ziel sendiri. Ketika Ziel sudah sukses nanti, mami enggak akan meminta Ziel untuk membahagiakan mami. Mami tau semua yang terjadi sama Ziel nanti itu atas usaha Ziel sendiri. Dan mami enggak akan menuntut apapun selain Ziel harus bisa memenuhi kebutuhan Ziel sendiri."
"I will," sahut si sulung.
"Apa?"
"Membahagiakan mami lah, apalagi." si sulung buka suara buat air mata Rei menetes.
Dalam hati wanita itu ia selalu memikirkan agar ketiga anaknya tumbuh menjadi orang sukses yang bisa membahagiakan dan memenuhi kehidupan mereka kelak. Ia tak perlu dibahagiakan karena merasa tak bisa memberikan yang terbaik untuk ketiganya sampai saat ini. Maka ketika mendengar kata-kata Ziel yang akan membahagiakannya kelak, membuat perasaannya menghangat membawa air matanya menetes karena begitu haru dan mengaminkan dalam hati.
***
Agus kali ini di depan rumahnya, rumah sederhana yang ia beli dengan mencicil dari tabungan miliknya dan sedikit lagi akan lunas.Rumah itu memang ia persiapkan jika ia menikah dengan Mira kekasihnya kelak. Hubungan Agus dengan Mira sedikit rumit, kekasihnya itu gadis yang cukup berada sementara dirinya hanyalah seorang guru yang jelas penghasilannya tak bisa dibandingkan dengan kekasihnya yang kini menjadi pemilik AmorLuv Beauty sebuah perusahaan yang bergerak dibidang kecantikan mempunyai salon dan klinik kecantikan di berbagai tempat di seluruh Indonesia. Bukan hanya itu ayah Mira juga seorang pebisnis yang kini berkecimpung juga dibidang politik.
Bertemu Mira sebagai teman dari Jimmy yang merupakan teman kuliahnya meski akhirnya Jimmy kini memilih bekerja sebagai karyawan Bank. Jimmy juga yang meminta agar Agus membantunya untuk memasukan Ziel ke sekolah tempat ia mengajar karena anak itu adalah anak dari teman kekasihnya.
Saat itu Jimmy datang berjalan menghampiri Agus yang kini duduk melamun di teras rumahnya. Jimmy tinggal tepat di sebelah rumah Agus ia keduanya mengambil kredit di tempat yang sama dan kini menjadi tetangga. Jimmy duduk di sebelah Agus melirik sahabatnya yang masih saja terdiam.
"Kok bengong lo?" tanya Jimmy penasaran.
Agus menoleh pada Jimmy, "Anak yang lo masukin ke sekolah gue itu anaknya siapa?"
"Anaknya temen cewek baru gue. Kesian Gus, hidupnya Mama Ziel tuh makanya gue bantuin dia, terus minta tolong sama lo. Anaknya nakal emang? Soalnya setau gue si Ziel itu agak anak-anak Jaksel gitu ngomongnya. Agak beda culture sama kita anak-anak timur."
"Anaknya pinter sih enggak ada masalah. hm, itu lo bilang hidupnya kesian, kesian gimana?"
Jimmy mulai antusias ia menatap Agus Yang kini hidupnya berada di sampingnya. "Rei itu tadinya cukup, dia kan dicerai sama suami pertamanya waktu si Ziel setahun, tapi dicukupi semua mobil, uang, rumah. Sampai dia ketemu sama brondong kayaknya lebih muda tiga tahun gitu. terus semua harta bendanya dihabisin sama si laki-laki. Yang paling parah rumah Rei di jual dan sekarang dia hidup buka cuma pas-pasan tapi kurang kalau menurut gue. Waktu mau dicerai dia cuma dikasih delapan juta dari uang jual rumah. Padahal dua anak perempuannya itu anak dari suami kedua ini. Bulan lalu malah si Uca sakit sampai dirawat, karena dehidrasi nggak mau makan. Dari kecil Uca yang paling lemah, kesian lagi si Uca sering dibawa ngojek."
"Ngojek?" tanya Agus tak percaya.
"Iya, gue tadinya nawarin dia kerja di resto. Cuma anaknya enggak ada yang jaga. Kalau sebentar-sebentar dia bisa minta tolong si Cinta atau cewek gue sebelum kerja. Cuma dia enggak bisa ninggalin anaknya lama-lama. Apalagi si Cia masih dua tahun. Ya, gitu Gus, dia ngojek bisa sampe malam juga dia ambil karena malam anak dia tidur," jelas Jimmy yang juga sebenarnya iba pada Rei.
"Dia kan bisa jual makanan gitu."
"Enggak boleh ada kompor di dalam kost, kalau mau masak di bawah atau kompor listrik. Lagian kost itu cuma dua petak kamar dan sepetak toilet. Bayangin enggak lo, gimana panasnya itu ruangan kalau Rei masak juga?"
Agus terdiam, ada rasa iba dalam dirinya hanya saja ia juga tak bisa berbuat apa-apa. Sedikit terkejut gadis yang dulu buat hatinya hancur dan patah kini hidupnya hancur dan berantakan. Apa ini yang disebut karma?