Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, kawasan perkampungan tempat Rei tinggal sudah mulai sepi. Kini wanita itu duduk di depan warung milik sahabatnya, sambil menunggu pesanan makanan atau ojek seraya menggendong si bungsu, Cia. Rei terpaksa menunggu di luar kost karena beberapa bulan lalu mendapatkan teguran. Ia mondar-mandir menerima pesanan ojek dan harus berkali-kali membuka dan menutup pagar. Madam Rose pemilik kost merasa apa yag dilakukan wanita itu mengganggu, juga ia mendapat keluhan dari beberapa penghuni kost yang terganggu dengan suara pagar.
Rei menyusui Cia sembari menutup sebagian tubuhnya dengan jarik tua miliknya pemberian neneknya dulu. Orang tua Rei tinggal di Solo, tak mengetahui bagaimana keadaan sang puteri sebenarnya. Mereka kecewa pada sulung dari dua bersaudara itu. Rei hamil bahkan sebelum menikah, hubungannya dengan Deff berjalan terlalu jauh. Sampai akhirnya keduanya memutuskan menikah, orang tua Rei hanya datang seperlunya di acara pernikahan putri sulungnya.
Meski tanpa restu dari kedua orang tuanya, ia jalani hari yang begitu manis dan indah bersama Deff. Keluarga Deff adalah keluarga berada hingga semua kebutuhan mereka berdua terpenuhi dengan baik. Sampai suatu hari Deff menceraikan Rei begitu tiba-tiba dan tanpa alasan. Tentu Rei hancur apalagi saat itu Ziel masih kecil sekali. Keduanya akhirnya bercerai, tapi Deff penuhi semua yang Rei butuhkan bersama buah hatinya rumah, mobil, asuransi dan tabungan yang pada akhirnya habis digunakan oleh Danish untuk memenuhi kebutuhan Dwi, selingkuhannya.
"Cia udah tidur Kak?" tanya Cinta sabuk berjalan mendekat kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan Rei.
Rei membuka jarik yang menutupi Cia, melihat anak bungsunya yang kini memejamkan mata masih terus menyusu. "Udah, cuma masih nen. Nanti kalau gue ada orderan gue titip dulu ya."
"Oke kak," Cinta kemudian duduk di samping Rei. "Tadi lo marahin Ziel kak?"
"Maunya marah, tapi enggak ada alasan buat marah. Mereka cuma beda paham aja."
"Iya lho, gue mikir enggak mungkin si Ziel nakal. Dia itu dewasa banget sama Uca sama Cia aja sayang banget juga." Cinta katakan itu karena melihat sendiri bagaimana dewasanya Ziel dan terlihat pendiam. Sepertinya, tak mungkin jika Ziel melakukan kenakalan.
Rei hela napas, ingin menruntuki nasib atas ketidakmampuannya memenuhi hidupnya kini, yang akhirnya membuat ketiga anaknya hidup dalam kekurangan. "Cin, lo tau kan dulu Ziel umur setahun aja udah ngoceh. Lo liat Cia deh, udah dua tahun dia masih ngoceh enggak jelas, gue ngerasa ini salah gue deh karena kurang kasih makanan sehat, vitamin kaya Ziel dan Uca dulu."
Cinta menatap Rei yang terlihat sedih karena berpikir kalau perkembangan anaknya lambat. Para tetangga juga sering bertanya padanya mengapa Cia belum juga bisa berbicara diusianya yang sudah dua tahun. Cinta yang bukan ibu dari Cia juga kadang merasa geram dan kesal karena sering kali gadis kecil itu dibandingkan dengan anak lain yang memang lebih ceriwis.
"Sabar Kak, namanya anak-anak kan perkembangannya beda-beda. Enggak bisa lo samain Cia sama yang lain. Gue kalau jagain Cia juga gue ajak ngomong terus dia bisa kok dikit-dikit ngikutin meski belum jelas. Lo jangan gitu," ucap Cinta coba buat Rei lebih kuat.
"Iya sih, emang pertumbuhan anak itu beda-beda. Cuma fakta kalau gue kurang kasih makanan dengan gizi yang baik. Ziel sama Uca umur dua tahun enggak ada yang gue kasih makanan instan nugget, sosis, semua gue masak sendiri, semua gue pilih yang terbaik." Rei terhenti kemudian merapikan pakaiannya, sambil menatap si bungsu yang tertidur. "Sementara Cia dapat ampasnya aja. Sialan emang si Danish, dia bahkan enggak kasih jatah bulanan buat anak-anaknya. Gue juga enggak tau ASI gue bagus atau enggak yang gue makan cuma nasi tempe, mi instan yang paling sering."
"Nanti juga Cia akan ngomong kok Kak. Gue sama Arin di sini juga ngajak dia ngomong terus. Lo jangan pesimis lah, oke?" Cinta menyemangati.
Saat itu ponsel Rei berbunyi, buat ia tersenyum. "Gue titip Cia ya Cin," ucap Rei sambil menggendong Cia membawa anak itu ke dalam toko serba ada milik Cinta. Ada sebuah kasur lipat kecil di sana tempat yang digunakan Cinta juga jika ingin rehat sejenak.
Cinta mengikuti dari belakang, "Iya kak, lo rebahin aja Cia. nanti bentar lagi gue balik ke kost, lo jemput di sana ya."
"Oke, makasih ya."
***
Sementara di sebuah rumah dengan desain minimalis dan cukup mewah kini Danish bersama Dwi kekasihnya. Keduanya tengah duduk di taman belakang. Rumah itu dibuat dari uang hasil tabungan Rei, juga semua furniture yang berada di dalam rumah tersebut. Tak ada satupun dari hasil keringat Danish. Selama bersama Rei Danish memang bekerja, tapi ia tak mengeluarkan uang sepeserpun. ia hidup enak dengan menumpang dan menikmati tabungan yang terus mengalir dari mantan suami Rei yang pertama. bahkan sampai saat ini masih begitu saja. Karena tabungan Rei, Danish yang menyimpan. Hidup keduanya begitu nikmat hasil menipu orang lain.
"Ibu aku udah tanya kapan kita nikah?" tanya pria itu pada wanitanya yang kini duduk sambil menatap ke tanaman bunga yang ia tanam.
"Ya, kamu kasih tau ibu kalau aku masih harus kerja bolak-balik Bandung jakarta. Mungkin tahun depan." Dwi kini tak lagi bekerja, ia memiliki usaha butik kecil-kecilan. Rumah konveksinya berada di Bandung buat wanita itu sering bolak-balik Bandung dan jakarta.
"Ibu aku pingin cucu."
dwi tertawa kecil. "kamu kan ada anak dua di Rei. Bawa aja mereka dulu ke ibu."
Danish mendengkus lalu berdecak sedikit kesal dengan jawaban Dwi. "Ya, kalau ada kamu ngapain aku butuh Uca sama Cia sih."
Seolah tak ada rasa kasih dan sayang Danish katakan itu pada Dwi. Yang tersenyum dengan penuh kemenangan merasa berhasil mendapatkan laki-laki yang berada di sampingnya saat ini. sebelumnya Danish begitu perhatian pada Uca dan Cia sebelum bertemu dengan Dwi rekan kerjanya yang akhirnya menjadi kekasihnya.
"Mereka kan anak kamu," kata Dwi menekankan.
"Kalau aku nyamperin Cia sama Uca, Rei pasti minta uang ke aku."
"Ya kamu kasih lah berapa, jangan pelit-pelit banget lah."
Danish memeluk wanita yang duduk di sampingnya, merangkul sekaligus tangannya dengan liar menggapai dan menggerayangi tubuh wanita itu. "Mending buat kamu belanja kan?"
"Hmm. sesekali aku ngalah buat mereka lah."
"Kamu emang baik banget sayang."
Keduanya saling peluk dan kecup, seolah dunia milik berdua. Dwi benar-benar pandai memainkan kata-kata manis memikat Danish yang saat itu adalah bawahannya karena merasa laki-laki itu tampan dan jadi kriterianya. Dwi pandai berkata-kata dan beri perhatian lebih. Sementara Rei sibuk dengan anak-anak dan rumah. Tubuhnya menjadi gemuk setelah melahirkan Uca dan ia menjadi tak menarik lagi di mata sang suami. Rei juga berbeda dengan Dwi, ia lebih suka berkata apa adanya, mengkritik jika diperlukan dan itu yang cinta Danish luntur dan akhirnya memilih meninggalkan Rei. Atau memang tak ada cinta dari awal di hati Danish?