Uca Sakit

1167 Words
"Mami," panggil Uca lirih dengan napas tersengal. "Hmm?" Rei perlahan terbangun menatap Uca yang kini duduk di samping Cia. Rei dan kekempat anaknya tidur di satu tempat tidur. Ziel berada di pojok dekat dengan dinding, di sebelahnya Uca, kemudian Cia dan Rei yang berada di pinggir ia rebah di karpet karet sementara ketiga anaknya tertidur di kasur busa yang memang telah ada di kost saat ia sewa. Ada lemari, juga kipas angin kecil yang menjadi fasilitas dari kost yang ia tinggali itu. Bagi Rei itu sudah sangat membantunya karena ia tak perlu mengeluarkan uang lebih untuk membeli semua itu. "Uca sesak napas," ucap Uca buat Rei segera bangkit dan berjalan mengambil inhaler milik buah hatinya. Rei kemudian kembali medekati Uca menggendong gadis kecil itu dan memangkunya di karpet tempat ia tertidur. Setelahnya ia meminta Uca untuk membuka mulutnya karena ia akan menyemprotkan obat dari inhaler yang ia pegang. Gadis kecil itu mengangguk, lalu membiarkan sang mami mengobati dirinya seperti biasa. Rei memegang kening buah hatinya yang demam. Ia merasa ini salahnya karena terakhir kali ia mengajak Uca memenuhi orderan ojek saat itu tiba-tiba gerimis dan ia lupa memakaikan jaket tebal. Kini gadis kecil itu memeluk sang mami dengan napas yang masih tersengal. "Uca mau s**u?" tawar Rei. Si kecil menggeleng dan memeluk sang mami semakin kuat. "Uca mau mami." "Oke, peluk mami ya." "Mami, Uca kangen Papa. Papa belum pulang?" tanya Uca sambil menyembunyikan wajahnya di balik tubuh sang mami. "Hmm, papa kerja sayang. Besok mami tanya ya, kapan papa pulang, oke? Uca mau nen?" Uca mengangguk, saat sakit terkadang ia masih membiarkan Uca untuk menyusu padanya. sementara Rei terus menepuk-nepuk b****g Cia yang mulai bergerak. Rei takut jika Cia terbangun saat seperti ini. Rei terus menepuk b****g si bungsu sambil memangku, menyusui dan memeluk Uca dengan tangannya yang lain. Sesekali hela napas karena dadanya yang selalu saja merasakan sakit saat Uca bertanya di mana sang papa. Sama seperti saat dulu Ziel bertanya di mana papi? Hanya saja situasinya lebih baik saat itu. Ia punya segalanya untuk memenuhi kebutuhan Ziel, Rei bisa menghibur Ziel dengan mengajak si sulung berjalan-jalan atau membelikan sesuatu yang Ziel sukai. Kali ini ia tak punya apapun untuk Uca. Bahkan dirinya harus menabung dan menyisihkan uang untuk membeli inhaler seharga seratus lima puluh ribu rupiah. Terdengar ringan untuknya dulu, tapi kini begitu berat rasanya. Ia harus pintar membagi pemasukannya untuk banyak kebutuhan. Bahkan ia mengganti s**u anak-anaknya ke merk paling murah, Ziel bahkan hanya minum SKM sebelumnya dan kini Ziel tak mau lagi, terlalu manis katanya. Hanya itu yang bisa ia usahakan untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Ia benar-benar berusaha yang terbaik. Rei menimang Uca, membiarkan si cantik itu rebah di pangkuannya. Sambil menatap si kecil yang terlelap dengan wajah merah akibat demam, kening yang bertaut. Rei mengusap kening Uca lembut. "Mikir apa sih Nak?" gumamnya lirih. "Jangan mikir apa-apa, hmm? Biar mami yang mikirin semua buat Uca, Cia sama kakak." Hatinya sakit sekali memikirkan nasib anak-anaknya kini. Yang ia lakukan kini hanyalah melakukan yang terbaik yang bisa ia lakukan untuk bisa memenuhi kebutuhan ketiga anaknya. Uca rebah di samping Rei kini, sementara Rei berganti menyusui Cia sambil menyantap biskuit dan meneguk s**u kental manis cokelat yang diberikan Cinta dan Arin. Sesekali kedua sahabatnya itu memberikan makanan ringan untuk ia nikmati karena mereka tau kalau Rei tak memiliki apapun untuk di santap saat malam hari. Apalagi perempuan itu harus menyusui. "Mimi," sapaan Cia buat ia tersenyum tangan si bungsu menyentuh bibirnya. Rei kecupi tangan si bungsu, itu buat Cia tertawa. Tawa ketiga anak itu selalu menjadi obat untuk hatinya yang sering kali merasa ingin menyerah saja. "Bangunin kakak sana, Kak Ziel bangun sekolah." Rei mengatakan itu pada Cia yang kini segera berjalan cepat menuju Ziel dan memeluk sang kakak. "Ciel, Ciel anun." "Kakak sayang, kak Ziel." Rei mengkoreksi saat Cia memanggil Ziel tanpa sebutan kakak. "Ka Ciel, anun." ucap Cia menggemaskan dengan suaranya yang nyaring. Ziel terbangun dan segera memeluk dan tersenyum pada sang adik. "Cia bangunin kakak?" tanya Ziel kemudian melirik pada Uca yang tertidur dengan selimut tebal. "Uca sakit Mi?" Rei mengangguk, "Ziel mandi dulu ya, mami cariin sarapan. Mami enggak bisa masak, nasi uduk mau?" Ziel bangun kemudian membuka magic jar yang berada tak jauh darinya. Semalam Rei tak memasak nasi karena mereka kehabisan beras. Sementara Rei telah bangkit kemudian merapikan pakaian Cia. "Kakak mandi dulu sana, sambil dengerin kalau Uca bangun. Mami minta tolong adiknya kasih inhalernya kalau sesak ya?" Rei berpesan sambil memakaikan Cia sandal. "Iya Mi," sahut Ziel cepat. Rei segera berjalan ke luar rumah untuk membeli sarapan untuk dirinya dan anak-anak. Sebenarnya lebih baik jika ia memasak nasi semalam. Ia bisa lebih sedikit mengeluarkan uang karena hany perlu membeli gorengan dan sambal untuk menemani sarapan. Ia benar-benar harus menekan pengeluaran karena membiayai sekolah Ziel yang bahkan belum ia lunasi uang pangkalnya. *** Pagi ini Agus telah mempersiapkan diri untuk segera berangkat mengajar, saat itu ponselnya berdering mendapati panggilan dari sang kekasih, Mira. "Assalamuallaikum?" sapa Pak Guru Agus. "Hmm, waalaikumsalam Mas." "Iya? Kenapa tumben kamu telepon aku pagi gini?" tanya Agus sambil menikmati teh manis hangat yang ia buat. "Aku mau ajak kamu lusa buat ke Bogor, papa aku ulang tahun." "Kok kamu baru bilang sekarang? Kamu 'kan tau aku ngajar Mir?" "Kamu bisa ijin sih Mas." Mira terdengar kesal karena apa yang dikatakan Agus terdengar seperti sebuah penolakan. "Hmm, aku udah sering ijin lho. Dua minggu lalu juga aku baru ijin karena kamu ajak aku buat pembukaan salon kecantikan kamu yang baru." "Iya, tapi ini kan beda, ini papa aku lho yang ulang tahun Mas." Mira sedikit merajuk berharap sang kekasih mengalah lagi. "Aku tau ini ultah papa kamu. Seharusnya, kamu enggak dadakan gitu kabarin aku. Aku enggak enak sama guru-guru lain." Mira terdengar menghela napas kasar. Ia kesal karena apa yang dikatakan sang kekasih. "Kamu kan udah aku ajak cari kerjaan lain, tapi kamu malah kekeh jadi guru dengan gaji enggak seberapa dan tekanan kerja yang berat. Hidup itu yang pasti aja deh Mas, kalau bisa lebih baik kenapa harus bertahan dengan prinsip kamu itu?" Agus memegangi keningnya akibat kepalanya yang mulai terasa sakit akibat apa yang dikatakan Mira. "Kamu kan tau, aku memang suka anak-anak dan ngajar. Pekerjaan ini bukan cuma masalah gaji dan uang. Enggak semua bisa dinilai dengan uang Mir, ada tanggung jawab moral di sini." "Terserah kamu, pokoknya aku mau lusa kita ke Bogor titik!" panggilan kemudian dimatikan oleh Mira. Agus hanya menghela napasnya ia kesal juga karena kekasihnya itu terus saja memaksakan kehendaknya. Selama ini memang Agus banyak mengalah pada MIra karena ia sangat menyayangi gadis itu. Setelah sakit hati dengan Rei, Mira lah yang menjadi wanita kedua dalam hidupnya yang berhasil membuat ia melupakan sakit hatinya. Saat awal berkenalan, Mira tak seperti ini, ia bisa menerima semua yang dilakukan Agus. Agus jelas sangat menghargai itu, ia semakin kagum dengan pengertian Mira apalagi sang kekasih memiliki penghasilan yang jauh di atasnya dan meski demikian, Mira tak pernah merendahkannya. Perlahan hubungan mereka berubah dan Mira mulai menguasai dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD