Danish!!

1230 Words
Rei harus menjaga Uca pagi ini. Hari ini ia terpaksa meminta tolong pada Arin untuk mengantarkan Ziel ke sekolah. Yang segera disetujui oleh sahabatnya itu. Arin dengan segera menyadarkan diri untuk mengantar Ziel ke sekolah pagi ini. Sebenarnya, si sulung ingin tak masuk sekolah untuk menemani sang mami menjaga sang adik, tapi Rei jelas melarang itu. Ia tak ingin mengorbankan waktu belajar Ziel. Ia sedikit memaksa Ziel agar mau sekolah pagi ini dengan sedikit perdebatan. Motor merah muda milik Arin membelah pagi di kota Jakarta. Tak lama sampai akhirnya Arin dan Ziel tiba di sekolah. Ziel segera turun kemudian merapikan pakaiannya, Arin juga menyemprotkan parfum seperti yang dipesan oleh Rei. Ziel segera mencium tangan Arin setelahnya. "Jangan pulang sebelum tante Cinta atau mami jemput ya Ziel?" Arin mengingatkan. "Iya tante," jawab Ziel. "Ziel masuk ya Tant, assalamuallaikum." "Waalaikumsalam, belajar yang bener ya Ziel." Ziel mengangguk sebelum akhirnya ia berlari masuk ke dalam sekolah. Setelah memastikan Ziel masuk ke dalam sekolah, Arin kembali menyalakan mesin motornya dan melaju untuk segera kembali pulang. Dari lantai dua Agus memerhatikan itu, ia melihat kalau Ziel tak di antar oleh Rei. Ia hanya hela napas dan kembali melangkah menuju koperasi yang berada di lantai bawah. Agus harus menuju koperasi karena hari ini ia mendapat jadwal jaga bersama Bu Susi. Sampai di tangga ia berpapasan dengan Ziel yang terlihat murung seraya berjalan menuju kelasnya. "Pagi Pak," sapa Ziel lalu mencium tangan Agus. Agus mengacak rambut Ziel, "Kenapa kamu sedih gitu Ziel?" " Hmm, adik Ziel sakit Pak." "Hmm Uca?" Ziel menatap Agus, ia heran karena sang guru mengetahui nama sang adik. "Bapak tau nama adik Ziel?" "Iya, bapak tau. Waktu mami Ziel ke sekolah tempo hari sama Uca 'kan?" "Ah iya, Ziel lupa. Doain adik Ziel ya Pak. Kalau adik sakit mami susah enggak bisa kerja," lirih Ziel. "Bapak doain adik Ziel lekas sehat ya. Ziel harus semangat sekolah biar pinter dan lulus dengan baik. Kalau Ziel pinter, Ziel bisa banggain mami nanti dengan kerja dan bisa bantu mami cari uang." Agus berucap coba menyemangati. Ziel tersenyum dan mengangguk yakin. Setelah berbincang singkat dengan sang guru Ziel segera kembali melangkahkan kakinya menuju kelas. Ucapan Agus seolah menjadi motivasi dan semangat Ziel [agi ini. Ia harus bersemangat dan belajar dengan giat agar bisa membantu sang mami kelak. Agus kemudian berjalan menuju ruang tata usaha sebelum ke koperasi. Iya menemui Pak Dadang salah satu petugas tata usaha. Pria dengan rambut putih itu tengah duduk di kursinya seraya menikmati gorengan dan lontong sebagai sarapan paginya. "Pak Dadang, saya mau tanya untuk uang pangkal Jazziel Kaivan Bimantara," tanya Agus seraya berjalan mendekat. Pak Dadang menghentikan kegiatannya lalu membersihkan tangannya dengan tisu yang berada di sampingnya. "Tunggu ya Pak Agus. Saya cari sebentar." Pak Dadang kemudian membuka komputer untuk mencari data siswa yang ditanyakan oleh Agus. Iya lalu mengarahkan layar komputernya ke arah Agus yang berdiri di samping kirinya. "Memang kenapa Pak Agus tanya?" "Ah, ada titipan soalnya untuk uang pangkal buat Jazziel." Agus kemudian mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar kekurangan pembayaran sekolah Ziel. *** Danish hari ini menemui sang ibu tanpa Dwi. Sudah beberapa hari Hani ingin menemui calon menantunya itu. Hanya saja, Dwi terus menolak dan berkali-kali hanya Danish yang datang sendiri untuk menemui ibu dan ayahnya. Tentu saja apa yang dilakukan Dwi buat Hani kecewa merasa undangan darinya disepelekan oleh wanita itu. Kini Danish bersama Hani dan Yanuar duduk di meja makan untuk sarapan bersama. Danish sebenarnya berasal dari keluarga yang cukup berada. Sang ayah memiliki usaha laundry juga cuci mobil dan sang ibu sampai saat ini memiliki usaha rumah makan yang cukup terkenal dan memiliki beberapa cabang di jakarta. "Jadi mana calon istri kamu?" tanya Hani pada sang putera. Danish hela napas, sambil kini menyantap sarapan paginya. "Belum bisa ke sini Bun. Dwi harus urus butik dia di Bandung karena kan memang masih baru banget jadi banyak yang harus diurus." "Halah, serepot apa sih butik baru itu? Bunda juga dulu memulai resto kayanya enggak repot-repot amat. Manajemennya enggak bisa kali jadi repot." Hani kesal atas apa yang terus dilakukan Dwi dengan menolak undangannya. "Kalau serius sama kamu pasti dia mau nemuin orang tua laki-lakinya." Yanuar buka suara dan itu buat sang istri mengangguk. Danish kesal dengan apa yang dikatakan kedua orang tuanya. ia kemudian meletakan sendok miliknya kembali ke piring miliknya yang masih penuh dengan nasi goreng buatan sang ibu. "Kalau sudah waktunya juga aku akan bawa Dwi ke sini." "Masalahnya kalian sudah tinggal bareng. Sementara apa status kalian? Enggak ada 'kan?" ujar Hani dan memang ini yang menjadi kekhawatiran darinya bahwa sang putera akan dinilai buruk oleh orang lain karena tinggal bersama seorang wanita tanpa status pernikahan. "Ah, peduli amat sama kata orang. Mereka 'kan enggak ada kasih sumbangsih apa-apa buat hidup aku Bun?" Hani hanya menggelengkan kepala menghadapai sang putera yang sekarang lebih banyak membangkang. "Terus Uca sama Cia gimana? kamu kasih mereka uang 'kan?" "Buat apa?" Danish bertanya buat sang ibu terkejut. "Buat apa? Kamu tanya buat apa? Rei tinggal sendirian. Kamu juga bilang dia udah enggak punya apa-apa karena suami pertamanya enggak nafkahin dia. Kamu kasih dia uang buat Uca dan Cia dong, buat apa lagi?" "Aku udah kasih dia uang sebelum kami cerai," jawab Danish enteng. "Berapa puluh juta?" tanya Yanuar. "Delapan juta. Ya, ayah tau lah berapa sih gaji karyawan kaya aku?" "Setelah itu kamu enggak kasih Rei uang lagi?" tanya Hani. Danish menggelengkan kepalanya. Itu buat Hani dan Yanuar merasa kecewa dangan apa yang dilakukan puteranya yang jelas tak bertanggung jawab. Meski awalnya mereka menentang hubungan di antara Rei dan Danish, tapi pada akhirnya ,mereka berdua setuju karena sikap Rei yang santun pada kedua orang tua Danish., Apalagi Rei telah memberikan mereka dua orang cucu yang cantik. "Bunda sampai enggak berani ketemu sama Uca karena kamu. Bunda malu karena kamu selingkuh." Hani berkata seraya menatap kesal pada Danish yang kembali menyantap sarapannya. "Ya, Bunda ketemu aja lah kalau mau ketemu Uca kenapa harus malu dia kan cucu bunda." "Dia anak kamu." Hani menekankan. "Uca dari kecil sering sakit. Kamu enggak mikir apa, gimana dia, tinggal di lingkungan seperti apa, makannya cukup atau enggak, atau yang lain? Hmm?" "Bund, sebenarnya tujuan bunda minta aku ke sini itu buat bahas Dwi atau Uca?" "DANISH! Kamu ini hilang akal atau gimana sih? Kamu itu ayah Uca dan Cia anak-anak kamu. Bisa-bisanya kamu ngegampangin kaya gini." Hani geram suaranya meninggi. Apalagi ia begitu menyayangi Uca. Dan semakin kesal mengetahui kalau Danish tak peduli lagi pada anak-anaknya. "Bunda kamu benar, kok bisa kamu menggampangkan gitu? mereka itu anak-anak kamu Dan." Yanuar tersulut karena perkataan anak laki-lakinya yang tak bertanggung jawab. "Ya, gimana aku udah minta Rei buat KB sebelum kita nikah supaya enggak kebobolan karena aku mau kita have fun dulu—" kata Danish berbohong. "Terus kamu nyalahin dia? Terserah kalau kamu mau enggak peduli sama Rei. Yang bunda heran kok bisa kamu enggak peduli sama anak-anak kamu?" tanya Hani memotong ucapan Danish. Danish berdecak kesall. ia lalu berjalan meninggalkan ruang makan menuju kamarnya meninggalkan kedua orang tuanya yang geram dengan tingkah polah putera sulungnya. Hani tau betul bagaimana sikap Rei meski awalnya ia menolak karena Rei adalah seorang janda beranak satu, Hani akhirnya menerima perempuan itu karena begitu baik dan santun. Bahkan saat suaminya sakit Rei juga yang membantu merawat dan menemani di rumah sakit. "Kegilaan perempuan si Dwi-Dwi itu anak kamu jadi enggak ada tanggung jawabnya." Hani berkata kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD