Bab 4

1701 Words
Rara tidak pernah mengerti bagaimana takdir seolah membawanya ke tempat dimana ia mengharapkan segala harapannya. Awalnya ia hanya menyukai lelaki itu, ia suka melihat lelaki itu dari jauh, ia suka diam-diam memperhatikan lelaki itu sekalipun lelaki itu tidak tau siapa dirinya. Awalnya hanya dengan melihat lelaki itu saja Rara sudah senang. namun, entah mengapa, kesenangannya tidak bisa sesederhana dulu. ia bahagia, sekarang lelaki itu tau namanya. Ia bahagia lelaki itu dan dia akhirnya sering bertegur sapa. Namun bahagianya seolah semu, karena Rara ingin lebih dan lebih. Rara selalu merasa kurang, dan harapannya semakin tinggi. Setelah pertemuan tidak sengaja kala senja itu, Rara berharap bisa memiliki lelaki itu. Tanpa pernah sadar, siapa sebenernya dia dan dimana posisinya.                 Siang ini, selepas membantu Bu Arin membersihkan lab kimia beserta beberapa teman, ia berjalan sendiri menyusuri lorong sekolah yang sepi. sendirian membuatnya memikirkan banyak hal, termasuk bagaimana bisa burung yang kini ia lihat beterbangan tetap bisa terbang kesana kemari sekalipun langit tengah menampakkan mendung yang gelap. apa burung sebenarnya tak ingin tapi ia tetap harus melakukan itu agar bertahan? Bisa jadi, karena bertahan adalah ketika kita berusaha bukan hanya ‘ingin’. Dan mungkin dirinya kalah dengan burung, yang tetap fokus pada tujuannya sekalipun awan gelap menghantuinya. Rara menghembuskan nafas panjang, suasana sekolah semakin menyeramkan karena langit mendung. Ia harus segera menuju kelas, sebelum hujan turun.                 Langkah kakinya berjalan cepat itu terhenti ketika melewati papan pengumuman, ia mendapati sebuah selembaran bertuliskan dibukanya anggota baru untuk ekstra kulikuler majalah sekolah. terbesit dalam benak Rara untuk ikut mendaftar agar ia juga berusaha tidak hanya ingin, seperti yang dilakukan burung-burung di langit. -0-                 “Dari mana Ra?” adalah pertanyaan yang kudapatkan ketika aku sudah duduk di tempatku, pertanyaan itu dari Viana—yang menjadi teman sebangkuku.                 Di tahun pelajaram baru ini, aku hanya satu kelas dengan dia dari kelima teman baikku. Tidak masalah, karena toh di pondok pun kami masih bisa bersama-sama. hanya saja kurang seru jika hanya dengan Viana.                 “Bantu Bu Arin.” Jawabku singkat sembari membereskan buku-buku kimiaku yang masih berserakan di atas meja. Jarum jam menunjukkan pukul sebelas. Setelah ini akan ada pelajaran ke-6 yang kuharap gurunya tidak ada. Karena semenjak kemarin, tidak ada jam kosong. Padahal baru dua hari pertama di semester baru. Apa kelas sebelas akan seberat ini?                 “Oh,” jawaab Via sembari mengangguk, ia mengeluarkan seseuatu dari dalam loker. Sebuah s**u coklat kotak. “ni buat kamu”                 “Buat aku?” tanyaku meyakinkan. “dari siapa?” seumur hidup aku tidak pernah diberi sesuatu dari seseorang kecuali kado ulang tahun. jadi, wajarkan kalau aku sangat terkejut dan tidak percaya?                 “Bayhaqi.”                 “Ha?” dan semakin tak percaya ketika yang memberiku ini adalah orang-yang-aku-sukai?                 “Ya. kalian ada apa si sebenarnya?” Viana menatapku kesal, “kok kamu ndak pernah cerita ke akuuu!” protesnya.                 Aku mengabaikan protesan Viana, karena yang lebih penting, kenapa ini? kenapa Baihaqi memberikanku s**u ini?                                 “Raaa!!!” Viana mengoyakkan bahuku, dimana diriku masih membeku sembari menatap s**u kotak yang ada di tangan. “Kapan?”                 “Hm?”                 “kapan dia ngasihinnya ke kamu Na?” tanyaku yang masih menatap s**u kotak itu. apa ini pertanda baik? apa baihaqi juga menyukaiku? Aku menatap sosoknya yang kini tengah menelungkupkan kepalanya di atas meja. Tempat duduknya berada jauh dari tempat dudukku. Ia di pojok selatan dan aku dipojok utara.                 “tadi waktu di koprasi.” “Terus?” “terus apa?” “Terus dia bilang apa?” “Yauda aku cerita lebih lengkaap.” “ya gitu dong!” aku menatap Viana, siap mendengarkan apa yang akan ia katakan.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         “Tadi habis dari lab kan aku duluan, aku mampir tuh ke kopsis, mau beli tipe-x. Terus ketemu Baihaqi juga, dia beli air mineral. Eh tiba-tiba dia nyapa—kamu yang duduk di samping rara kan? terus dia tanya, Rara biasanya suka minuman apa. yauda aku jawab, s**u coklat. Terus dia bilang nyuruh ngasihin s**u coklatnya ke kamu. Katanya, buat ganti es yang kamu kasihkan kemarin. Es apaan emang?” Aku tidak menjawab pertanyaan Viana, mataku kini sibuk menatap baihaqi yang masih menelungkupkan wajahnya. Mungkin sekarang dia tengah tidur? “dia suka kamu ya Ra?” aku sontak menatap Viana terkejut ketika gadis itu mengatakan hal yang tidak pernah terbesit dalam benakku. “Nggak lah.” “terus kenapa dia ngasiih s**u ini?” “kan dia bilang buat gantiin es yang aku kasih.” “Tapi, kok bisa si dia kenal kamu? Kamu kenal dia dari mana? Bentar, sejak di lapangan bukannya dia uda tau namamu?” “iyakah? Nggak deh kamu ngarang kali. Aku sama dia ya, baru kenal pas kemarin.” “tapi kemarin, dia uda langsung tau namamu ra. Aku masih ingat dia nyapa kamu, malah aku bengong, karena nggak nyangka kamu kenal dia.” “ya aku sama baihaqi kenal pas—“ “suda fix dia suka kamu.” “ngarang kamu Viana!” “liat noh, dia bangun aja langsung liatin kesini.” “ha” aku menatap kearah belakangku. Tepat kemana Viana melihat, dan benar lelaki itu menatapku sembari menampakkan segaris senyumnya. Aku membalasnya sebentar, kemudian kembali membalikkan badanku dan menatap Viana. Jantungku berdegub kencang seperti langkah kaki kuda, apa benar yang dikatakan Viana? Gadis yang kutatap itu malah tersenyum menggoda melihat kepanikanku. s**l, aku harus bagaimana? Tenang, aku tidak boleh ketahuan jika aku juga menyukai Baihaqi. Aku tidak mau Viana tau, nanti malah terjadi hal yang tak ku inginkan. Seperti: dia akan membocorkannya dengan bilang ke Baihaqi aku menyukainya karena menganggap perasaan ini hanya lelucon yang bisa ia tertawakan? Karena aku pernah berada diperlakukan seperti itu dulu. sekalipun itu bukan Viana, tapi sulit untuk kembali pada seeorang ketika pernah percaya namun dilukai. “udah ah Vi, kita bahas yang lain.” aku mengeluarkan buku tulis matematika dan paketnya. Setelah ini memang mata pelajaran matematika. Dan aku harap Viana mau membicarakan hal lain selain Baihaqi. Sekalipun begitu, dalam benakku pun turut menanyakan hal yang sama dengan Viana.   Apa iya, baihaqi menyukaiku?—dan semenjak saat itu, ekspektasiku jadi tak sadar diri. -0-   “Kalian tau nggak sih, di kelas ada yan suka sama Rara loh” s**l, haruskah Viana sekeras itu jika bicara? Membuat hampir seluruh penghuni kamar mendengarnya. Saat ini memang jam kosong, selepas tadarus dan belajar di aula asrama. Kami memiliki jam kosong satu jam sebelum tidur. Dan jam kosong itu, biasanya kami lakukan untuk merapikan kamar, melipat baju, atau untuk mengerjakan tugas sekolah. seperti sekarang, aku tengah mengerjakan tugas sekolah bersama Viana. Lida tengah piket kamar beserta empat anggota kamar lainnya, ia tengah merapikan rak sepatu, Ani dan Safa tengah melipat baju. Sekalipun sibuk dengan kegiatannya masing-masing, telinga mereka tetap siap siaga untuk menerima segala informasi yang masuk. apalagi jika informasi itu bersifat gosip seperti dikatakan Viana barusan, pasti mereka akan mengerti tanpa mencerna terlebih dahalu. Bahkan Mbak Ela yang berada di pojok kamar saja kini tengah menatapku dengan tatapan menggoda, seolah tatapannya itu bersuara cieee. Dan aku ingin membungkam mulut Viana sekarang juga. Agar ia tidak menyebarkan hal yang tidak-tidak. Pasalnya, kebenaran Baihaqi menyukaiku juga belum tentu benar adanyakan? “oh ya? siapa Vi?” Safa yang tadinya sibuk melipat baju kini mendekat ke arah Viana, disusul Lida dan Ani. Aku menatap Viana tajam, memberi kode agar Viana menghentikan omong kosongnya. “beneran Ra? Ra siapa dia???” Ani menggoyakkan bahuku, aku menatapnya menggelengkan kepala. “Enggak rek, bohong Viana.” Jawabku sembari melepaskan tangan Ani dari bahuku, pasalnya itu membuatku kesulitan untuk menulis. Tampaknya semakin dilarang, Viana semakin tertantang. Temanku itu bahkan kini ngakak dengan suara keras. Aku mencubit pahanya, yang membuat ia berhenti ngakak dan berganti dengan sumpah serapahnya. “Loroooo raa!!!!” ucapnya. “ojo fitnah, belum tentu kan dia suka aku.” ucapku kesal. “Wes jelasss Ra, sek aku tanya ke temen-temen dulu, lak mereka mikirnya dia juga suka kamu.” Aku memutar bola mata, pasrah dengan sikap Viana dan segala tingkah polanya. “APa siiih, kok gemes aku.” “Lahya, ayo Viana spilll!” ucap Lida dan Ani bergantian. Viana hanya senyum cengengesan melihat keempat temannya itu panik. Dia memang jahil sekali. “Gini gais, kalian yang kasih pendapat sendiri aja ya. apakah Rara disukai Baihaqi apa nggak. Aku akan menyebutkan fakt-fakta yang terjadi diantara merekan akhir-akhir ini.” “Baihaqi siapa?” “Iya, kok namanya nggak asing?” jawab Safa. “Temen sekelas kita.” “Oh anak 11 MIA satu?” “iya,” “Wah, samping kelas. besok kasih liat ya dia yang mana” jawab Lida bersemangat. “Aku ikut, besok pagi-pagi aku akan ikut nongkrong di kelasnya Lida. Biar bisa liat juga, Baihaqi itu yang mana.” Ucap Safa. “Aku juga aku juga!!!” --bisakah aku rubah siapa support systemku? Karena mereka ternyata bisa semenyebalkan ini. “terus, si baihaqi ini tadi ngasih rara s**u!!!” ucap Viana. “HAAAAAAAA??? SERIUUUUSSSS?” ucap lida, ani dan safa bersamaan. “Nggak! Itu kareena dia aku kasih es buat buka puasa.” “APAAAAA?? Makanya kemarin kamu bantu di dapur tapi nggak bawa apa-apa. ternyata esnya kamu kasihkan Baihaqi.” “Ih nggak gituuu reeek” ucapku berusaha menjelaskan sejujur-jujurnya. Namun tampaknya Viana tak ingin aku banyak bicara. Gadis itu menyuruhku untuk diam dengan alasan agar aku bisa tau Baihaqi menyuukaiku. “Terus terus?” Lida tampaknya yang paling penasaran. “Baihaqi kalau ketemu Rara senyum. Tapi kalau papasan sama aku malah menghindar dan purapura nggak kenal.” “WEEEEEEEEEEEEE” “fix dia suka kamu ra,” “Iya, alhamdulilaah rara lakuuuu.” aku menatap keempat temanku yang tengah duduk melingkar dan heboh itu dengan tatapan lesu, 'ya karena kamu emang belum kenal dia, Vianaaa. Makanya dia senyum ke aku. Ini nggak sespesial yang kalian pikirkan rek. biasa aja!!!”  “nggak, ini nggak biasa Ra. aku baru ingat sekarang baihaqi yang mana. Dia dulu temen smpku. aku hafal karakter dia yang cuek banget sama perempuan. jadi ketika kamu dikasih s**u, diajak ngobrol, disenyumin, itu hal yang spesial. dia suka kamu raa." Perkataan dari Lida itu membuatku terdiam lama. benarkah? apakah Baihaqi menyukaiku? mungkin saja, ucapan teman-temanku ini ada benarnya. namun... "yauda sih, kalau dia suka sama aku aku harus gimana? biarin aja." untuk melindungi perasaanku, aku berpura-pura tidak beharap. tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD