Tiga

1226 Words
Lucy menuruni tangga, dilihatnya meja makan, orang tuanya sudah duduk terlebih dulu di sana. "Pagi, Ma, Pa." Karsa dan Elvina mengerutkan dahi melihat wajah murung putrinya. "Pagi, Sayang," balas Elvina. Lucy duduk di depan ibunya dan mengambil satu roti yang bertumpuk dengan telur dan selada yang telah disajikan, tanpa tahu tatapan penuh tanya dari sang ibu. "Kau terlihat kurang baik?" "Lucy baik, Ma." Elvina mengangguk, tidak untuk percaya. Lebih memberi privasi bagi anaknya itu. "Di mana suamimu?" Lucy tidak mengharapkan pertanyaan ini, hal yang membuatnya tidak bersemangat. Senyum terbaik Lucy berikan pada orang tuanya. "Darrel ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, Pa. Jadi pagi-pagi sekali ia sudah pergi. Jika memungkinkan ia akan menjemput ku dan Anne untuk pindah ke rumah kami." Jelas perkataan Lucy hanyalah kebohongan, nyatanya Darrel tidak pulang dari semalam. Ia berusaha sebisa mungkin menutupi masalah rumah tangganya. Selain tidak ingin membuat orang tuanya khawatir, Lucy sendiri merasa ini hanya masalah kecil yang butuh pengertian dari pihak istri. Bagaimana pun seorang suami bekerja juga demi keluarga. Jadi ia harus memakluminya. "Jadi karena ini, kau menampilkan muka sedih tadi?" Elvina melempar senyum pada anaknya. "Sebagai istri kamu harus mengerti dirinya, Sayang. 'Kan Darrel bekerja juga demi kamu, istrinya." Lucy mengangguk, meng-iyakan pendapat ibunya. "Tapi kalian tidak melewatkan malam yang penting 'kan?" goda Elvina. Wajah Lucy merona. "Mama," rajuknya. Elvina dan Karsa terkekeh melihat tingkah putrinya yang malu-malu. Tanpa mengetahui jika tingkah putri sulung mereka hanya akting belaka. "Maafkan aku, Ma, Pa. Aku tidak bermaksud membohongi kalian," batin Lucy. "Oh ya, di mana Anne. Tidak biasanya dia bangun telat?" "Lucy tidak tahu, Ma?" Dahi Elvina mengerut. "Pesawat kita akan take off satu jam lagi. Dia akan marah, bila orang tuanya pergi tanpa pamit," gumamnya. "Biar Lucy bangunkan dia, Ma." Elvina mengangguk, Lucy menyuap potongan terakhir sarapan paginya dalam mulut, kemudian beranjak menuju kamar sang adik. *** Darrel membuka mata, meski baru dua jam ia tidur. Matanya tetap segar, apalagi saat melihat sosok yang tertidur pulas di sampingnya. Mata hitam Darrel tak lepas dari wajah Anne, seperti tidak ada rasa bosan dalam dirinya memandang wajah ayu tersebut. Ia merasa nyaman dan senang. Anne menggeliat dalam tidurnya, hingga membuat Darrel menggeram. Bagaimana tidak? Saat Anne menggeliatkan tubuhnya, selimut yang menutupi tubuh polos Anne tersingkap dan menyajikannya secara gratis pada Darrel. Geraman kembali keluar dari mulut Darrel. Sesuatu diantara kedua pahanya mengeras kembali. Dan hal ini tidak bisa dibiarkan atau seharian penuh kepalanya akan pening. Ia butuh kepuasan. Darrel menyingkap selimut dan membuangnya ke lantai, ia kembali menindih tubuh Anne. Kemudian mengecup beberapa kali bibir tipis, merah muda alami dan memiliki rasa manis yang tidak bisa Darrel lewatkan begitu saja. Setelah puas melumat, menggigit serta bermain-main dengan bibir yang menjadi candunya, Darrel menyerukan kepalanya di perpotongan antara leher dan bahu Anne. Menghirup dalam-dalam Aroma yang juga disukainya, menyimpan baik-baik aroma itu dalam otaknya. Aroma yang mungkin nanti akan membuatnya merasakan kerinduan ketika berjauhan. Ia lalu mengecup leher jenjang Anne, kembali memberi tanda di sana. Kini puncak indah Anne menjadi sasaran mainan Darrel. Satu dari bagian tubuh Anne, yang paling menggemaskan menurut Darrel. Sampai tanpa sadar saat memegangnya ia menyentuhnya dengan kasar. Anne merasa tidurnya terganggu, membuka perlahan kedua matanya. Ia belum sepenuhnya sadar, walau dari mulutnya terus mendesis. Anne pun memeluk kepala Darrel yang dikiranya guling. Mata Anne membola ketika matanya melihat surai hitam berada di atas bagian tubuh atasnya, ia sedikit mengangkat kepala untuk melihat siapa orang itu, "Kakak ..." lirih Anne saat melihat seseorang yang sedang bermain dengan tubuhnya. "Lepas, Kak." "Kumohon, Kak. Cukup. Ja-ngan lagi." "Diam Anne!" sentak Darrel. Otomatis tubuh Anne berhenti memberontak. "Menurut saja padaku. Apa kau ingin aku membongkar malam panas kita di depan kakakmu dan orang tuamu. Bisa kau bayangkan betapa kecewanya mereka padamu nanti." Darrel menyeringai, melihat Anne menggelengkan kepala dengan mata berkaca. "Jangan lakukan itu, Kak," lirih Anne. Ia tidak punya pilihan lagi selain mengikuti kelakuan gila kakak iparnya. Dalam hatinya ia terus merapal kata maaf untuk orang tua dan paling penting kakak iparnya. Takut menyelimuti hatinya ketika terbayang wajah kecewa orang-orang terdekatnya. Karena bangkai yang disembunyikan akan tercium juga 'kan? "Lihatlah cermin itu Anne, lihat seberapa menarik dirimu?" Anne melihat dirinya tampak kacau, surai berantakan, bibir bengkak, leher sampai d**a penuh bercak merah. Bukannya senang, Anne malah memandang jijik dirinya sendiri. Dibalik genangan air mata, tatapan kebencian Anne tunjukan untuk Darrel melalui siluet cerminan pria itu yang menyeringai ke arahnya. Tok... Tok ... Tok. Suara pintu diketuk dengan ganggang pintu yang berulang kali berusaha membuka, menyentak mereka berdua. "Anne, kau di dalam!" Samar terdengar suara dari balik pintu. Mungkin dindingnya memang terpasang peredam suara tapi tidak dengan pintu kayunya. Masih dapat mendengar suara meski samar. "itu ... Kakak," lirih Anne dengan nafas tersengal. Kakak iparnya itu tadi mencium dirinya dengan paksa. "Cih, pengganggu." Darrel mendecih, tidak ada kepanikan sama sekali dalam dirinya. "Dia istrimu, Kak. Lepaskan aku!" Darrel merangkaum wajah Anne, membalikan wajah Anne agar berbalik menatapnya kemudian menawan bibir Anne lalu melepasnya. "Jangan berkata kasar padaku atau aku akan menghukum mu lebih dari yang kau kira." Kemarahan Darrel bukan Anne pemicunya, tapi karena dia memang tidak suka pengganggu. "Anne, kau di dalam. Bangun Anne!" "Anne ... Anne!" Lagi-lagi suara Lucy terdengar, samar. "Jawab pengganggu itu dan suruh dia pergi," lanjut Darrel. "Kakak." Siksaan luar biasa bagi Anne, ia harus berbicara dengan kakaknya sedangkan kakak iparnya memainkan tubuh bagian atasnya. Berulangkali mencegah, berakhir tangannya yang digenggam erat dengan satu tangan kakak iparnya. "Anne, kau sudah bangun." "Su-sudah, Kak!" "Buka pintunya, Anne. Kau baik-baik saja 'kan?" Darrel sangat menyukai ini. Berdua dengan candunya. Di sana ada istrinya yang terlalu bodoh untuk mengetahui jika suaminya tengah bermain dengan sang adik. "A-aku baik-baik saja, Kak," jawab Anne cepat. "Kalau begitu, cepat turun. Mama dan Papa akan take off satu jam la ..." "Akhhh." Anne lepas kontrol saat bagian atas tubuhnya digigit oleh Darrel. "Anne, kau baik-baik saja!" Lucy menggedor pintu adiknya lebih keras, saat mendengar teriakan dari kamar sang adik. Teriakan Lucy pun menyadarkan Anne. "Aku baik-baik saja, Kak. Hanya hampir terpleset bajuku sendiri yang ku lempar sembarangan di lantai. Tidak usah khawatir." Anne memberi alasan. "Jangan ceroboh Anne, jangan buat aku khawatir." Teriakan itu bagai belati menusuk hati Anne. Ia tak pantas mendapat kasih sayang seorang kakak sangat baik seperti Lucy. Dirinya hanyalah seonggok sampah yang telah mengkhianati kakaknya sendiri. Air mata Anne lolos, tumpah ruah. Tak bisa lagi ditahan. "Iya, kakak. Maafkan aku. Maaf." Maaf ... Maaf ... Maaf. "Baiklah, cepat turun. Mama, Papa akan pergi berangkat ke Bandara sebentar lagi." "Iya." Darrel melepas mulutnya dari mainan barunya. Darrel menghapus air mata Anne. "Jangan menangis." Anne menatap mata hitam Darrel beberapa saat, sebelum kemudian menyentak tangan Darrel dari kedua belah pipinya. Ia berjalan tertatih, sambil berpegangan dinding menuju kamar mandi. Sementara Darrel, hanya bisa menatap Anne. Ada niat dalam hatinya membantu Anne ke kamar mandi tapi ia tahu. Anne akan menolak dan dirinya tidak biasa dengan penolakan. Jadi ia urungkan niat itu dan berdiri angkuh seraya menatap punggung kuat namun terlihat rapuh itu menghilang di balik pintu kamar mandi. *** Menurutmu, haruskah setiap orang di bumi ini menurunkan keegoisannya? atau Keegoisan memang diperlukan untuk kesenangan diri sendiri? *** Jangan menerima ruang dan memberi ruang untuk orang lain masuk ke dalam rumah tanggamu. Jika tidak mampu membahagiakan satu wanita, jangan berpikir menambah satu wanita lagi. Sikapmu hanya menyengsarakan. Bukan tentang menjaga dan dijaga, tapi bagaimana caranya kamu mempertahankan janjimu pada Tuhan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD