Eiko segera menyelesaikan pekerjaannya, ia harus mencari kalung Hikaru, ia yakin kalung itu jatuh di kolam renang. Setelah selesai ia segera pergi ke kelas dan mengambil tas.
“Hei… Eiko apakah kamu akan pulang bareng aku?” tanya Hikaru, “ Aku dan Joshua akan…”
“Tidak,” potong sang gadis, “ untuk hari ini aku tidak bareng dulu sama kamu,” ia sangat terburu-buru. “Aku duluan ya,” mengambil tas dan langsung pergi.
“Kayaknya dia akan pergi dengan seseorang,” kata Joshua.
“Entahlah, biarkan saja, yu pergi.”
Eiko berlari-lari kecil menuju kolam renang, di tengah perjalanan ia melihat Naomi dan Amanda sedang berjalan, dengan refleks ia menyembunyikan diri di belakang pohon.
“Hah? Kenapa aku bersembunyi dari mereka? Aku tidak salah kok,” ia menggerutu. “Hei… kalian! Kenapa kalian memukul ku?” teriaknya di depan pohon, sampai membangunkan Bilal yang tengah beristirahat di bangku yang tidak jauh dari sana.
“Seharusnya aku melakukan itu seperti di film-film,” tambah Eiko lagi sambil menginjak tanah dengan keras. “Asal kalian tahu ya, kalau hidup orang seperti kalian itu tidak akan berakhir dengan baik. Hah…” ia sedikit membuang nafas kesal, “Ini cukup untuk pemanasan, harusnya itu yang aku katakan tadi, aku gimana sih.”
Bilal tersenyum melihat apa yang dilakukan Eiko dengan pohonnya.
“Kamu menyesalkan? Ayo minta maaf,” tantang Eiko pada pohon. “Kalau kalian tahu siapa aku, kalian pasti tidak akan pernah berani membullyku, awas ya! Kuperingatkan kalian. Menyesal kepadaku kan?” terakhir ia mengusap pohon tersebut, lalu pergi menuju tempat tujuan.
“Yah…” keluh Eiko, “Pintunya tertutup,” ia memegang pegangan pintu kaca kolam renang, dan tak bisa dibuka.
Dari belakang tiba-tiba Bilal datang melihat situasi kolam renang, “Kamu sedang apa di sini?”
“Aku harus mencari sesuatu, sepertinya barang itu jatuh di kolam kemarin,” terang Eiko, singkat. “Tapi pintunya terkunci.”
“Kamu tunggu di sini, aku akan pinjamkan kuncinya.”
Bilal meninggalkan Eiko sendiri menuju ruang guru, Pak Noru adalah pemegang kunci kolam renang sebagai guru olahraga. Kolam tidak diperkenankan dipakai dengan waktu sembarangan, hanya dipakai ketika ada pelajaran renang dan kompetisi saja, sisanya di kunci.
“Pak Noru, bolehkah saya meminjam kunci kolam renang?”
“Hei Bilal, kamu seharusnya jangan terlalu banyak mengurung diri di kamar, sekali-kali kamu keluar dan jemur dirimu di bawah terik matahari biar wajah tidak pucat. Untuk apa kamu ke kolam renang?” Pak Noru memberikan sedikit perhatian tentang Bilal yang sering terlihat pucat.
“Tapi aku mendapatkan nilai terbaik dalam olahraga sepakbola, ada barang yang tertinggal di kolam renang, aku harus membawanya.”
“Baiklah, ini.” Noru memberikan kunci.
“Terimakasih.”
Keduanya telah berada di pinggir kolam renang. “Padahal aku harus bekerja, tapi aku harus menemukan kalung itu terlebih dulu,” ucap Eiko setelah ia bisa masuk ke dalam.
Ia mengambil kacamata renang, dan memakainya, ia tidak masuk dan menceburkan diri ke dalam air, berharap dengan hanya melakukan ini pun ia bisa menemukan kalung Hikaru.
“Memangnya apa yang kamu cari?” tanya Bilal.
“Kalung,” jawabnya singkat, fokus mencari benda berharga tersebut.
“Sangat berharga?”
“Iya.”
“Apakah itu pemberian pacarmu?”
Eiko menghentikan aksinya sejenak, “Bukan.”
“Lalu?”
“E… dari ibuku, ya dari ibu.” Eiko sedikit gugup mengatakannya, ia tidak ingin Bilal tahu kalau kalung itu milik Hikaru.
Eiko melanjutkan pencariannya, beberapa kali melihat dari permukaan air lalu menggunakan kacamata renang, rambutnya basah, namun belum terlihat hasilnya.
“Bukankah kamu harus bekerja?” Bilal mengeluarkan handuk, “Sana pergi, biar aku yang mengunci pintunya.”
“Kira-kira kapan kola mini dibersihkan?”
“Satu bulan satu kali.”
“Akh lama sekali…”Eiko murung, menekuk bibirnya ke bawah. Malaikat kecil ini kehilangan cerianya. Eiko menyerah dan memilih untuk bekerja, ia berharap ketika dibersihkan nanti kalungnya ditemukan.
“Aku pergi dulu ya, terima kasih handuknya.”
“Iya…”
Bilal berdiri memandangi kolam, sejak tahu alasan Eiko mencari sesuatu yang berharga untuk dirinya, ia memutuskan akan membantu, namun Eiko terburu-buru harus pergi, maka ia akan mencarinya sendiri.
Ia berganti pakaian renang, dengan perlahan ia menyusuri sisi-sisi kolam, jangan sampai airnya menjadi keruh atau bergelombang yang akan menyebabkan bayangan memburam di dalam sana.
Hampir setengah jam ia belum menemukan benda yang dicarinya. Sampai ia merasakan pijakan asing dari langkah-langkah sebelumnya. Tepat di dekat saluran keluar air, kalung itu berada. Dengan liontin kecil bentuk kunci, ia berhasil menemukannya. Bilal tersenyum puas, membayangkan akan betapa bahagianya Eiko ketika kalungnya ditemukan.
***
Kring… Kring…
“Selamat siang, dengan Toko Seblak Hanan, ada yang bisa saya bantu?” jawab Eiko penuh keramahan.
“Tolong antarkan seblak campur ke toko roti dan kopi KK, di jalan Monas dua porsi ya!” seseorang memesan seblak.
Eiko langsung mencatat dan memberikannya pada Hanan, sementara ia melayani beberapa pengunjung yang datang, setelah siap barulah ia pergi mengantar. Tidak sulit menemukan tempat si pemesan, cukup dekat dengan Toko Hanan.
Di tempat tujuan Eiko, Naomi dan Amanda sedang berkongkou mengerjai Eiko.
“Sebentar lagi dia datang,” ucap Naomi.
“Barusan yang mengangkat teleponnya Eiko?” tanya Amanda, dan temannya mengangguk membenarkan.
“Apakah kamu yakin kalau Hikaru dan Eiko adalah sepupu? Bukan pacaran dan mereka menyembunyikannya?” tanya Amanda, memikirkan hal lain diantara dua teman yang satu rumah tersebut.
“Itu tidak masuk akal, keterlaluan banget sih kamu mikirnya Manda.” Naomi meradang, tidak ingin hal itu terjadi. “Tapi bukankah dia juga dekat dengan Bilal? Apa dia manggil Bilal? Payung? Lucu bukan?” ledek Naomi.
Tak ayal membuat Amanda membuka lebar matanya, sama seperti Naomi yang tidak ingin pujaan hatinya direbut oleh Eiko.
“Maaf ya! Kalau kalian membawa makanan dari luar, gue bakalan dimarahi bos, jadi sebaiknya jangan pesan makanan dari luar, atau kalian silahkan pergi dari sini,” seorang pelayan memperingati bahkan mengusir keduanya. Namun tidak digubris sama sekali oleh dua remaja itu.
Sejak tadi, pelayan yang diperkirakan seumuran dengan dua remaja itu memperhatikan sambil melayani pelanggan yang lain.
“Tenang saja, kita tidak akan memakannya disini,” jawab Naomi, sadar diri.
Pelayan tersebut kembali pada pekerjaannya. Pengunjung datang silih berganti, tidak ramai namun pergi satu datang satu. Dan yang datang selanjutnya Hikaru dengan Joshua.
“Amanda,” bisik Naomi. “Lihat itu…”
“Astaga, ayo kita pergi…” keduanya mengendap-ngendap pergi, tidak ingin diketahui dua orang laki-laki ini, apalagi mereka sedang mengerjai Eiko untuk mengirimkan seblak ke alamat ini, bisa-bisa Hikaru tambah benci pada dirinya.
Pada saat berada di pintu keluar, justru keduanya bertemu dengan Eiko yang baru saja datang.
“Pesanan seblak dari Toko Hanan,” teriak Eiko. Hikaru dan Joshua yang ada di sana berbalik pada sumber suara.
“Lho kamu kenapa ke sini?”
“Aku mengantarkan pesanan,”
“Atas nama siapa?” Eiko berpikir.
“Benar, siapa yang tadi pesan ini, tapi alamatnya ke sini.”
“Dua orang itu telah pergi.” Ucap pelayan yang memperingati Naomi dan Amanda.
“Pergi?”
“Jangan-jangan Naomi dan Amanda, tadi gue lihat mereka berdua mengendap-ngendap keluar dari sini.”
“Mau apa mereka? Ngerjain kamu.” Ucap Hikaru.
“Lepaskan!” disela-sela obrolan ringan mereka, terdengar suara teriakan dari ruangan belakang café.
Hikaru, Joshua, dan Eiko berlari ke pusat suara. Terlihat seorang laki-laki tengah merebut barang dari pelayan tadi, dan mengeluarkan isinya.
“Mana uangmu! Berikan semuanya padaku!”
“Tidak!”
“Sini!” laki-laki itu melayangkan tangannya.
“Berhenti!” Hikaru menahan dengan cepat.
“Siapa kau? Jangan ikut campur urusan orang!” teriak laki-laki tersebut sambil melepaskan tangan Hikaru keras.
“Kembalikan uangku!” ucap pelayan itu lagi, kini ia sambil berjongkok memohon.
Eiko juga ikut berjongkok. “Tolong kembalikan padanya!” pintanya.
Membuat laki-laki itu heran dengan orang-orang asing yang menyaksikan adegan ini.
“Sedang apa kalian, lepaskan-lepaskan,” laki-laki itu sedikit menendang melepaskan Eiko dan pelayan perempuan itu.
“Ini adalah uang sekolah dan uang makanku, jangan kau ambil!”
Keributan terus terjadi, sampai menarik minat orang lain yang datang ke café tersebut, salah satunya Andramawan. Tepat di jam makan siang, dan secara kebetulan ia akan makan siang di tempat ini, ia menyaksikan sedikit k*******n terjadi.
“Ada apa ini? Apakah kau makan tidak bayar dan memalak anak-anak?” Andramawan menengahi. Memegang lengan laki-laki itu supaya tidak kabur.
“Lepaskan aku! Aku ayahnya! Tidak usah khawatir, urus saja urusan kalian masing-masing.”
“Diam, kami polisi!” semua terdiam kaget. Pelayan itu bangkit, diikuti oleh Eiko. ia merasa mungkin ini jalan untuk dirinya lepas dari ayahnya yang jahat.
“Tangkap saja dia!” pinta pelayan tersebut.
“Apakah kamu sudah gila? Kamu ingin memenjarakan ayahmu sendiri?”
“Tunggu! Berikan padaku,” Andra mengambil dompet dan uang yang sebelumnya diambil oleh laki-laki itu. Lalu mengembalikan pada pelayan perempuan itu.
“Benar dia ayahmu?”
Pelayan itu menggeleng, “Bukan, dia bukan ayahku, aku besar dan hidup sendiri. Aku tidak mengenalnya, mengganggu bekerja dan membuat kekacauan, bahkan menghancurkan beberapa barang. Itu perlakuannya padaku, tolong tangkap saja dia!” pinta sang pelayan.
“Hei… kamu begitu sama ayahmu sendiri? Apakah kamu lupa bagaimana cara aku membesarkanmu?”
“Memberikan makan sangat sedikit? Jauh berbeda dengan orang tua pada umumnya? Kamu makan enak sedangkan aku kadang tidak makan sama sekali, kamu memakai pakaian yang bagus dan bermerk, sedangkan aku harus menunggu satu tahun untuk memiliki pakaian baru? Aku bersekolah dan makan sekarang dengan biaya sendiri, aku tidak perlu ayah seperti dirimu!” ia sangat kecewa, ia ungkapkan semua kekesalannya.
“Kamu membuat putrimu sendiri banting tulang dan kamu dengan enaknya mencuri uangku untuk berjudi!” teriaknya, “Aku besar seorang diri, dan aku tidak punya ayah.”