Cemburu

1197 Words
Kring… Kring… Suara telepon kedai Hanan. Pengunjung sedang ramai, selepas mengantarkan pesanan Eiko langsung menjawab telepon yang masuk. “Ada apa?” ucap Eiko tanpa basa-basi. “Hei… mana boleh kamu menjawab seperti itu dengan telepon toko.” Protes Hikaru karena ada aturan khusus dalam menjawab panggilan di telepon toko. “Sejak tadi nenek mendapatkan panggilan tidak jelas, makanya aku juga kesal. Memangnya kamu ada apa Karu?” “Tolong antarkan aku pakaian ke kolam renang, tapi kamu jangan beritahu nenek, kalau ada sesuatu di sini.” “Iya.” Eiko segera menyiapkan pakaian, dan bergegas pergi dari toko tanpa pamit. Dilihatnya sepeda terparkir di depan toko, ia langsung menaikinya. “Kenapa sepeda ini tidak jalan? Perasaan kalau lihat di film-film mereka mudah sekali memakainya?” tanpa Eiko ketahui, sepeda tersebut masih dengan standar dua yang membuat sepeda itu kokoh berdiri, sampai kapanpun benda itu tidak akan melaju kencang kalau dia tidak menurunkan standarnya. “Akh sudah, aku jalan saja.” Ia berjalan perlahan, sesekali berlari berlomba dengan pengendara sepeda. Ia penasaran mengapa sepeda orang tersebut bisa melaju, sedangkan miliknya tidak. Ia terus memperhatikan, tetapi tidak ada yang ia mengerti. Sementara itu di kolam renang, sembari menunggu Eiko datang, Hikaru mulai melakukan tugasnya, yaitu membereskan peralatan renang, pelampung renang berserakan, bahkan ada yang di tengah kolam, pembatas renang untuk perlombaan dan lain sebagainya sangat berantakan. Sedang asik-asiknya membereskan semua peralatan, Ikota datang dengan wajah sangat tidak menyenangkan. “Gue gak bisa hidup kalau gue punya hutang, dan jika gue pikir-pikir lihat lo kasian banget ya…” “Kalau lu ngerasa kasihan, sebaiknya lu jangan datengin gue! Lu bisa pergi dari sini, dan gue juga ga perlu rasa kasihan Lu!” balasnya dengan tegas, lalu ia kembali memungut papan pelampung yang berserakan, terakhir yang di tengah kolam, ia harus mencari akal supaya bisa mengambil tanpa harus masuk ke dalam air. Ikota tidak suka kalau dirinya dibantah dalam soal apapun. Ia melihat Hikaru yang sedang susah payah mengambil papan pelampung di tengah dengan menggunakan sapu, teringat sebuah ide. Ikota mendorong Hikaru ke dalam air. Tak ayal, hal tersebut membuat HIkota masuk ke dalam air dan mulai tenggelam. Ia trauma dengan masa lalunya. Bayangan itu kembali berkelebat. Dulu ia hampir tenggelam di kolam air di tempat wisata. Ia tergelincir, sedangkan ibunya tidak melihat apa yang terjadi, mamanya malah sibuk menelpon, entah dengan siapa. Hikaru minta tolong, namun tidak ada yang dengar. Sama dengan sekarang, semua orang telah masuk kelas, hanya tinggal dirinya dan Ikota yang juga sebentar lagi meninggalkan dia. Hikaru berusaha untuk naik, tapi tidak bisa. Akhirnya ia pingsan dan mengambang di tengah kolam. Brush… Seseorang datang untuk menolongnya, tapi nahas, orang itu satu nasib dengan Hikaru, ia tidak bisa berenang, dan malah menambah beban Hikaru untuk tenggelam. Brush… Kali ini seorang ahli renang datang menolong, segera menarik kerah hikaru. “Berdiri, kola mini tidak sedalam yang kamu kira,” ucapnya dingin. Uhuk… Uhuk… Hikaru masih terbatuk-batuk, banyak air yang tertelan karena kelalaiannya. Sedangkan Eiko yang datang menolong pertama kali lebih santai berdiri tegak di samping Hikaru. “Apa kamu tidak apa-apa Karu?” tanyanya penuh kekhawatiran. Uhuk… Uhuk… Laki-laki tampan berkharisma itu belum bisa menjawab pertanyaan gadis polosnya, ia masih panik dan ia tidak ingin orang tahu kalau ia memiliki trauma, ia harus mencari alasan supaya tidak ada orang yang tahu. “Kalau di film-film, biar kamu rileks kamu harus tarik napas seperti ini,” Eiko menerangkan tarik napas yang baik. Lalu diikuti oleh Hikaru. “Ayo coba sekali lagi… tarik… huuuuhhh… buang…” Sambil diselingi batuk beberapa kali, Hikaru akhirnya cukup rileks. “Airnya terlalu banyak dan berada di atas kepalaku.” Ucapnya. “Siapa suruh kamu duduknya di dalam kolam,” balas Eiko sedikit kesal, “Apakah kamu tidak bisa berenang?” selidik gadis polos itu. “Hei… kamu jangan bicara sembarangan, julukan ku adalah anjing laut, mana mungkin aku tidak bisa berenang!” belanya. “Bukankah anjing laut itu pandai berenang?” tanya Eiko keheranan, “Iyakan? Bahkan anjing bisa berenang, guk-guk… guk-guk…” ia meledek sambil berlalu. “Ikh dasar kamu ngeledek aku ya?!” Hikaru menonjok air. Eiko menyerengeh senyum, menampilkan gigi-giginya yang rata. ketiganya segera naik dari kolam. Kini ketiganya pulang sudah berganti pakaian, Eiko dengan memakai pakaian olahraga Hikaru, begitupun dengan Bilal, sedangkan Hikaru memakai kaos dan celana yang dibawa oleh Eiko. “Apakah kamu ingat tempat ini?” tanya Bilal saat melewati tempat pertama kali bertemu dengan Eiko. Kini berganti Bilal yang berseri, mengingat pertemuan pertama antara dirinya dan Eiko. “Iya, aku ingat, saat itu dingin sekali, dan hujan, lalu kamu memberikan aku payung.” Eiko jelas mengingat semuanya. “Dimana rumahmu? Biar aku mengantarmu pulang,” tawar Bilal. “Aku tinggal dengan Hikaru,” jawabnya dengan penuh senyum, membuat Bilal tak bisa menghentikan pandangannya. “Aku tinggal di toko seblak sebelah sana!” Eiko menunjuk jalan yang lurus. “Ayo, kita kan searah,” Hikaru menggandeng tangan Eiko, bahkan sedikit menyeretnya. “Tuh kan benar, jadi aku pulang bareng dia aja, kita akan sering bertemu payung…” ucapnya masih dengan senyum yang tak pernah surut dari wajahnya eiko melambaikan tangan. Lalu dibalas dengan senyum juga dari Bilal. Baru kali ini ia tersenyum dalam waktu yang lama. “Hei… Eiko…” Hikaru berhenti mendadak, membuat Eiko yang berjalan di belakangnya menabrak dirinya. “Coba lihat dirimu…” tambah Hikaru dengan sedikit menunjuk jidat Eiko. “Aku suka bajunya, hihi.” Ia terus tersenyum. “Kamu beli dimana? Ini sangat nyaman sekali.” “Kamu tidak akan mampu membelinya.” “Kenapa sih manusia suka menghambur-hamburkan uang hanya untuk pakaian?” “Eiko, jangan bilang kalau kamu melompat tadi ingin menyelamatkan aku!” Hikaru ingin mengkonfirmasi apa yang dilakukan oleh Eiko di kolam renang. “Enggak! Aku hanya ingin menyelamatkan anjing laut yang tidak bisa berenang.” Skak. Hikaru tak bisa melawan. “Hei… Eiko,” panggilnya karena telah di tinggalkan. “Apakah kamu benar-benar tidak bisa berenang?” tanya Eiko polos. “Bukanya tak bisa renang, hanya saja aku malas untuk bermain air.” Belanya. “Tapi meskipun kamu malas, kalau pelajaran berenang, kamu harus ikut berenang. Kaya si payung.” Eiko memberi sedikit nasehat. “Kalau aku gak malas, berenang aku lebih keren daripada Bilal.” “Bilal? Jadi payung itu namanya Bilal?” “Lagian hari ini aku merasa badanku tidak enak. Uhuk… uhuk…” Hikaru pura-pura batuk. “Kamu kena flu? Apakah kamu sakit?” Eiko mengecek dahi Hikaru. “Hei… lepasin,” pemuda itu menepis tangan Eiko. “Dengerin aku ya, lain kali kamu jangan main lompat gitu aja ke kolam, bukanya membuat situasi lebih baik, malah memperkeruh situasi. Ngerti?” “Iya, tapi kan tadi kamu dalam bahaya.” “Satu lagi, kenapa kamu tersenyum pada Bilal? Aku tidak suka!” “Oh iya Bilal, namanya keren, aku suka hihi,” masih dengan senyum yang sama. “Keren kamu bilang? Lebih keren nama aku daripada dia?” “Iya, nama kamu juga keren.” Eiko terus tersenyum. “Kamu harus menyebutkan namaku lebih keren daripada dia!” Hikaru terus protes. “Ya. Namamu cocok dengan dirimu. Psiko.” Meskipun memuji, namun di akhir kalimat eiko meledek psiko pada Hikaru. “Dasar otak udang.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD