Trauma

1479 Words
Siang ini kedai sangat ramai pengunjung, banyak juga yang datang dari sekolah baru Hikaru, termasuk Naomi dan Amanda, entah sedang apa mereka di sana. Eiko sibuk melayani para pengunjung, dan Hanan sibuk memasak beragam seblak dan bakso aci yang levelnya berbeda-beda. “Wajahnya sangat asing, tapi memakai seragam sekolah kita, apakah kamu mengenalnya?” tanya Naomi kepada Amanda, keduanya sedang memperhatikan Eiko yang melayani mereka dengan seragam sekolah yang dibeli bersama Hikaru. “Hei… kenapa kamu memakai seragam sekolah?” tanya Naomi langsung pada Eiko pada saat menghidangkan seblak pesanannya. Namun sama sekali tidak dihiraukan oleh Eiko, ia tengah sibuk mendengarkan kuis di layar televisi. Meskipun seluruh tubuhnya bergerak ke sana kemari membantu Hanan, tetapi pendengarannya cukup jelas mendengar dan menjawab pertanyaan dari moderator di layar kaca. “Kapan proklamasi diumumkan?” “17 Agustus 1945.” Eiko menjawab tanpa melihat layar televisi. “Kapan Indonesia merdeka secara resmi?” “27 Desember 1949, setelah perjanjian Renville.” Semua pertanyaan dijawab oleh Eiko dengan benar, padahal ia sedang sibuk melayani pelanggan. “Hei… Eiko, ternyata kamu pintar ya?” tanya Hanan, yang sejak tadi memperhatikan karyawan imutnya tersebut. “Aku juga cukup banyak mengetahui hal-hal dasar seperti itu Nek.” Ia jawab dengan menampilkan gigi-giginya yang juga rapi dan juga sikapnya yang ceria. Bukan hanya Hanan yang memperhatikan bagaimana cara Eiko menjawab, disana Naomi dan Amanda juga terkejut dengan jawaban yang selalu tepat yang dikeluarkan dari mulut eiko. “Aku juga sama seperti dia,” Naomi tidak mau kalah, ia mengeluarkan buku-buku pelajarannya. “Hei sini…” Naomi menarik lengan Eiko, “Kamu harus aku uji dengan soal-soal dari buku ini,” Naomi mengeluarkan buku matematikanya, dan membuka bagian yang sebelumnya ulangan dengan hasil yang sangat buruk. Tanpa diinstruksikan, Eiko langsung mencontreng jawaban dalam pilihan ganda. Sementara itu, Naomi mencari perbandingan jawabannya, setelah benar-benar selesai mengerjakannya, Naomi membandingkannya, dan ternyata jawabannya sama, berarti Eiko adalah anak pintar sebenarnya , ia harus bisa mengalahkan orang yang paling pintar di dalam kelas mereka. “Wah… benar semua.” Satu persatu Naomi bandingkan jawabannya. “Nenek Aku pulang…” teriak Hikaru dari pintu masuk toko, ia datang berdua dengan Joshua. “Ekh, kenapa kamu malah mengerjakan PR ku?” Naomi salah tingkah ketika melihat kedatangan Hikaru, ia tidak ingin terlihat bodoh dimata pemuda pujaan hatinya, lalu ia menutup buku dan memasukan kembali di tasnya. “Tidak apa-apa,sedikit lagi selesai.” Eiko menahan buku yang hendak dibereskan. “Jangan! sudah selesai, kamu tidak perlu membantuku.” Ia membereskan bukunya, berdiri dan pergi. Lain dengan Amanda yang memang lebih tidak pintar dengan Naomi, “Kamu kerjakan ini, aku akan bawa besok bukunya!” ia mengeluarkan buku dan tanpa rasa malu sedikitpun ia menyuruh Eiko untuk mengerjakan pekerjaan sekolahnya. Keduanya pun pergi. “Hei…” teriak Hanan. Seblak dua orang sahabat itu belum disentuh sama sekali. Tapi akhirnya di biarkan saja, Joshua yang menghabiskan. Tak ayal dia sangat senang. “Hikaru…” panggil Hanan, “Ikut nenek…” Hikaru sedikit diseret menuju ruang tamu di belakang toko. “Tadi nenek coba ke kantor polisi, barangkali ada berita orang hilang, dan ternyata tidak ada informasi orang hilang,” Hikaru mendengarkan dengan seksama, “Nenek pikir dia berasal dari tempat yang jauh, lalu polisi bilang harusnya dia dimasukkan ke dinas sosial yang mengurus anak-anak remaja, supaya dia juga mendapatkan perawatan dengan baik,” terang Hanan. “Itu tidak mungkin.” Hikaru memotong, “Dia pasti bikin banyak masalah, dia tidak tahu apa-apa untuk di kirim ke sana, biarkan saja dia disini, sampai ingatannya pun benar-benar pulih,” tegas Hikaru. “Kita tunggu saja sampai waktunya tiba, mungkin esok lusa pikirannya pulih.” “Iya… iya… nenek juga setuju, tapi dia harus sekolah, nenek lihat dia cukup pintar.” Hanan memberi usul. “Sekolah? Dimana?” “Di sekolahmu saja, dia juga sudah membeli seragam kan?” “Tidak, aku tidak mau satu sekolah dengan dia, masukan saja ke sekolah lain.” “Mungkin kalau dia sekolah ingatannya cepat kembali.” Hanan menguatkan. “Dia harus menggunakan otaknya supaya lebih pintar.” “Akh tidak, sama saja, sama seperti nenek, karena terlalu sering berjalan lalu kaki nenek jadi sakit, dia juga gitu, kalau otaknya dipakai dia bakalan tambah eror.” Pemikiran yang sangat salah dari Hikaru, padahal dia tahu betul kalau otak itu semakin dipakai berpikir akan semakin tajam pikirannya. Ia berkata seperti itu karena dia tidak ingin Eiko sekolah di sekolah yang sama dengan dirinya. “Pokoknya kalau mau sekolah, ke sekolah lain saja, jangan di sekolahku.” Hikaru menegaskan dan pergi. Keesokan harinya di sekolah… “Kamu pandai sekali membuat puisi, dengan indah dan bahkan spontan, apakah kamu ingin bergabung di klub literasi bersama ku?” ajak Yura, perempuan cantik kedua di kelas ini, namun ia tidak sebar-bar Naomi. Ia lebih elegan. Yura duduk di atas meja Hikaru, dan sedikit kurang sopan dengan menampilkan beberapa lekuk tubuhnya. Ikota yang sebelumnya akan keluar kelas, menahan diri setelah mendengar suara Yura bicara dengan Hikaru. Giginya menggertak, kesal. “Tidak mau!”tolak Hikaru, tegas. “kalau caramu seperti ini dalam mencari anggota, gue gak akan pernah mau,” tambahnya. “Apakah kamu tahu kalau aku bisa membuat hidupmu di sekolah ini menyenangkan atau menderita?” Yura menyilangkan tangannya di atas perut. “Sekarang saja hidupku sudah sangat mengerikan,” balas Hikaru. Yura bertatap sinis dengan Ikota yang memperhatikannya sejak tadi, ia mungkin sengaja melakukan ini untuk membuat Ikota semakin cemburu, jadi apa yang diinginkan Yura sebenarnya? “Kamu harus tahu, kamu akan bergabung di grup kita,” tegasnya, lalu pergi. Hikaru memandangi gadis mengerikan itu sampai benar-benar keluar dari kelas. “Hikaru, sepertinya hidupmu akan sangat banyak masalah,” ucapnya pada diri sendiri, memperingati bahwa sejak ia bergabung di sekolah ini banyak kejadian mengesalkan. *** Kolam renang sekolah Materi renang sejak dulu seringkali dihindari oleh Hikaru, ia memiliki trauma yang besar dengan kolam dan berenang. Ia berganti pakaian dengan tidak bersemangat. “Jadi berapa bayaran untuk lesnya?” terdengar suara yang sedang melakukan panggilan, “Lu urus aja adik gue yang bener, baru soal duit urusan nanti,” suara Ikota sedikit meninggi dan tegang. “Jangan ajak gue ke pertemuan keluarga, memangnya sejak kapan gue hadir di acara kaya gitu?” ia mematikan panggilan sebelah pihak. Hikaru yang berada di sana tidak sengaja mendengar apa yang Ikota bicarakan. Ternyata seorang pembully pun memiliki masalah di belakangnya, dan bisa saja dia membully karena pelampiasan amarah tersebut. Ikota balik kanan, dilihatnya Hikaru yang berdiri di depan loker. Brak… Pintu loker ditinjunya, “Sejak kapan Lo nguping disini?” tuduh Ikota. Dengan mata yang saling menatap tajam, Hikaru membalas ocehan Ikota, “Gue gak nguping, gue cuma denger!” Hikaru menepis tangan Ikota yang menghalangi lokernya, dan menutup dengan keras lalu meninggalkaN kota yang penuh kekesalan. “Dasar anak sialan.” Pritt… Noru, guru olahraga membunyikan peluit, pertanda untuk bersiap berbaris dan satu persatu menceburkan diri ke air. “Bilal, tunjukkan gaya bebas 50 meter pada teman-temanmu,” seru Noru. Sebagai murid paling pintar, Bilal dengan percaya diri maju ke depan, lalu memposisikan diri berjongkok di tepi kolam. Prit… Noru membunyikan peluit tanda mulai. Bilal langsung menceburkan diri dan berenang dengan gaya bebas. “Sekarang lakukan bergantian,” setidaknya ada empat baris murid-muridnya yang siap bergantian menceburkan diri, satu persatu barisan sudah tenggelam dan melaju dengan gaya bebas. “Karu, kamu sangat berbagai olahraga, apakah kamu yakin tidak akan melakukan renang?” tanya Joshua, ia tahu kalau Hikaru tidak akan berenang. “Airnya dingin, aku suka berenang di air hangat.” Hikaru beralasan. “Akh yang benar saja kau…” ledek Joshua, tidak percaya dengan alasan air dingin. Sejak berbaris Ikota tak pernah melepaskan pandangan penuh amarah kepada Hikaru, ia seperti merencanakan sesuatu untuk pemuda tampan penuh karisma tersebut. Kini giliran Hikaru untuk menceburkan diri, ia celupkan kakinya sedikit, untuk mengecek suhu air. “Uhuk… Uhuk…” ia pura-pura batuk, “Pak maaf, saya sedang tidak enak badan, jadi saya tidak akan ikut berenang untuk hari ini,” ucapnya beralasan. “Ekh? Kamu anak baru dan tidak ingin ikut berenang? Kalau begitu berarti kamu membereskan peralatan sebagai gantinya.” “Baik pak,” itu lebih baik untuk Hikaru. “Oke selanjutnya.” Noru membunyikan lagi peluitnya, sampai semua orang kecuali Hikaru, selesai dengan berenang gaya bebas. Hikaru memandangi kolam renang. Bukan tidak ingin ia menguasai olahraga yang satu ini, namun trauma di masa lalu membuatnya selalu mengurungkan diri untuk berenang. Selesai berenang, semua bergegas untuk bersiap ke kelas untuk melanjutkan pembelajaran selanjutnya. Begitupun Hikaru, ia akan melakukan bersih-bersih setelah jam sekolah selesai. Dibukanya loker tempat ia menyimpan pakaian, namun tidak ada seragam di sana, hanya ada kalung dengan gantungan kunci yang tersisa. Ia kaget, namun berusaha untuk tenang dna mencari seragamnya dimana. Suara keran air terdengar, airnya menggenang karena salurannya tertutup, ia mendekati wastafel, ternyata ada seragamnya disana, sudah tergenang air dan jelas, basah semua. “Siapa yang melakukan ini?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD