Sat set Hikaru masuk ke bilik toilet sebelum Yuka keluar dari balik pintu, dan langsung mengunci kembali dari dalam.
Preeeettt…. Suara dari balik pintu.
“Astaga….” Daren, dan Namato refleks memegang hidung, padahal tidak ada bau apapun disana.
Hikaru hanya meniup tangannya sampai berbunyi preeettt, dan memberi instruksi diam pada Yuka.
“Hah… nikmat sekali, plong rasanya, semua sudah keluar…” Hikaru menghayati perannya, berpura-pura buang air besar.
“k*****t…” Ikota melotot kaget.
“Astaga jorok banget Lu!” gerutu Namato.
“Hei… keluar kalian!” kini Daren yang maju, “Keluar…”
Brak… brak… brak…
Daren menendang pintu sepenuh tenaga. “Keluar!” teriaknya.
“Hei…” terdengar suara dingin mengalihkan suasana tegang. Ketiga preman itu kompak mengalihkan pandangan pada sumber suara. Bilal, yang ternyata sejak tadi menyaksikan keberingasan tiga preman itu.
“Hentikan! kembali ke kelas!” dengan nada datar Bilal coba memberi peringatan.
“Kalau lu mau ke kelas, balik aja sendiri, gak usah ganggu kita!” balas Namato.
“Sekarang pelajaran adab mulia, apakah kalian tidak ingin orang tua kalian dipanggil hanya gara-gara keisengan kalian pada mereka berdua?” Bilal melirikkan matanya ke arah pintu. Disana Hikaru mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan Bilal, pelajaran adab mulia, harus tepat waktu, kalau tidak, bisa-bisa mereka tidak diijinkan ikut dalam pembelajaran.
“Bukankah orang tua kalian sibuk jika harus mengurus kalian dengan kasus sepele kaya gini?” tambah Bilal, meyakinkan ketiga preman itu untuk segera pergi.
Dengan hati dongkol, Ikota menghembuskan nafas kasar. Ia takluk oleh perkataan Bilal. Ia tidak ingin berurusan dengan orang tua, jangan sampai orang tuanya datang ke sekolah. Lalu ia memilih mengalah, mungkin ada waktu lain untuk melanjutkan kekesalannya pada Yuka.
“Hai… Yuka! Pelajaran adab mulia menyelamatkan lo hari ini.” Teriak Daren.
“Makasih infonya.” Ikota menepuk bahu Bilal, memberikan sedikit respek karena memperingatkan pelajaran adab mulia.
Dengan pandangan menunduk, ketiganya berlalu di balik pintu utama toilet.
Hikaru dan Yuka segera keluar, ingin mencari tahu siapa yang membantu mereka. Bilal dan hikaru sempat beradu pandangan.
“Hah… kau…” Hikaru seperti pernah melihat Bilal, namun entah dengan Bilal, dengan tatapan dingin ia ikut berlalu keluar dari toilet. “tidak mungkin dia lupa dengan aku, apakah dia punya otak?” tanya Hikaru.
“Dia adalah murid paling pintar di kelas kita,” informasi yang sangat luar biasa dari Yuka, Hikaru tahu siapa orang yang bisa diajak bersaing. Mungkin.
“Makasih udah bantu gue.” Ucap Yuka tulus, keduanya berlari kecil supaya tidak kesiangan. Yuka berlari lebih dulu.
Hikaru berhenti, melihat Bilal yang sangat santai berjalan menuju kelas.
“Hei…” Hikaru merangkul Bilal, “Ayo kita masuk kelas bareng-bareng, biar gak terlalu malu masuknya,” ajak Hikaru.
“Akh masuk bareng malah makin malu-maluin tahu.” Bilal melepaskan rangkulan Hikaru, pertanda penolakan dari laki-laki dingin ini.
“Tentu saja itu karena aku lebih ganteng dari mu, ya kan?” Hikaru memuji diri sendiri, mencari alasan supaya bisa pergi duluan, mungkin Bilal sungkan saja untuk menerima tawarannya, “Kalau begitu nikmatilah harimu dengan tenang.” Ia sedikit berlari dan meninggalkan Bilal yang masih saja berjalan perlahan.
Dreett… Handphone Bilal bergetar.
“Sayang, maaf hari ini mama mendadak tidak bisa bertemu denganmu, tiba-tiba ada pertemuan yang tak bisa dihindari. Mama akan mengirim uang, traktirlah teman-temanmu sepuasnya.”
“Hah…” ia bernafas kecewa. Tiba-tiba langkahnya menjadi sedikit cepat.
Sementara itu di dalam kelas sudah hadir guru adab mulia, yang ternyata adalah Kireina.
“Ibu tidak ingin di pelajaran ibu kalian masih mengerjakan pelajaran yang lain,” dengan sigap seluruh mudir mengganti buku pelajaran.
“Hari ini akan terasa menjenuhkan,” ucap salah seorang diantara mereka.
Kireina menyalakan laptopnya, membuka beberapa file audio yang akan diperdengarkan kepada anak-anak didiknya. Begitulah ia mengajar, tanpa capek menerangkan materi, ia lebih memilih merekam sebelum mengajar, materi yang berulang tidak perlu dijelaskan berulang, apalagi materi yang sama bukan hanya pada kelas ini saja, tetapi kelas yang lain, ia harus menghemat tenaga untuk menjawab pertanyaan anak-anak didiknya saja.
Kireina melihat tempat duduk Bilal yang masih kosong, ia akan memberikan pelajaran pada siapapun yang terlambat masuk pada jam pelajarannya.
Materi hari ini tentang saling menghormati dalam keluarga, materi yang tidak disukai oleh Bilal, mengingat di dalam keluarganya yang tidak ada kehangatan sama sekali.
Tok… tok… tok…
Terdengar suara ketukan dari pintu, munculah Hikaru yang baru datang. Kireina yang sedang membaca materi lain, menghentikan aktivitasnya.
“Permisi, maaf terlambat Bu, saya dari toilet dan cuku mengantri.” Tanpa di tanya Hikaru segera menjelaskan alasannya.
Tidak lama dari itu, Bilal masuk tanpa rasa bersalah dan langsung duduk di singgasananya.
“Kalian tahu terlambat berapa lama?”
Hikaru mengernyitkan dahi, ada sesuatu yang ia rasa, rasanya ia pernah melihat guru yang berada di depannya itu, tapi dimana.
“Keluar kalian berdua!” Seru Kireina, tanpa pandang bulu. Hikaru yang murid baru dan Bilal sebagai anak sambungnya diusir dari pelajarannya.
Bilal berdiri, mendorong kursi ke belakang agak kasar, lalu keluar.
“Saya akan lebih baik kedepannya.” Hikaru coba untuk bernegosiasi.
“Keluar! Kalian mengganggu yang lain.”
Pemuda tampan itu tidak bisa menolak, balik kanan dan mengikuti Bilal yang telah lebih dulu berdiri di luar kelas.
Trio preman memperhatikan drama guru dengan murid tersebut, “Namato, cari tahu informasi tentang murid baru itu,” seru Ikota, seperti ada dendam yang harus dibalaskan.
Di luar ruangan Bilal dan Hikaru hanya mendengarkan sambil berdiri, Hikaru yang pertama diajari dengan hanya metode mendengarkan dari audio merasa takjub pada gurunya tersebut.
“Cerdas sekali dia, dia mengajar tanpa bicara, siapa dia? Apakah dia penyanyi? Seperti mengajar lipsing,” ia terkesima melihat Kireina di balik kaca pintu.
Bilal tidak menanggapi ocehan Hikaru.
“Hei…” Hikaru menepuk Pundak Bilal, “Apakah kamu mengembalikan tas itu pada pemiliknya?” ia coba mengakrabkan diri dengan mengungkit kejadian kemarin.
Bilal melihat sekilas Hikaru yang tak berhenti mengoceh, lalu melihat situasi di dalam kelas.
“Maaf, sepertinya kamu harus aku tonjok,” ia mencari perhatian Kireina.
Bruk… Bilal menonjok teman barunya tanpa aba-aba.
“Hei…” Hikaru tidak sempat bertanya, bahkan melawan pun sulit.
“Maaf, sekali lagi,” mata bilal tidak lepas dari Kireina, ia ingin tahu apa yang dilakukan ibu sambungnya tersebut jika melihat ia berkelahi.
Bruk… bibir hikaru kini berdarah. Tak ayal membuat pemuda tampan dan berkarisma itu pun meradang, ia berdiri, menarik kerah Bilal dan akan membalasnya.
“Hentikan! Apa-apaan kalian!” namun sayang Kireina telah lebih dulu keluar dari kelas, “Lepaskan dia!" serunya.
“Lu mau ngebully gue?” tanya Hikaru penuh amarah, “Tadinya gue mau diam, tapi…”
“Sudah! Hentikan!” Kireina langsung menyala. Ia berusaha menengahi dua pemuda berkelahi tersebut.
“Kamu tahu apa yang akan terjadi kalau kamu berbuat seperti ini?” Kireina bicara tepat di depan Bilal.
“Kau akan membawa mamaku ke sini!” balas Bilal penuh tantangan. “Lakukan saja, mamaku sibuk, apakah dia bisa datang ke sini? Dan kalau bisa, jam berapa mamaku akan datang ke sini?”
Plak…
Bilal malah mendapatkan tamparan keras dari guru sekaligus ibu sambungnya tersebut. Hikaru lebih terkejut dengan perlakukan Kireina, hanya karena Bilal menantangnya, Bilal ditampar sangat keras. Itu lebih sakit dibandingkan dengan dua tonjokkan yang dia terima dari Bilal.
“Hukuman untuk dua orang berkelahi, silahkan berlari lima puluh putaran di lapangan.” Kireina memutuskan menghukum dua pemuda tersebut.
Tanpa ditolak, Hikaru dan Bilal langsung berlari menuju lapangan. Mereka saling mendahului, padahal tidak ada balap lari di sana, tapi satu sama lain tidak ingin berada di belakang.
Itu tidak berlangsung lama, Hikaru penasaran dengan sikap Bilal, kini mereka berlari sejajar.
“Ada yang ingin lu bilang ke gue?”
“Maaf.” Ucap Bilal tulus.
“Permintaan maaf saja belum cukup, lihat wajah tampan gue jadi babak belur seperti ini gara-gara Lu!”
Bilal menghentikan larinya.
“Tonjok gue,” ucapnya datar.
“Apa?” Hikaru tidak mengerti.
“Lu juga boleh tonjok gue kalau lu mau,” tawarnya lagi.
Bukh…
Tanpa berpikir panjang Hikaru langsung menonjok Bilal dan membuat pemuda dingin itu terhuyung limbung namun tidak jatuh.
“Satu tonjokkan lagi akan gue lakukan saat mood ingin nonjok lu!”
“Hah…” Bilal tertawa mendengar alasan Hikaru tentang mood menonjoknya.
“Lu ngetawain gue? Gue pastiin satu tonjokkan itu gak akan pernah membuat lu tertawa lagi. Lu bahkan gak bakalan sempat terkejut, atau lu bahkan akan mampus.”
Bilal tak menanggapi, ia melanjutkan larinya. Benar-benar laki-laki berhati dingin.
Kini mereka berlari sejajar, tidak saling salip siapa duluan siapa di belakang.
“Lu suka ya sama Bu Kireina?” tanya Hikaru.
“Sakit pipi lu udah hilang? Mau gue tambah satu tonjokkan lagi?”
“Lu juga kesakitan, jangan lupa, jatah tonjok gue masih ada satu.” Hikaru memperingati, “Gue gak akan nonjok yang gak waras, itu prinsip gue.” Tambahnya.
“Apakah gadis itu tidak apa-apa?” Bilal mengalihkan topik. Sejak kemarin ia terus teringat dengan Eiko yang pingsan di pangkuannya.
“Siapa?” Hikaru coba mengingat siapa yang dimaksud teman barunya itu, “Oh… si aneh, sinting dan suka menyusahkan orang itu? Kenapa?”
“Sepertinya dia sakit.”
“Dibandingkan dengan fisiknya, ada hal lebih aneh dalam dirinya, dan lebih parah dari hanya sekedar pingsan. Itu adalah kesehatan mentalnya,” terang Hikaru, menjelaskan hal-hal aneh yang ia rasakan tentang Eiko. suka bicara sendiri, jelas itu sangat aneh.
“Lu suka sama dia?” pancing Hikaru.
Bilal tak menjawab, dia malah lari meninggalkan Hikaru.
“Apa-apaan dia, dasar naif.” Gerutunya, Hikaru langsung mengejar lari Bilal, kini mereka kembali ke posisi awal, saling mendahului berlari.
“Hah…” keduanya terengah-engah, menjatuhkan diri di rumput sintetis lapangan bola. Dengan kejahilan Hikaru, ia menyimpan satu kakinya di atas satu kaki Bilal.
Bilal tak ingin kalah, ia menarik kakinya dan menjatuhkan di atas kaki Hikaru. Seperti sepasang adik kakak yang sedang berkelahi, namun mereka tidak jelas sedang apa. Sampai mereka puas dan tertawa lepas, sedangkan nafas masih tersengal setelah lari lima puluh putaran.
Dari kejauhan, tiga pasang mata menatap kesal, menyiapkan strategi untuk membalas apa yang telah hikaru dan Bilal lakukan sebelumnya.