1 Dengan Tangan Kosong
Bunyi ketukan keras berasal dari sebuah pintu peot, rumah sederhana itu ditempati oleh dua orang yang merupakan keluarga kecil.
"Hei, Hani! bayar utang kau!" teriak lantang seorang pria yang ditujukan ke arah rumah yang berada tepat di depan pria itu. Tak lain dan tak bukan maksud dari teriakan pria ini untuk penghuni rumah bobrok itu.
Setelah beberapa detik teriakan pria itu, dia menyingsingkan lengan bajunya sebatas siku, memperlihatkan buku-buku tangan yang berotot. Mungkin pria ini sudah sering sekali berlatih keras hingga poster tubuhnya terlihat bugar dan keras.
"Aku bilang apa, Bang Sep, si Hani janda muda tidak tahu diri itu pasti tak akan mau bayar utangnya," ujar salah seorang lelaki yang datang bersama dengan pria yang tadi berteriak lantang. Perawakan wajahnya hampir mirip dengan orang yang dipanggil ‘Bang Sep’ olehnya.
Yosep melirik kesal ke arah lelaki yang merupakan adik kandungnya. Dia mencibir, "Dasar janda tak tau diuntung! berani pinjam uang tapi tak berani bayar, kalau begini, aku benar-benar menyesal memberikan dia pinjaman."
Sesungguhnya cibiran ini lebih terdengar seperti cacian kepada sang penghuni rumah.
Pria yang merupakan adik Yosep itu melirik ke arah pintu rumah, lalu kembali melirik ke arah sang kakak sambil berkata, "Bang, sebaiknya kau laporkan saja si Hani ini pada polisi, biar nanti dia kapok kalau masuk penjara, dia juga pasti akan tinggal lama di dalam hotel prodeo."
Wajah dari sang adik Yosep itu terlihat kesal.
Mendengar suara pria yang baru saja menyarankan agar dia dilaporkan saja ke polisi, Hani-janda muda yang kini sedang memeluk anak perempuannya yang ketakutan itu ikut merasakan takut.
Dia tentu saja tidak ingin berurusan dengan pihak berwajib, apalagi masuk hotel prodeo alias penjara.
Hani menggelengkan kuat kepalanya sambil memeluk sang anak. "Sialan, aku kehabisan akal kali ini," gumam Hani kesal sambil menahan ketakutan.
Badannya agak gemetar, namun dia tetap berusaha agar terlihat tenang meski ada dua orang pria dewasa berbadan kekar yang mengetuk keras pintu rumahnya sambil mencaci kesal.
Di dalam pelukannya, seorang anak perempuan berusia enam tahun menggigil takut. Dia memang sudah terbiasa mendengar suara teriakan dari orang-orang yang silih berganti meminta pada sang ibu agar membayar utang-utang sang ibu yang telah menggunung, namun sang ibu pada hari sebelumnya bisa menghindar dengan berbagai cara dan alasan. Sayangnya, untuk hari ini pikirnya sang ibu kehabisan akal, mungkin saja ibunya tidak selamat jika ditemukan oleh orang yang sedang kesal dari depan pintu rumahnya.
"Ben, otak kau lancar juga bisa punya ide bagus begitu," puji Yosep.
Beni yang sejatinya adalah saudara kandung Yosep itu mengangguk.
"Sudahlah, Bang. Jangan kau risaukan tentang si Hani ini, dia ini tak akan kemana-mana, mau lari ke mana dia dengan anaknya yang kecil itu?" ucap Beni penuh keyakinan.
Yosep mengangguk membenarkan.
"Benar juga kata kau, dia tidak akan bisa lari," timpal Yosep yakin.
"Begini saja, hari ini kita laporkan saja ke polisi si Hani ini, biarkan laporan kita polisi yang urus, besok juga pasti polisi akan datang ke sini dan membawa dia ke penjara," usul Beni.
Tanpa pikir panjang Yosep mengangguk.
"Abang setuju dengan usul kau," balas Yosep.
Yosep melirik ke arah pintu rumah, dengan kesal bercampur amarah dan nada ancaman, dia berkata, "Heh Hani, kau tak mau bayar utangmu, kan? kau sudah enak-enak ambil uang dariku hingga ratusan juta, tidak bayar tepat waktu namun aku masih tetap mempercayai mulut kau yang manis itu. Tapi sekarang, kau camkan ini baik-baik, aku akan laporkan ke polisi bahwa kau tak mau bayar utangmu, surat perjanjian utang-piutangmu ada padaku, biar kau masuk saja ke penjara dan tidur di sana!"
Beni ikut menambah bumbu. "Kau pakai enak uang Abangku hingga ratus juta, tapi Abangku masih berbaik hati dan menghargaimu karena melihat nasibmu janda beranak satu yang ditelantarkan suamimu, tapi kau pandai membual, uang yang kau pinjam dari Abangku tak sepeserpun kau kembalikan. Kali ini kau akan dibuat tobat oleh Abangku!"
Kata-kata yang dikeluarkan oleh Beni membuat Hani menutup kelopak matanya dengan tubuh bergetar, sesungguhnya Hani menahan emosi amarah dan juga ketakutan yang bercampur dalam hatinya. Ini adalah kata-kata penghinaan padanya, namun apa daya dia tak sanggup membalas ucapan penghinaan itu.
Yosep mengangguk. Dia berbalik dari rumah itu dan mencibir, "Entah siapa yang berutang dan siapa yang memberi utang, setiap aku datang ke sini untuk menagih utang, tetap saja aku sial tak dapat apa-apa."
Beni melangkahkan kakinya mengikuti kemana sang kakak pergi. Mereka memasuki sebuah mobil kijang Innova yang sudah lumayan usang, namun masih terjaga dengan baik berkat perhatian dari Yosep.
Yosep menginjak pedal gas, sementara itu adiknya duduk di jok penumpang depan.
"Entah kutukan apa yang menghampiriku hingga aku sial begini, waktu ada uang, aku meminjamkan uangku pada orang-orang namun disaat aku butuh uang, orang-orang yang meminjam uangku bahkan membuang muka dan menghindar seolah tak kenal denganku. Mana hukum tabur tuai yang mengatakan bahwa apa yang kau tanam itulah yang kau tuai? omong kosong!" keluh kesah Yosep.
Yosep sungguh benar-benar marah saat ini, ingin rasanya dia menghancurkan rumah peot milik Hani, namun sekeras apapun dia berteriak dan mencaci tak ada yang meresponnya dari dalam, seakan rumah itu tidak ada penghuninya.
Beni melirik ke arah wajah kakaknya, terlihat kentara sekali bahwa sang kakak benar-benar marah pada Hani dan orang-orang yang berutang pada sang kakak.
Sifat manusia memang sudah manusiawi seperti apa yang dikatakan oleh sang kakak bahwa manusia itu hanya suka senangnya, susahnya mereka buang. Dulu waktu mereka butuh uang, mereka datang sambil terseok-seok pada kakak lelakinya untuk meminjam uang, berharap sang kakak laki-laki akan meminjamkan uang. Namun sekarang setelah uang pinjaman mereka terima, orang-orang yang meminjam uang itu bahkan hilang seperti ditelan bumi, setelah mereka hidup senang dengan mengambil utang, mereka bahkan tidak ingin bayar kembali utang mereka.
"Aku tengok status-status b******n yang pinjam uangku, mereka sedang jalan-jalan dan makan enak ke tempat-tempat bagus, bagaimana tak emosi kepalaku ini? orang yang mengutang enak-enak saja sementara orang yang memberikan utang malah sekarat kering kerontang!" ujar Yosep masih dengan nada kesal.
Setelah beberapa detik kemudian terdengar suara Yosep lagi.
“Di telpon tidak diangkat, dikirim pesan juga tidak dibalas, tiba-tiba hilang kabar, dasar biadab!”
Beni merasa iba pada sang kakak, dia turut prihatin dengan apa yang menimpa kakak lelakinya.
“Bang, kita coba ke tempat lain lagi, siapa tau kita beruntung ke tempat itu,” ujar Beni.
Yosep mengembuskan napas kasar, dia membalas, “Rumah si Hani itu sudah rumah ke lima, sudah lima kali juga kita pulang dengan tangan kosong.”
“Kadang aku bingung, mau menyalahkan siapa masalah dalam kehidupanku ini,” ujar Yosep.
…