bc

Goodbye kekasih brengsekku

book_age18+
323
FOLLOW
1.2K
READ
revenge
contract marriage
dominant
CEO
mistress
twisted
mystery
genius
city
enimies to lovers
like
intro-logo
Blurb

Lavenia masih terdiam melihat keangkuhan seorang pemuda tampan di hadapannya. ‘Mungkin Tuhan terlalu berlebihan memberikan kelebihan pada manusia senarsis kamu!’ batinnya merutuk kesal.

“Nona, apa kau sedang memuji ketampananku di dalam hatimu?” lanjut Brillian saat melihat sorot mata Lavenia yang tak lepas darinya.

“Cih!” Lavenia mendengus kesal lalu mengambil kontrak pernikahan mereka dari atas meja.

Begitu membaca beberapa lembar persyaratan, dia tertawa remeh di lembaran kertas yang terakhir lalu menoleh dengan tajam ke arah Brillian.

“Apa aku bisa mengajukan keberatan dengan persyaratannya?”

“Silakan.”

“Apa maksud dengan semua milik pihak kedua adalah milik pihak pertama?”

“Semua milikmu tentu saja adalah milikku, dan semua aset yang aku berikan padamu adalah milikku. Jika perjanjian kontrak telah selesai maka pihak kedua harus mengembalikan aset yang diberikan pihak pertama.”

Lavenia membuang napas berat lalu mengeluarkan pulpen dari dalam tasnya. Goresan tinta hitam membekas di atas surat perjanjian itu. Dia sama sekali tidak memikirkan harta. Asalkan bisa mendapatkan bukti kejahatan keluarga Lanson Swift, itu sudah jauh dari cukup.

Brillian berdiri dari kursinya dan mendekati Lavenia dengan beberapa langkah. Lavenia menjadi gugup melihat otot perut Brillian telah semakin dekat dengan matanya.

Brillian membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke depan wajah Lavenia. Kedua manik menyatu dalam satu pandangan sehingga membuat Lavenia perlahan memundurkan wajahnya.

Manik biru milik Brillian seakan mengambil alih semua organ tubuh Milik Lavenia, lidahnya terasa kaku untuk berucap. Bahkan tangannya terasa berat untuk mendorong bidang datar yang kekar dan masih basah.

“Ka-kau tidak boleh menyentuhku. Di perjanjian ada larangan untuk kontak fisik,” sela Lavenia dengan gelagapan.

“Welcome to my world, Lavenia Shine,” bisik Brillian tersenyum sinis lalu menjauhkan wajahnya.

chap-preview
Free preview
Second young master
     New York termasuk dalam sepuluh besar kota yang memiliki gedung pencakar langit tertinggi di dunia. Di jalan Fulton 285, Manhattan, menjulang tinggi ke langit sebuah gedung yang berdiri dengan kokoh dan megahnya bangunan arsitektur pada tampilan luar. Di depan gedung terdapat keramaian orang banyak yang tentunya bukanlah karyawan, melainkan para wartawan dari berbagai macam media masa. Lavenia yang baru saja keluar dari dalam bus, menengadah ke atas, melihat ketinggian gedung pencakar langit yang tak jauh berdiri di depannya. Ia melepaskan napas dengan serentak lalu di aturnya kembali gelombang rambut yang terurai di depan dadanya. Senyuman manis selalu ia mekarkan untuk menghilangkan segala aura buruk yang ada. Terjebak dalam drama motornya yang tiba-tiba saja mogok di tengah jalan membuat Lavenia terpaksa harus menggunakan transportasi umum untuk sampai ke tujuan. Dering ponsel yang tak mau berhenti berbunyi sejak tadi, seakan mendesaknya untuk segera menjawab panggilan itu. Senyuman manis seketika menghilang saat mengetahui jenis dering yang sengaja ia atur untuk panggilan dari manajernya. Lavenia hanya melirik ke layar ponsel dan mengirim pesan teks ke manajernya kalau ia telah sampai dan akan segera mewawancarai target. Maklum, kata terlambat sangat tabu bagi atasannya yang super cepat dalam segala hal. Ia menerobos masuk ke dalam kerumunan para wartawan kompetitor. Tubuhnya yang mungil mempermudahnya memasuki celah-celah kecil yang ada. Namun tidak semudah itu, ia masih harus berinteraksi dengan aroma tubuh bercampur keringat di antara para wartawan yang lain. Begitu sampai di barisan terdepan ia melepaskan napas leganya dan mengatur kembali gelombang rambut yang mengurai di depan dadanya seperti semula. Kemeja putih tangan panjang yang di pakainya dirapikan kembali sambil mengatur tata letak kartu nama yang menggantung. Penampilan yang rapi dan bersih baginya adalah salah satu penunjang keberhasilan pekerjaan yang ia lakukan. Saat mobil hitam mengkilap berhenti di depan lobi, para wartawan menyeru persis seperti penggemar yang menunggu artis favorit mereka. Saling dorong dan berdesak-desakkan terjadi di kerumunan wartawan untuk melewati barisan para pengawal yang berdiri membelakangi mobil. Seorang pengawal membukakan pintu mobil hitam itu. Dari dalam mobil keluar sosok lelaki muda yang ketampanannya mengalahkan Dewa Apollo. Brillian Lanson diberkahi keluarga yang sempurna dan kehidupan yang jauh di atas kata bahagia. Postur tubuhnya bagai atletik kejuaraan dunia. Setiap senti penampilannya merupakan kombinasi sempurna yang sulit ditolak para wanita, dan bukan hanya itu saja, Sang pencipta bahkan memberkahinya dengan kepandaian di atas rata-rata IQ para genius. Warna rambut cokelat gelap dengan potongan Pompadour Undercut Fade yang tersisir rapi ke belakang membuat bentuk wajahnya terpampang begitu nyata dan tegas. Setiap gerakan tegas yang dibuatnya mampu membuat para kaum hawa ingin menjadi bagian dalam dirinya, meskipun hanya menjadi pakaian yang ia kenakan agar bisa menyentuh hangat tubuhnya dan kekar ototnya yang tersembunyi di balik tampilan luar. Lavenia sejenak terpaku melihat objek yang dipuja-puja kaum hawa selama beberapa tahun ini. Dengan kesempurnaan yang dimiliki Brillian, wanita mana pun akan berlari dalam rangkulan hangatnya. Namun sayangnya, Brillian tidak sama seperti lelaki pada umumnya yang menunjukkan karakter aslinya di depan umum, ia lebih memilih diam dan membiarkan lelaki yang selalu berada di sampingnya yang menjadi juru bicaranya. Kali ini adalah peluang terbesar Lavenia untuk menggali seperti apa karakter Brillian yang sebenarnya, dan akan terdengar seperti apa suaranya. Dalam lamunan tanpa sadar Lavenia melengkungkan sudut mulutnya karena pengaruh pemandangan yang ada di depannya seperti menghipnotis dan membuat pikirannya amnesia untuk sementara waktu. Melupakan apa tujuannya datang ke tempat itu. Dorongan dari kerumunan orang membuat ingatannya kembali tersadar ke kenyataan. Satu-satunya tujuan dia bukan untuk mengagumi dalam diam, melainkan untuk mewawancarai Tuan muda kedua yang kehidupan dan penampilannya yang begitu sempurna. Lavenia mengangkat kartu tanda pengenalnya dan mengatakan pada satu pengawal kalau dia telah diundang untuk mewawancarai Tuan muda mereka. Awalnya beberapa pengawal mengacuhkan alasan yang dia ucapkan dan tetap menghalanginya untuk masuk, tapi seseorang yang mendampingi Brillian Lanson sempat melihatnya dan memberikan instruksi pada pengawal untuk mengizinkan Lavenia masuk ke dalam gedung. Suatu keberuntungan yang ia dapatkan. Biasanya wartawan yang diundang pun tidak akan mendapatkan kesempatan emas itu untuk mewawancarai Sang CEO, tapi kali ini mungkin saja doa ibunya telah didengar oleh Tuhan untuk melancarkan rezekinya. Gedung pencakar langit yang terlihat besar dan megah dari luar tak bisa menipu tampilan dalamnya juga. Semua isi dan tampilan interiornya benar-benar berkelas dan tidak seperti kantor pada umumnya, melainkan layaknya sebuah hotel bintang lima dengan fasilitas mewah yang mengisi volume ruangan di sekitarnya. Ia bahkan tertinggal jauh dengan Brillian yang berjalan begitu cepat karena memperhatikan kemewahan yang ditawarkan padanya saat ia masuk. Lambat langkahnya tidak dipedulikan oleh lelaki yang kini telah berada dalam ruangan lift. Lavenia berlari cepat dan melangkahkan kakinya yang kaku saat tengah berpikir ia akan satu lift dengan reinkarnasi Sang Dewa ketampanan. Sesaat langkah kaki Lavenia terhenti melihat telapak tangan lelaki yang berada di samping Brillian terpampang nyata di depan wajahnya. Tubuhnya yang bahkan masih berada di ambang pintu terdiam saat seseorang memberikan instruksi kalau kehadirannya ditolak. “Gunakan lift karyawan,” ucap suara bas dari lelaki yang berdiri di samping Brillian yang membuat Lavenia meneguk salivanya. Ia memundurkan kakinya ke belakang sambil melirik Brillian yang berdiri mematung seolah tidak peduli dengan apa yang ada di sekitarnya. Pandangan mata yang memaku pada satu titik dan bidang datarnya yang tegap tercondong ke depan membuat dirinya terlihat seperti mannequin Dewa ketampanan. Aroma Musk yang asalnya dari dalam lift menusuk masuk ke dalam hidungnya dan terhirup sampai menembus pikirannya. Sejenak penyakit amnesianya kambuh lagi karena hal itu, tapi tidak begitu lama ia kembali sadar saat pintu lift di depannya mulai tertutup. Bayangan Brillian pun perlahan menghilang dari manik hitamnya. Dengan cepat Lavenia mengulurkan tangannya di antara pintu lift untuk menyela pintunya tertutup. Aura dingin yang dikeluarkan Brillian saat Lavenia menyela perjalanannya menekan gerak lidah gadis yang ada di depannya untuk berucap. Sorot matanya menjadi tajam menatap lurus, alis kening pun mengerut tebal dan hampir menyatu, seolah tak ingin waktu dan kenyamanannya terganggu. Sekali lagi Lavenia menelan berat salivanya karena melihat aura predator dari lelaki yang berdiri di depannya telah terbangun. Rasa kaku seperti membeku di dalam rongga mulut membuat lidahnya terasa berat untuk berucap. “La-lantai berapa?” tanya Lavenia melukiskan senyuman polos di wajahnya. Ia tidak ingin menambah suasana buruk di hati Brillian sebelum memulai wawancara. Lebih tak ingin lagi jika gelarnya sebagai wartawan berbakat dicabut karena gagal sebelum berperang. Bukan hanya itu saja, tapi energi manajernya telah siap maksimal untuk membom atom dirinya dan melemparkannya keluar dari pekerjaan. “102,” jawab lelaki yang berdiri di samping Brillian sambil menempelkan kartu identitasnya di layar tombol lift. Tak ingin menunda waktu lagi, Lavenia segera masuk ke lift yang satunya dan menyusul lift Brillian. Untung saja tidak ada penumpang lain yang menunda pengejaran lift yang digunakan Brillian. Ia menunggu tujuannya sampai dengan memperhatikan penampilannya lewat pantulan dinding lift yang seperti sebuah cermin. Merapikan kembali rok selutut berwarna merah marron yang membalut sempurna lekuk pinggul agar terlihat tak kusut. Begitu juga dengan rambut dan kemeja, ia selalu memperhatikan penampilannya karena hal itu akan menentukan kesan pertama orang yang ia kunjungi. Begitu bunyi di lift terdengar, ia menerobos dengan cepat disaat pintu lift belum terbuka lebar. Ia mengekori Brillian dari belakang tanpa bertanya lagi karena mungkin suaranya saat ini tidak dibutuhkan. Koridor ruangan yang sangat panjang akhirnya mendapatkan ujung ruang. Langkahnya terhenti saat lelaki di samping Brillian berbalik melihatnya. Sontak Lavenia menebarkan senyumnya agar terlihat ramah. “Mohon menunggu di ruangan ini,” ucapnya sambil mengarahkan tangannya ke arah pintu di sebelah kirinya. “Tuan akan menemuimu setelah semua urusannya selesai,” lagi katanya, mengakhiri pembicaraan mereka. Lavenia mengangguk setuju. Manik matanya melirik sekilas punggung Brillian yang tengah berdiri di depan pintu. Lelaki itu berbalik darinya dan mendekati pintu yang ada di depan Brillian lalu membukanya. Tampaknya Brillian tidak akan masuk jika pintunya belum dibukakan. Lavenia bergidik dingin membayangkan betapa tersiksanya orang yang bekerja di sampingnya. Pikirannya travelling ke mana-mana, berhalusinasi dengan bayangan karakter Brillian. ‘Bagaimana caranya ia makan? Apa ia juga akan menunggu orang lain untuk memegang sendok dan menyuapinya?’ batinnya sedikit meledek membayangkan. Ia menggelengkan cepat kepalanya dan memasuki ruangan yang dimaksudkan. Tak mengherankan lagi jika isi dalam ruangan itu tidak kalah dari isi di dalam lobi. Semua yang ada membuat matanya segar, apalagi aroma citrus membawa ketenangan di dalam pikirannya. Ia masih menunggu kedatangan Brillian setelah duduk berlama-lama di sofa berbusa tebal. Sesekali ia berdiri dan berjalan-jalan di sekitar ruangan itu karena yang ditunggu tak juga datang. Setiap jarum jam yang bergeser membuat matanya terasa berat. Apalagi semalam ia hanya tidur dua jam karena tuntutan pekerjaan sampingannya. Kulit wajah yang tadinya cerah kini menjadi kusam dan berminyak. Ia mengeluarkan alat tempur wanita dari dalam tasnya dan mulai membersihkan minyak di wajahnya lalu memolesnya kembali. Kali ini ia mengatur posisi duduknya saat terdengar bunyi suara pintu yang terbuka. Lelaki yang selalu di samping Brillian masuk ke dalam dan memberitahukan kalau tuannya masih belum selesai dengan urusannya dan meminta Lavenia untuk menunggu jika mau, atau wawancaranya diadakan besok. “Tidak-tidak, Pak. Aku akan menunggu saja, urusan Tuan Brillian lebih penting. Aku akan menunggu,” sela Lavenia dengan cepat. Beberapa jam kemudian hingga matahari telah kembali ke asalnya, Brillian belum muncul juga. Namun Lavenia belum juga menyerah. “Bertahanlah sedikit lagi, Lav. Kau telah melewati beberapa jam, jangan biarkan waktu yang terbuang menjadi sia-sia,” gumamnya menyemangati diri sendiri. Kesabarannya berbuah manis, Brillian masuk ke dalam ruangan dan duduk menyandarkan punggungnya dengan santai. Lavenia berdiri dari sofa hendak menyapanya dan menghormatinya terlebih dahulu. “Terima kasih atas waktunya, Tuan Brillian. Aku Lav—“ Belum sempat ia mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan diri, Brillian telah mencegahnya dengan mengangkat tangannya dan meminta ia duduk kembali melalui instruksi jarinya yang bergerak mengayun ke atas dan ke bawah. Matanya terpejam sambil mengangguk pelan seolah tak ingin mengenali siapa yang akan berbicara padanya. Lavenia menjadi kaku. Malunya terbang ke bawah. Baru kali ini profesionalitasnya ditolak oleh seseorang yang akan ia wawancarai. Ia perlahan duduk kembali dan membuang rasa kesalnya dengan senyuman. Namun saat kembali menatap kesempurnaan wajah lelaki yang ada di depannya, rasa kesalnya kembali menghilang seperti telah menemukan obat yang paling mujarab. Tatapan mata Brillian telak mengenai manik hitam Lavenia, tapi hal itu sama sekali tidak berpengaruh padanya. Justru tatapannya itu seperti alat hipnotis yang membuat penyakit amnesia Lavenia muncul kembali. Kedua alis kening berwarna hitam, tebal dan melengkung runcing ke satu titik. Bahkan bentuk matanya yang tegas dan tajam layaknya sepasang mata seekor elang akan membuat lawan tatapannya tak berkutik di depan Sang Predator. Hidungnya terpahat sempurna dan alami. Bahkan berewok yang tumbuh di kedua sisi tidak menutupi ketegasan tulang rahangnya. Sungguh suatu karya dengan nilai sempurna yang diciptakan oleh Tuhan. “Aku—“ “Nona, langsung pada intinya saja,” sela lelaki yang berdiri di belakang Brillian. “Oh, em ....” Lavenia kembali tersadar dan berupaya menghilangkan kekakuannya. Ia mengeluarkan sebuah notulen dari dalam tasnya dan memutar rekaman di ponselnya, lalu meletakkannya di atas meja mendekati Brillian. Kedua maniknya terfokus pada tulisan yang ada di notulen untuk bersiap mengajukan pertanyaan kepada Brillian. Matanya membulat seolah membaca sebuah kejutan pertanyaan yang akan membuat dirinya ditendang keluar dari ruangan. Ia bahkan tidak berpikir untuk membaca pertanyaan apa yang diberikan manajernya sebelum mewawancarai Brillian. “Nona, silakan bertanya,” lagi ucap lelaki itu membuat wajahnya terangkat menatap Brillian gugup. “Kenapa? Apa di wajahku terdapat jawaban dari pertanyaanmu?” Bariton yang keluar dari mulut Brillian terdengar tegas dan serak. Bukan hanya penampilannya saja yang sempurna, tapi setiap organ yang berhubungan dengannya begitu selaras. ‘Lav, what do you think? Focus! Don't drop your pride in front of others!’ batinnya membantah segala kekaguman yang ia pikirkan. “Saya memiliki tiga pertanyaan untuk Tuan ... pertama, siapa sebenarnya Anak tertua keluarga Lanson Swift?” tanya Lavenia memberanikan dirinya dan berusaha menekan ketegangannya agar tidak terpampang nyata. Baru saja pertanyaan pertama sudah membuat Brilliam membatu, menahan amarahnya. Ia masih terdiam menunggu kedua pertanyaan terakhir dari gadis wartawan yang ada di depannya. “Kedua, benarkah ada tiga wanita yang menjadi Istri dari Tuan Marthin, termasuk Nyonya Trinity? ... ketiga—“ “Sembarangan!” sela Lelaki kepercayaannya Brillian menghentikan perkataan Lavenia. Jelas terlihat dari ekspresi lelaki itu bahwa pertanyaan yang ia ajukan akan membawanya dalam masalah besar. Namun hal itu sama sekali tidak mengganggu kewibawaan Brillian Lanson, ia masih tetap diam dan terlihat tenang. Satu tangannya yang terangkat menginstruksikan agar membiarkan Lavenia melanjutkan pertanyaannya. “Ketiga ....” Lavenia menelan berat salivanya untuk melanjutkan pertanyaannya. “Selain Kakak Anda yang masih belum diketahui identitasnya, benarkah masih ada lagi Anak dari Istri yang lain?” ‘Gila! Aku bisa mati setelah ini! Tolong, siapa saja, bawa aku keluar dari ruangan ini,’ batinnya merutuk bodoh menyesali mulutnya yang tak berhenti bertanya. Brillian Lanson menarik napasnya, bersiap untuk menjawab semua pertanyaan Lavenia. Ia menarik badannya dari sandaran kursi dan menopangkan kedua lengannya di atas paha. Manik biru yang unik begitu kontras. Lavenia bahkan baru menyadari saat itu juga kalau biru maniknya akan seindah itu di pandangan. “Semua yang kau tanyakan tidak benar.” Tiga pertanyaan Lavenia hanya dijawab dengan satu kalimat pendek dan sederhana. Ia kembali menyandarkan badannya ke sandaran sofa sebagai akhir dari jawabannya. “Nona, silakan keluar. Tuan Brillian sudah menjawab pertanyaanmu.” Bahkan belum sempat Lavenia mengajukan pertanyaan lain, dia telah diusir dari ruangan. Lavenia hendak berucap, tapi melihat wajah Brillian yang dingin membuatnya mengurungkan niat. Ia dengan cepat mengambil ponselnya di atas meja lalu keluar dengan cepat. Untung saja dia hanya diusir dari dalam sana, bagaimana jika dia dilemparkan dari jendela. Tidak tahu apakah hal itu adalah keberuntungan atau kesialan. Entah laporan apa yang akan dia berikan pada manajernya. Sangat jelas kalau kalimat Brillian yang terekam akan membuat seluruh rambutnya berdiri karena serangan suara dari singa yang telah menunggunya. “Dasar bodoh! Kenapa aku tidak memulai dengan kalimat pujian saat mewawancarainya?” gumam Lavenia menyusuri panjangnya koridor. Menyesal tidak ada gunanya. Hanya rekaman di ponsel yang bisa membantunya menjelaskan semua hasil wawancara pada manajernya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Hasrat Istri simpanan

read
8.9K
bc

Revenge

read
17.8K
bc

After That Night

read
9.0K
bc

The CEO's Little Wife

read
629.8K
bc

BELENGGU

read
65.0K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
55.4K
bc

Istri Lumpuh Sang CEO

read
3.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook