bc

Jagat My Love Eagle

book_age18+
1.1K
FOLLOW
2.7K
READ
revenge
second chance
powerful
self-improved
boss
sweet
brilliant
realistic earth
enimies to lovers
friendship
like
intro-logo
Blurb

Langkah-langkah kaki yang jenjang menyusuri pelataran Bumi kelahiran ini. Setapak demi setapak terus bergerak menuju tangga lebih tinggi. Terus mendaki bahkan menyelam ke dalam Samudera kehidupan ini.

Pikiran coba berselancar mengelilingi logika duniawi. Berputar-putar pada kenyataan yang membuat payah ragawi. Penat, lelah atas apapun yang barusan dihadapi itu manusiawi.

Menyusuri sejuknya sungai-sungai dimensi hati.

Jangan hanya menuhankan rasio dan melupakan apa suara nurani. Luangkan waktu dengarkan apa yang menjadi kata hati. Gerakkan kaki ikuti alur yang sudah tersuarakan hati sanubari. Sejauh apapun kamu pergi. Pada akhirnya kekasih sejati yang akan menuntun jiwamu menemukan jalan pulang ke hatinya kembali.

Putri Hiranya di masa lalunya yang kelam karena ditinggal oleh kekasihnya hanya karena latar belakang kemiskinannya.

Dirinya mulai berjuang untuk meraih apa yang diimpikan kebanyakan orang yaitu kesuksesan Finansial.

Dalam pencapaiannya ternyata ia merasakan ada ruang hampa di sudut hatinya.

Ia mulai sadar kesuksesan itu bukan hanya tentang harta dan posisi atau jabatan saja, melainkan ada standar lain yang Tuhan berikan.

Seorang Wanita sukses tetap membutuhkan cinta, kasih sayang dari sosok pria sebagai partner sejati untuk menemaninya mengarungi samudera kehidupan.

Sudah banyak jiwa yang tertikam lara dan sampai kapan petualangan kekasihnya dihentikan?

Bagaimana perjalanan Gantari Putri Hiranya dalam menemukan cinta sejati di Jagat raya ini?

Banyak kisah seru yang bisa membuat mata dan hati terbuka.

chap-preview
Free preview
Menyentuhku
Pena langit menari-nari menggoreskan tintanya yang warna-warni membentuk mega mendung. Dari atas sana tampak semburatnya. Terlukis memantul ke kaca air yang tertampung dalam dandang kuno berbedak jelaga. Bagaimana mungkin, wadah air yang luarnya terlihat sudah kuno, aus, jelek dengan butiran-butiran asap arang bisa menjadi pigura dari hasil karya yang Maha Dahsyat. Sungguh ini fenomena alam yang luar biasa indahnya. Menyaksikan langit mega mendung yang masih tetap setia menemaniku melewati hari ini. Sungguh tak kurasakan sengatan sinar matahari karena sang awan telah gagah berani mengorbankan dirinya untuk menutupi panasnya sang surya. Damainya alam menarik-narik diriku untuk bernostalgia mengingatmu. Biarkanlah untuk sesaat saja memejamkan mata. Kurasakan ketenangan tatkala kesejukannya mampu menyentuh jiwa ragaku yang terseret ke dunia masa silam dimana seolah hanya ada aku kamu dan sainganku. “My honey," panggil Jagat Elang. “Iya yank,” jawab ku. “Sini lebih mendekat pada ku, ada yang ingin aku sampaikan,” pinta Jagat Elang. “Ehmmm,” jawab ku disertai dengan anggukan. Aku menggeser posisi duduk ku agar lebih mendekat ke Jagat Elang. “Maukah kamu berjanji untuk ku?” tanya Jagat Elang. Jagat menoleh ke arahku dan kita saling beradu pandang. “Dalam hal?” tanya ku balik. "Ada pokoknya," ucapnya sambil menatap ke mata ku. "Iya, apa?" tanyaku. "Tentang kita." Kedua matanya berkedip pelan kemudian tersenyum sambil meraih tangan kanan ku dan diletakkannya di atas paha kirinya. Jagat memasukkan jari jemari ku yang lentik di sela-sela jari jemarinya, lalu menggenggamnya erat-erat. “Sayang ... berjanjilah untuk tetap mencintaiku,” pinta Jagat Elang. “Iya,” aku menyahut. “Sungguh!” seru Jagat Elang. “Ehmmm." “Kok, kamu langsung bisa jawab?" tanya Jagat Elang. Menatap ku dengan penasaran sekaligus dengan senyum bahagia. “Karena aku tidak memiliki keraguan pada mu. Jadi bisa yakin dan langsung memutuskan jawabannya,” jelas ku pada Jagat Elang. “Kamu beneran tidak meragukan perasaan cinta ku?” tanyanya kembali. “Engga!” jawab ku tegas. “Beneran sayang sama aku?” tanya dia lagi. “Iya.” “Kamu tidak takut kalau seandainya orang tuamu tidak setuju dengan hubungan kita?” tanya Jagat Elang. “Apa kamu juga tidak takut kalau mamamu juga tidak setuju dengan hubungan kita?" tanyaku. Aku mengajukan pertanyaan yang sama sebelum menjawab pertanyaan Jagat Elang. “Belum di jawab pertanyaannya. Malah tanya balik!” ujar Jagat Elang. “Iya kamu jawab duluan,” pinta ku kepadanya. “Enggaklah, cowok kok takut! Aku yakin kamu baik dan kalau mamaku bisa mengenalmu lebih dekat, aku rasa dia pasti suka sama kamu dan bakal mendukung hubungan kita. Kalau ayah tidak akan mengecewakan aku, kan aku ini anak kesayangannya. Sudah pasti ayah mendukung pilihan hati ku,” jelasnya. “Oh." “Kok oh,” ucapnya. “Terus maunya bagaimana?” tanya ku. “Ya jawab?" “Oh, jawab," balas ku. “Iya sayang,” jawabnya. “Iya aku sayang sama kamu dan aku sayang orang tuaku." "Terus?" "Ya kalau aku yang penting kamu juga beneran sayang dan berani bertanggung jawab." "Tentu saja." "Bagus jika kamu bisa seperti itu. Pasti orang tuaku juga memberikan restunya," kata ku. "Aku akan memenuhi apa yang kamu inginkan," ujar Jagat Elang. "Aku pingin kita berjuang dulu untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-citaku dan cita-citamu. Ini sebagai pembuktian untuk keluarga kita," kata ku lagi. “Iya tentu saja. Makasih sayang ku sudah mau menerima aku apa adanya.” “Iya,” sahut ku sembari tersenyum lebar dan menyatukan kedua gigiku menandakan gemas. “Kesayangan ku,” seru Jagat Elang. Jagat Elang terlihat senyumnya mengembang saking bahagianya dan berulang kali menciumi tanganku yang digenggamnya sedari tadi. “Aaahh ....” Aku membalasnya dengan senyumanku yang manis. “Sini,” ucap Jagat Elang sembari mengulurkan kedua tangannya untuk menyambut pelukan. “Peluk,” rengek ku manja. “Cium aja ya!” balas Jagat Elang sembari mendekatkan bibirnya dan didaratkan ke keningku. Lalu Jagat Elang melayangkan kedua tanya untuk meraih tubuhku ke dalam pelukannya. “E-eh,” sahut ku. “Tambah sayang kamu,” kata Jagat Elang. “Aku juga sayang kamu.” “Oh iya, sayang apa kamu gak memintaku untuk berjanji?” tanya Jagat Elang. “Janji apa yank! Apa ya janji yang pas buat kamu,” jawabku sambil melepaskan tubuhku dari pelukannya. “Apa yang kamu inginkan? tanya Jagat Elang. “Heemmmm, apa ya.” Untuk beberapa saat aku diam dan pura-pura berpikir. Aku mengangkat telunjukku dan mengetuk pelan pipiku berulang kali sepertinya sedang menunjukkan ekspresi yang sedang mencari ide. “Gitu ya,” balasnya. Jagat Elang memperhatikan dengan seksama atas tingkahku yang membuatnya gemas. “Oh, Iya yang." “Apa?" tanya Jagat Elang penasaran. “Em, gak ada! Hahahaha,” sahutku sambil tertawa dan berlari menuju pohon teh yang terhampar pemandangan sangat indah nan cantik. “Awas, ya! Jangan lari!” Jagat Elang berlari menuju ke arahku. “Aku gak lari kok, hanya ingin menikmati hijaunya pepohonan di tempat ini.” Menghentikan langkah di sekitar pepohonan teh. Merentangkan kedua tanganku dan menarik napas. Sungguh luar biasa indahnya pemandangan kebun teh ini. Udaranya yang sejuk membuat pikiran dan tubuhku terasa segar dan seperti melayang ingin terbang ke Awan. “Kamu suka tempat ini?” tanya Jagat Elang. “Tentu saja,” jawab ku dengan berganti posisi menghadap ke Jagat Elang. “Kalau kamu menyukainya, aku berjanji akan ke sini lagi,” ucap Jagat Elang dengan menatapku. “Tapi jangan sama cewek yang lainnya?” ujar ku. “Apa maksudnya?” tanya Jagat Elang yang agak kebingungan dengan yang aku katakan barusan. “Coba dikoreksi lagi kata-kata kamu tadi,” balas ku. “Yang mana?" tanya Jagat Elang padaku. “Tadi kamu bilang, ‘Kalau kamu menyukainya, aku berjanji akan ke sini lagi,' gitu.” “Aduh, aku pikir apa! Maksudnya itu ya aku mengajak kamu! Kalau kamu menyukai tempat seperti ini maka aku Jagat Elang Hartono berjanji akan mengajak Gantari Putri Hiranya untuk datang lagi ke kebun teh ini, jelas tuan putri!” ungkap Jagat Elang dengan manis sambil memeluk mesra. “Ok,” jawabku dengan tersenyum-senyum dan membalas pelukan Jagat Elang. “My honey!” panggilnya. “Iya yank,” jawab ku. “Huffff,” tiupan nafas panjang dari mulutnya yang terdengar dari balik pelukanku yang hangat. “Hem,” sahut ku dengan lembut. “Sayangku!” panggilnya sembari melepaskan pelukannya dari tubuhku dan beralih memegang wajah ku dengan kedua tangannya. “Iya.” Jagat Elang dan aku seolah sudah paham dengan kode pandangan mata yang ingin menghentikan kata-kata dan berganti menikmati suasana romantis ini berduaan. Getaran-getaran cinta mulai mengalir deras mengguyur sekujur tubuhku dan tubuhnya. “Peluk aku,” pinta Jagat Elang kepadaku. “Tapi kita harus segera pulang,” jawab ku. “Sebentar lagi!” serunya lagi dengan membawaku kembali ke dalam pelukannya. Hawa dingin mulai bergerak berganti hawa panas hasrat yang tertahan. Kelegaan kini mulai teratasi tatkala aku dan Jagat Elang sudah saling berhadapan dan berpelukan hangat. “Yank!” panggil ku. “Seesssttth, huhh,” desis lirih dari lisannya. Jagat Elang memelukku dan tanpa sengaja menekan gunung Sinabung ini dengan postur tubuhnya yang bidang. “Sudah yuk pulang,” ajak ku. “Ehmmm sebentar,” jawabnya lirih sembari mengelus rambut ku dengan lembut. “Yank,” panggil ku sembari menggeleng-gelengkan kepalaku agar Jagat Elang tidak berimajinasi terlalu jauh. Aku berharap dia bisa menahan dahaganya sampai saat yang tepat. “Hiranya sayang,'' suara Jagat Elang terdengar sudah mulai bereaksi terhadap sinyal hawa magnet ku. Jagat Elang mulai terseret arus cinta yang semakin menggelorakan semangatnya untuk melanjutkan perjalanan menuju bibir ku. “Ehmmm,” ucapku lirih. “Eghhh, sayanggggg ....” Kita larut dalam suasana yang nyaman aman menikmati pemandangan serta sejuknya pegunungan hutan teh. Tiba-tiba saja ada seseorang yang menghampiri ku. Dia membuyarkan lamunan. “Mba Hiranya!Mbaaaakk ..., ngapain? Kok ngelamun wae,” tegur seseorang. “Ha!" sahut ku agak kebingungan. Karena ada seorang tetangga yang lewat di depan rumah ku akhirnya menyapaku dan membuatku kaget. Betapa terkejutnya aku dan seketika lamunanku yang seru syahdu berubah menjadi ambyar hancur lebur berserakan. “Hallo Mba.” Om Yuda berdiri didepan ku dan membuatku terkejut. “Oh, iya! Ini lagi mencari angin di depan, segar banget," jawab ku. “Saya ganggu lamunannya ya?” tanya seseorang itu dengan bercanda. “Engga! Biasa aja Om, ingat masa-masa seru dulu,” ungkap ku. “Bernostalgia,” sambungnya lagi. “Sesekali,” jawab ku. Dengan tersenyum menahan malu-malu. “Dua kali juga boleh, hehehehe,” ucapnya sembari tertawa. “Om bisa aja, hahaha,” sahutku balik. “Kapan datangnya? Kok saya baru lihat Mba Hiranya hari ini.” “Semalam Om! Dan sampek sini sudah larut banget. Jadi ya, langsung istirahat dan tidur. Soalnya hari ini mesti balik,” kata ku padanya. “Kok buru-buru?” tanya dia lagi. “Iya, habisnya banyak kerjaan,” jawab ku kembali. “Oh, gitu," jawabnya. “Kalo ke Kalibiru nanti mampir ke tempat Hiranya ya, gratis deh pokoknya buat Om sekeluarga,” ucapku kepadanya. “Sipp, nanti kalau sudah punya nyonya muda. Eh maksudnya punya ongkos, baru bisa jalan-jalan. Nabung dulu Mba.” “Waduh gak ikutan Hiranya! Awas bisa berabe kalau ketahuan nyonya tua. Hehehehe, tabungannya sudah banyak itu dari panenan padi 3 hektar,” candaku. “Bisa aja, Mba Hiranya ini,” ujarnya. “Tapi benarkan.” “Iya biasa buat modal garap sawah lagi,” sambungnya. “Bersyukur saja Om! Kan masih tetap bisa menabung.” “Alhamdulillah. Iya sudah dilanjutkan ngelamunnya! Om mau nerusin kerja,” pamitnya sembari bercanda meledekku. Dirinya pun beranjak dari hadapanku untuk kembali ke rumahnya. “Siap, Om!” jawab ku. Aku kembali menatap mega mendung. Bayangannya bisa aku saksikan dari dalam dandang usang penampungan air hujan. Ini membuatku bisa berpikir, betapa fenomena alam ini mampu memberikan pembelajaran kepadaku. Bahwa Tuhan tidak pernah pilih kasih kepada siapapun. Walaupun orang itu berbeda tetapi Tuhan bisa menyayangi makhluknya. Terkadang aku berpikir apakah tidak layak seseorang yang jelek, kurus, hitam, dekil, cupu, bodoh, bahkan miskin itu untuk mendapatkan kesempatan hidup lebih baik. Padahal, penilaian buruk seperti itu bisa juga dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Sebab segala sesuatu di dunia ini mempunyai arti penting dalam bagian kehidupannya tersendiri. Jadi sudah sepantasnya untuk saling melengkapi dan menghargai. Seperti halnya aku Gantari Putri Hiranya akan selalu berusaha untuk menjadi seseorang yang lebih baik lagi. Aku juga bersemangat dan terus berusaha untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Walaupun harus mengalami jatuh bangun berulang kali tak ingin aku jadikan itu sebagai alasan untukku berhenti melanjutkan hidup ataupun menyerah. “Hiranya, apa yang kamu lakukan di situ,” suara ibu menegur ku. Beliau adalah ibu kandungku, namanya ibu Lestari. “Sedang melihat langit berkaca. Bu, sini lihatlah, betapa indahnya,” jawabku. Aku tersenyum kepada ibuku. Dan melambaikan tanganku dengan tujuan untuk meminta ibuku menuju ke arahku. “Langit berkaca? Kayak orang berias saja. Nduk!” tanyanya kembali dengan penuh keheranan. Dengan langkah-langkah yang anggun pelan namun pasti ia melakukan aktivitasnya. Tangan kanannya sambil memegang sapu lidi yang ia gunakan untuk membersihkan dedaunan yang jatuh di pelataran rumah. Maklumlah pemandangan di desa masih asri hijau jadi banyak pepohonan yang tumbuh di sekitar rumah. Sreekkksreeekksrekk, bunyi gesekan sapu lidi di tanah. “Kemarilah sebentar Bu,” pintaku lagi. “Iya habis ini, sebentar juga sudah beres,” jawab ibuku sembari memasukkan sampah dedaunan ke dalam tong sampah. Sudah tampak bersih menandakan aktivitasnya sudah selesai. Beliau berjalan ke arahku namun memilih untuk istirahat sejenak dan duduk di lincak (kursi bambu) dekatku. Kretek ... kretek ... kretek, alunan merdu suara gesekan-gesekan bambu atau lincak yang diduduki ibuku. “Hati-hati! Awas, kalau roknya Ibu kecantol paku,” kataku kepada ibuku. “Masih kuat, di duduki ini,” jawab ibu. Brkkkkkk, suara kain sobek. “Tuh kan, apa Hiranya bilang.” “Duh! Ah, gak apa-apa. Rok sudah lawas ya wajar kalau gampang sobek,” suara ibuku. “Kenapa masih dipakai? Itu kan yang baru ada. Hiranya kalau kesini pasti belikan buat Ibu,” kataku. “Ini rok nyaman, adem kainnya.” “Kalo Hiranya beli itu juga bagus, adem kainnya,” ujar ku kepadanya. “Iya-iya,” jawabnya. Ibuku bangkit lalu melangkah sedikit untuk menghampiriku dan wajahnya nampak melongok ke dalam dandang penampung air hujan. “Mega Mendung,” sahutnya singkat. Kemudian beliau balik lagi ke lincak, duduk bersandar. “Kok Ibu biasa saja melihatnya,” tanya ku. “Kan sudah biasa pemandangan seperti ini di desa kita,” jawabnya. Beliau menjawab pertanyaanku dengan santainya. Wajahnya yang tenang menatap ke Langit sambil menembang. Sekar kang rinonce datan kedunung Nandang kelakon tuwuh getun keduwung Tumetes waspo tibo ing lembayung Pindha ombak samudra tan kebendhung Mega mendhung tan kandheg tetangis Nelesi kembang ati sing atis Ati ketaman janji-janji Kagodha lathi kang manis, grantes ginaris Saking terbawa suasana yang indah aku menjatuhkan dudukku yang tadinya nongkrong menjadi lesehan beralas rerumputan sembari mendengarkan ibuku bersenandung sambil menikmati keindahan mega mendung. Untuk ibuku yang tinggal di daerah pedesaan pemandangan langit mega mendung sudah biasa mereka jumpai. “Yeee, merdunya suara Ibu,” kataku. Aku memuji suara ibuku. Aku memberikan tepuk tangan sebagai tanda bahwa aku mengagumi suaranya yang merdu. “Iyalah, kan Ibu dulu bintang nyanyi pas di sekolah,” ucap ibuku. “Masa sih, kok Hiranya gak tahu.” “Ibu memang tidak pernah bercerita sama kamu.” “Tapi lagunya sedih.” “Sama seperti kehidupan yang isinya tidak hanya kebahagiaan tapi ada kesedihannya juga,” kata ibuku. “Betul Ibu, hidup harus dinikmati dengan cara cerdas,” kataku. “Iya to, makanya kita gak boleh terlalu sepaneng, terlalu tegang, kurang guyon, kurang hiburan, kurang ini kurang itu. Jadi gak bersyukur hidupnya, bisa stres mikir dunia,” sambung ku lagi. “Harus bisa santai ya, Bu.” “Santai bukan berarti malas tapi rileks,” kata ibuku. "Iya Bu!" sambung ku. “Hiranya, kamu jadi balik ke kota siang ini?” Tanya ibuku. “Iya Bu,” jawab ku. “Iya sudah, Ibu siapkan dulu barang-barang yang perlu kamu bawa nanti. Hitung-hitung kamu bisa hemat banyak kalau bisa bawa hasil panen sendiri. Ibu masuk dulu ya, itu ada Inir Axelle sama bude nungguin,” kata ibuku sambil berlalu dari hadapanku. “Iya gimana baiknya saja Bu, gak mungkin Hiranya bisa tolak keinginan Ibu,” sahut ku. Terlahir dari keluarga yang biasa tidak membuatku mengutuk nasibku sendiri. Karena aku meyakini bahwa Tuhan tidak serta-merta asal-asalan dalam penciptaan manusia. Tuhan memberikan kesempatan kepada aku dan juga manusia lainnya untuk sama-sama hidup dan menjalankan perannya masing-masing di dunia ini. Dan Tuhan pulalah yang berhak memberikan porsi yang pas untuk ciptaan-Nya, inilah yang terbaik untuk aku menurut Penciptaku. Betapa bersyukurnya aku memiliki orang tua yang sabar. Dari mereka aku belajar banyak hal, tentang tanggung jawab, keikhlasan, kesabaran, ketulusan, kejujuran dalam menjalani ujian kehidupan serta takdir. Yang paling berkesan dalam hidupku adalah, betapa sangat bangga diriku memiliki sosok bapak dan ibu yang sangat luar biasa. Dari Beliaulah aku belajar bagaimana menghadapi kerasnya hidup. Dari Beliaulah aku belajar bagaimana tidak mudah menyerah. Aku berpikir jika bapak itu memang laki-laki yang sangat hebat, dia berada jauh dari kami mempertaruhkan jiwa raganya demi memenuhi tanggung jawabnya sebagai suami dan bapak untuk istri dan anaknya. Bekerja adalah cara Beliau menjaga harga dirinya sebagai laki-laki yang sudah mempunyai tanggung jawab pada keluarga, dengan bekerja dia mampu menafkahi istri dan anak-anaknya. Hidup adalah anugerah dari Tuhan YME dan aku juga layak mendapatkan kesempatan seperti manusia lainnya. Saatnya untuk tidak memedulikan atas apapun komentar dan ocehan buruk mereka yang bisa menghancurkan dan merusak mentalku. Coba aku tanya, siapa yang bisa memilih untuk terlahir dari keluarga miskin ataupun kaya. Siapa yang bisa memilih untuk terlahir bisu, buta dan tuli. Siapa yang bisa memilih untuk terlahir dengan kondisi fisik yang tidak sempurna? Kita tidak bisa memilih untuk beberapa hal yang sudah menjadi ketentuan Yang Maha Kuasa. Tapi kita bisa memilih untuk menjalani hidup seperti apa. Tuhan selalu punya rencana yang tidak dimengerti manusia. Hanya dengan kecermatan dalam membaca kehidupan yang mampu melihat bahwa Tuhan tidak pernah mencampakkan siapapun hambanya yang bersabar dalam ujian dan cobaan di dalam kehidupan. “Hiranya ...!” suara seseorang memanggilku. Ibu-ibu setengah tua berdiri di teras rumahku, kemudian menuju kendaraan yang terparkir di halaman rumah. “Dalem bude,” jawabku. “Kayak kurang gawean,” ucapnya. Ia tampak sibuk menaruh beberapa bungkusan plastik ke dalam jok bagasi motor. Menata satu persatu bawaannya, itu seperti beberapa baju daster dan oleh-oleh yang aku belikan untuknya. Ia adalah saudara dari bapakku, namanya bude Surti. Ia memiliki sifat yang sangat berbeda jauh dengan bapakku yang sabar, sedangkan bude ini keras dan ketus. Aku mempunyai banyak pengalaman pribadi yang tidak mengenakkan. Tapi tidak apalah itu namanya aku sedang di gembleng supaya jadi orang yang kuat tangguh dalam menjalani kehidupan. Aku ingin memetik hikmah dari setiap kata-kata kasar yang aku terima. Wajar dalam kehidupan ini, ketika seseorang berada di fase-fase jatuh, gagal, tidak punya apa-apa maka akan ada yang menghinanya bahkan menjauhinya. Tapi ketika seseorang berada di posisi yang memiliki ketenaran, popularitas, harta yang banyak pasti akan banyak yang mendekati. “Maksud bude?” tanyaku. “Ya di luar ngapain? Mbok masuk sana,” sambungnya lagi. “Ngisis, njih Bude,” jawabku. “Perawan kok ngelamun wae, tidak pantas!” Tegur budeku dengan ketus. “Hiranya hanya sedang menikmati keindahan alam di sini, toh nyaris setahun aku tidak pernah melihat Langit Mega Mendung,” jawabku sambil tersenyum sedikit. “Pantes! Pulang kampung saja Cuma sebentar. Maklumlah sudah tinggal di kota ramai,” sahut bude Surti. “Sama saja Bude, di tempat tinggal Hiranya juga suasananya asri pegunungan. Iya kayak tempat tinggal kita ini,” jawabku. “Iya jelas beda. Tinggal di kota kok. Apalagi sekarang hidupnya sudah enak, punya usaha sendiri, jadi bos, apa-apa menyuruh anak buahnya. Makanya santai-santai kayak gitu! Orang kalau sudah punya apa-apa kok jadi malas ya,” ucap ketus celotehnya bude Surti. “Hiranya biasa saja Bude, gak merasa seorang bos dan seperti ini bukan malas Bude! Tapi, menikmati ciptaan Tuhan yang maha kuasa,” jawab ku. “Halah! Sekarang kan hidupmu enak bisa menyaingi Bude. Itu kan yang kamu inginkan dari dulu!” tukasnya. “Hiranya itu tidak pernah merasa bersaing, sekedar mensyukuri nikmat, apa yang ada saat ini merupakan hasil kerja keras serta jerih payahku serta doa ibu bapak, ” ungkap ku. “Ingat Hiranya ... dulu keluargamu itu hidupnya kan masih pas-pasan. Kalau bahasa Bude yang bilang ya miskin karena kondisinya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Bude. Jaman dulu waktu kamu masih sekolah itu kan bapakmu masih suka merantau mencari buat biaya sekolahmu. Tau gak, kalau tidak ada uang belanja, ya ibumu tukar beras sama sembako di tokonya Bude," ungkapnya mengisahkan cerita jaman dulu. “Oh, iyakah?” “Iyalah!” sahutnya. “Oh! Kalau begitu Bude sangat berjasa buat keluarga Hiranya,” lanjut ku. “Pasti! Coba kalau tidak ada Bude yang nuker beras ibumu dengan bahan lainnya. Pasti kamu Cuma di kasih makan nasi tanpa ada lauk pauknya.” Duh, Gusti Allah kuatkan hatiku, suara dalam batinku. “Sekarang ibu dan bapak gak menyusahkan Bude lagi kan? Maksudnya gak lagi menukar beras dengan belanjaan di tokonya Bude!” lanjut ku bertanya namun dengan nada halus tapi ngena. “Tidak! Iya sudah tidak lagi!” jawabnya singkat. “Dari dulu juga gak pernah pinjam duit sama Bude juga kan?” tanyaku menyindir. “Ya, kalo urusan pinjam duit dari dulu sampai sekarang tidak ada yang berani. Dan kalau pun sampai ada yang nembung gak ada yang Bude kasih! Enak aja, kita kerja keras susah payah kumpulin duit! Kok orang lain hutang. Tidak boleh!” tegasnya. Dia mengernyitkan wajahnya, dengan melengat lenggut. Wajah sinis menghiasi parasnya yang mengeriput. “Syukurlah Bude,” sambung ku. “Ora bakalan bisa berurusan hutang sama Bude, uang itu susah nyarinya, ya harus tak genggam erat-erat, biar gak lepas,” jawabnya lagi. “Njih ....” “Ora usah banyak tingkah hidup di kota. Kan biasanya lupa diri karena terlena dengan pergaulan yang bebas. Ikut-ikutan teman yang nakal, kebanyakan gitu jaman sekarang! Biar di bilang gaul,” tukasnya. “Gak semuanya seperti itu,” sambung ku. “Halah itukan alasan, buat menutupi kelakuannya,” tukas bude Surti. Sabar... sabar, jangan terpancing. Hiranya ayo mengalah saja sama yang lebih tua, suara dalam hati mencoba berkolaborasi dengan logikaku. “Bude mau pulang ya,” tegur ku namun tak dihiraukan olehnya. “Aku balik dulu,” pamit budeku pada bapakku. “Iya ati-ati Mbak!” sahut bapakku dari depan pintu rumah. Setelah lelah mengoceh, kemudian budeku ngacir pulang tanpa berpamitan denganku. Menghadapi bude yang berwatak keras dan susah mengalah, jika aku terus meladeninya bisa menghilangkan kewarasanku. Lebih baik mengalah dengan model orang seperti ini agar tak terlihat semakin t***l. Sudah sepantasnya yang muda mengalah pada yang tua. Masih bisa berpikir panjang makanya memilih mengalah dan diam untuk menyelamatkan budeku agar tidak kumat sakit kepalanya. Jika aku terus-terusan meladeni argumennya, bisa-bisa budeku gak mau ngalah terus emosi. Ketika di fase marah yang tidak bisa ditahan bisa bikin pusing kepala lalu tensinya naik. Ketika pikiran kencang darah melonjak tinggi kan bisa bikin stroke dan jantungan. Jangan sampai terjadi seperti itu, nanti malah akan merepotkan keluarganya. “Ndang masuk rumah,” tegur bapakku. “Njih Bapak, bentar lagi, masih ngisis mumpung udaranya segar,” sambutku. “Iya udah Bapak masuk dulu,” pamit beliau. Betapa diriku sangat berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk hari kemarin, hari ini dan hari-hari selanjutnya. Bersyukur masih di izinkan bernapas sampai detik ini untuk mengagumi Singgasana-Nya. Begitu mengejutkan ketika aku pun bisa mengambil pembelajaran dari Mega Mendung. Bahwasanya setiap insan harus dapat meredam amarah atau emosinya dalam kondisi dan situasi apapun, dengan kata lain, hati insan diharapkan dapat tetap adem (dingin) meskipun dalam suasana marah, laksana halnya Awan yang hadir saat cuaca mendung yang bisa menyejukkan keadaan di sekitarnya. Gantari Putri Hiranya melewati proses kehidupan yang sangat keras. Jatuh tak akan membuat Hiranya tunduk dan menyerah sebelum tercapai apa yang sudah ia cita-citakan. Tertatih-tatih Hiranya berusaha untuk bangkit. Meski berulang kali tergelincir, ia tetap mencoba agar bisa berdiri lagi. Hiranya bersumpah mulai detik ini dan ke depannya ia akan menjadi seseorang yang berkualitas. ‘Jangan pernah takut gagal, bangkitlah perbaiki apa yang menjadi penyebab kegagalan itu dan yakinlah Tuhan akan melihat kerja keras seseorang yang tulus menjalani kehidupan.’ Itulah seruan dari seorang Hiranya untuk menyalakan api semangat di dalam dirinya dan juga buat mereka-mereka yang sering mengalami penindasan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

BILLION BUCKS [INDONESIA]

read
2.1M
bc

A Piece of Pain || Indonesia

read
87.5K
bc

PASSIONATE LOVE [INDONESIA] [END]

read
2.9M
bc

Undesirable Baby (Tamat)

read
1.1M
bc

The crazy handsome

read
465.4K
bc

Undesirable Baby 2 : With You

read
162.0K
bc

A Secret Proposal

read
376.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook