Terhujam Perih

2884 Words
“Woee, kenapa?” Jagat Elang Hartono mengagetkanku dan membuat suasana menjadi pecah. “Tolong, Jagat!” panggil Sinti Hatala untuk meminta pertolongan. Aku mengalihkan pandanganku ke sosok laki-laki itu. Jagat Elang terlihat mempercepat langkahnya menuju ke arah Sinti Hatala. Aku kembali berpikir. Belakangan ini memang Jagat Elang suka banget menggangguku, usil, jail, resek dan berisik. Semenjak putus sama aku, dia menjadi seseorang yang begitu kasar. Dan itu bukan salahku jika kisah yang kita jalani kemarin hanya singkat dan harus berakhir dengan cara yang menyakitkan. Jelas sekali jika waktu itu Jagat Elang yang lebih memilih mementingkan teman-temannya yang selevel Sinti Hatala, dari pada aku pacarnya sendiri. Jadi wajarlah kalau dia kehilangan orang yang dicintainya. Aku tahu diriku tidak sederajat dengan mereka, aku sadar sekali dan aku masih belum bisa melupakan kejadian di mana Sinti Hatala sering menghina orang tuaku. Orang seperti aku ini katanya tidak pantas dekat dengan kekasihku. Dan aku juga masih ingat bagaimana Jagat Elang diam tanpa membelaku. Justru dirinya malah ikut pergi bersama Sinti Hatala. Mulai hari itu, aku dan Jagat Elang sudah tidak lagi berhubungan. “Kamu kenapa?” tanya Jagat Elang kepada Sinti Hatala. “Jagat, aduh! Ini kaki gua sakit sekali, Hiranya yang mendorong,” jawab Sinti Hatala kepada Jagat Elang dengan muka memelas sembari meneteskan air mata buaya. “Wah, Sinti Hatala, kamu sedang memainkan drama sendu,” ungkap ku. “Loe kok jahat sih Hiranya, berani nuduh gua, kan loe yang jahat,” kata Sinti Hatala dengan halus dan lembut. “Ada apa sebenarnya? Kenapa Hiranya bisa berkata seperti itu?” tanya Jagat Elang. “Aduhhhh! Jagat Elang, tolongin gua!” ujar Sinti Hatala. Sinti Hatala dengan gercap merengek manja memegang lengan Elang. Sinti ini begitu lihai memutar balikkan fakta. “Kok bisa, bagaimana ceritanya kok Hiranya berani banget melakukan hal ini,” tanya dia lagi. Nampak terlihat wajahnya Jagat Elang mulai memerah dan tegang, ada semburat emosi di sana. Di barengi dengan sorot matanya yang tajam seolah ingin menerkam ku. “Hiranya tadi marah-marah sama gua, dan meminta gua jauhi loe,” ungkap Sinti Hatala. “Sinti! Jaga mulutmu! Tolong jangan menceritakan pepesan kosong seperti itu,” ujar ku kepadanya,” tegur ku. Benar-benar Sinti Hatala menyebalkan. Bisa-bisanya dia mengatakan seperti itu ke Jagat Elang. “Tuh, kan, Jagat. Cewek itu mau kasar lagi! Lihat itu dia sudah berani maju mau menyerang gua lagi,” ucap Sinti Hatala meneruskan aktingnya. Sinti Hatala begitu lihai dalam memerankan sosok perempuan yang habis di siksa. Dengan wajah memelas dan seolah-olah lagi ketakutan dengan musuhnya, dia menggunakan kesempatan ini untuk meraih simpati dan bisa semakin dekat dengan Jagat Elang. Sinti Hatala sembunyi di balik punggung cowok tengil itu. “Cukup, hentikan aktingnya,” kataku. Aku berusaha untuk terlihat baik-baik dan tidak ingin menunjukkan kelemahan atau kekalahan di hadapan mereka. “Tolong!” ucap Sinti Hatala yang seolah-olah sedang ketakutan. Dia bersembunyi dari balik punggung cowok itu. “Heh! Berani sekali melakukan ini sama Sinti Hatala, coba sadarlah gak usah bikin masalah seperti ini. Kalau kamu masih seperti ini terus, pasti akan ada akibat yang kamu terima itu malah lebih berkali-kali lipat sakitnya,” gertaknya padaku. “Aow,” suaraku kesakitan. Elang menarik tanganku dan teriakannya mengarah ke wajahku. Suaranya begitu kencang sampai gendang telingaku berdenging. Sungguh aku tak bisa mempercayai bahwa Jagat Elang berani melakukan ini sama aku. Sakit sekali hatiku, ingin sekali menangis melihat kenyataan ini, bahwa Jagat Elang yang pernah dekat dan sangat dekat denganku kini lebih mendengarkan, percaya dan membela orang lain yang baru dikenalnya. Jagat Elang, kamu benar-benar membuatku terluka kembali. Aku benci kamu, aku sangat kecewa dengan sikapmu. Aku bersumpah, suatu saat pasti kamu akan menyesal dengan tindakanmu ini, suara di dalam hatiku kembali berteriak riuh. “Kamu Hiranya, dengarkan aku! jangan pernah mengusik Sinti Hatala lagi,” ucap Jagat Elang sembari memegang pergelangan tanganku dengan kuat. “Tapi, bukan aku yang melakukannya! Ouw, sakit. Lepaskan aku Jagat Elang,” pintaku kepadanya. Sementara Sinti Hatala justru terlihat mendongak menatap ke arahku dengan sorot matanya yang berenang air mata buatan. Sungguh kali ini biar aku terima dan mengalah saja, sama sekali tidak di dengarkan dan itu percuma jika tetap ku jelaskan. “Diam!” bentak Jagat Elang. “Kamu kok kasar sama aku sih,” kataku kepadanya dengan pelan. “Aku bilang tadi apa? Diam!” bentak Jagat Elang. Amarah Jagat Elang begitu besar, sudah tidak bisa dikendalikan. Kesalahan pahaman ini percuma jika untuk di sampaikan. Seorang Jagat Elang rasanya mustahil mendengarkan aku, karena dia lebih mempercayai kenyataan yang dia lihat. Mulut manis Sinti Hatala dalam bersilat lidah dan bahasa tubuhnya yang seolah-olah telah aku aniaya, membuat seorang Jagat Elang menunjukkan kemurkaan. Tangan dia yang begitu kekar entah tadi sengaja atau tidak dia tetap sudah menyakitiku. “Terserah kamu Jagat, lakukan apapun yang menurut kamu benar." “Awas! Jangan berani macam-macam lagi, jangan mengulangi perbuatan seperti ini lagi. Kalau masih berani tak menghiraukan perkataan ku, akan aku laporkan sama Guru BK!” ketusnya. Jagat Elang mengajak Sinti Hatala berlalu meninggalkanku. “Sukur!” ucapnya lirih. Kemudian Jagat Elang dan Sinti Hatala keduanya berlalu dari hadapanku. Sinti Hatala terlihat berjalan dengan berjinjit jinjit seolah kesakitan sembari memegang pergelangan tangan Elang. Sesekali dari kejauhan Sinti Hatala terlihat menengok ke arahku sembari menjulurkan lidahnya seraya menghina. Kemudian tersenyum penuh kemenangan. Ya Tuhan, kuatkan hamba mu ini, batinku. Aku terdiam sejenak untuk menetralisir racun negatif yang ingin menguasai pikiranku. Menghela nafas sembari memejamkan mataku untuk beberapa saat. Wahai penghuni alam semesta, aku ucapkan terima kasih padamu yang mau mengunjungi duniaku. Maaf atas segala kelemahan dan kekuranganku sebagai makhluk ciptaan-Nya. Nyuwun agunging pangapuro, minta maaf yang sebesar-besarnya apa bila segala yang keterbatasan diri ini telah membuat kalian tidak nyaman. Aku juga tidak menyangka akan jadi seperti ini, karena aku tidak pernah merencanakan kehadiranku di sekitar kalian. Setahuku aku hadir dan memijakkan kakiku di bumi ini atas izin sang penciptaku. Aku mungkin di suruh seperti air mengalir untuk menerima dan menjalankan misi di dunia ini. Sekali lagi maaf ya, jika kedatanganku dalam kehidupan ini membuat kalian terganggu, terusik dan akhirnya membenciku. Maaf jika tanpa sengaja sudah membuat kalian ketakutan dan tidak tenang dalam menjalani kehidupanmu. Sebenarnya itu bukan mau ku tapi aku merasa ada beberapa orang yang memaksakan kehendaknya, ada yang memutar balikkan fakta. Tapi tidak apa-apalah jika ini sudah menjadi bagian yang harusnya terjadi. Aku sangat berterima kasih atas segala kesakitan yang sudah kalian hadiahkan untukku. Sungguh bisa membawaku pada keinginan untuk selalu mendekatkan diri kepada Tuhan. Selalu membuat diri ini lebih sabar, ikhlas dan tawakal. Semakin tinggi keinginan untuk belajar dari kehidupan dan terus banyak bersyukur atas segala hikmah dari kisah kehidupan ini. “Hai, Hiranya kok ngelamun sih,” tegur Sekar Arum Cempaka. “Oh itu–– “Itu Sinti Hatala,” sahut Sekar Arum Cempaka. "Wah hebat banget, ya!” ujar Aruna. Aruna dia salah satu temanku yang dari tadi diam jadi penonton, kini berani buka suara ketika Sinti Hatala sudah berlalu dari hadapan kita semuanya. “Iya, hebat! Datangnya saja tiba-tiba seperti jailangkung. Tak ada yang mengundang dan pulangnya pun tak minta di antar!” gerundel Sekar Arum Cempaka. “Eh, salah Sekar! Yang betul itu jailangkung pulangnya minta di papah sama Jagat Elang, hahahaha,” seru Aruna. “Sinti oh Sinti ... hahahaha," aku menyebut nama dia dengan dibikin nada yang merdu. Aku pun tak bisa menahan tawa. "SIKAT HALUS itu apa? Adakah seseorang yang bisa mengartikan untukku? Tolong translate ke bahasa JAWA,” gelak ku bercanda bersama Sekar Cempaka dan teman-teman lainnya. “Hiranya, maaf! Aku hanya diam saja ketika Elang kasar sama kamu.” “Jangan minta maaf padaku Sekar, justru aku yang mesti berterima kasih. Kamu berani juga sama Sinti,” ujar ku kepadanya Sekar Arum Cempaka. “Entahlah, tiba-tiba saja gak tega lihat temen diperlukan seperti itu, ya yang penting kamu baik-baik saja,” jawab Sekar Arum Cempaka. “Iya gak apa-apa kan hanya lecet dikit gak akan membuat seorang Gantari Putri Hiranya menangis.” Teettt ... teettt ... teettt bel sekolah berbunyi, tertanda ada pengumuman. ‘Sehubungan dengan kegiatan rapat guru dan karyawan ke kantor dinas pendidikan, diperkenankan agar siswa-siswi SMA Negeri 11 Yogyakarta untuk pulang lebih awal. Demikian pengumuman yang dapat kami sampaikan, agar dapat dipahami. Atas perhatian siswa-siswi kami ucapkan terima kasih.’ “Horeeeeeeeeeee,” teriak semua murid-murid. Sekar Arum Cempaka menggandeng tanganku. Ia begitu empati, dan aku kagum dengan sosoknya yang sederhana tapi baik. Betapa muaknya Sekar pas lihat sandiwara Sinti di depan Elang. Aku juga merasakan hal yang sama. Tapi tidak ada habisnya jika tadi aku meladeni mereka. Mungkin saat ini sebagian orang memandangku sebelah mata, mereka meremehkan dan menyepelekan kondisiku. Tapi, yakinlah semua itu akan terbayar dengan manis pada akhirnya. Jangan menghabiskan energi dan waktu guna mengurusi omongan negatif atau ocehan orang lain. Mereka enggak tahu yang sebenar-benarnya tentangku. Mereka itu hanya sok tahu. Aku anggap saja ucapan orang yang meremehkan sebagai pecutan agar aku terus bertahan dan memperjuangkan keinginan dan impian. “Syukurlah Hiranya, kamu baik-baik saja, ayo kita masuk kelas ambil tas dan pulang,” seru Sekar Arum Cempaka dengan gembira. “Tapi, aku minta sama kamu Sekar dan semua teman-teman yang menyaksikan kejadian tadi, jangan sampai bapak atau ibu guru tahu. Aku tidak ingin membuat ini jadi panjang, toh sebentar lagi kita semua lulus, jadi akan lebih baik jika tidak usah berulah.” “Ok, sekar,” jawab Sekar Cempaka dan beberapa temanku juga. “Tapi kalian pulang dulu saja, aku masih mau ke toilet, ini membersihkan tanganku dan bajuku yang sedikit kotor kena tanah pas jatuh tadi,” pintaku pada teman-teman. “Aku nungguin kamu gak apa-apa kok,” sahut Sekar Arum Cempaka. “Oh, gak usah Sekar, kan rumahmu jauh, dan harus antre naik bis, ntar kalau nungguin aku justru kamu malah telat sampek rumahmu. Kalau aku kan jalan kaki sepuluh menit saja sudah sampai rumahku, kan dekat dari sekolah dan aku sudah biasa pulang jalan kaki sendiri,” ucapku menjelaskan. “Iya sudah kalau gitu, aku pulang duluan Hiranya, awas kamu hati-hati kalau-kalau aja anak singa betina itu muncul cepat lari, agar tak jadi mangsanya,” ungkap Sekar Arum Cempaka dengan nada bercanda. “Huuuuhuuu takut, ”jawabku dengan bercanda pula. “Hahahaha” dilanjut tawa Sekar Cempaka sahabatku. “Sudah buruan sana, itu bisnya lewat itu loh,” ucap ku. Aku mendorong sedikit, pelan dan manja Sekar Arum Cempaka agar segera lari ke arah bis yang sudah berhenti di halaman sekolah, untuk menunggu penumpang para pelajar. Dan ia pun berlalu dengan senyuman ramah dan melambaikan tangan seraya berpamitan untuk bergegas menghampiri bis. Pemandangan yang sangat indah dimana ada keseruan para murid-murid yang mengantre dan dengan terburu-buru untuk duluan naik agar bisa mendapatkan tempat duduk. Sekar Cempaka mempercepat langkahnya menuju transportasi umum itu, bersama segerombolan teman yang searah jalan pulang dengannya. Setelah beberapa detik teman-teman sudah tidak ada di hadapanku, guru pun sudah meninggalkan sekolah. “Woee, hoeeeeee!” terdengar suara meredup. Aku perhatikan ke depan tak ada siapapun, lalu menoleh ke samping kanan kiri kemudian menengok ke arah belakang, kuperhatikan dengan saksama dari mana arah suara yang terdengar pelan. Jaraknya suara yang sepertinya jauh dari arahku. Ku pandang ujung sebelah parkir sekolah, namun sepertinya tak kulihat seorang pun di sana. Aku mencoba berpikir positif saja. Mungkin saja suara tikus kalau gak ya kucing, suara batinku berbicara. Melanjutkan langkahku menuju toilet sekolah yang sepi, dan sekali lagi ku dengar suara yang sama dari arah yang jauh, tapi kali ini aku lebih memilih untuk tidak menghiraukan. Memang aku ini hanya manusia biasa yang terkadang otakku ini juga gak bisa di ajak kompromi. Masih saja otak berusaha memaksa pikiranku untuk bergerak menuju alam halusinasi. Tidak berniat tapi pada kenyataannya otak telah berpikir seolah-olah ada hantu di dalam sekolah yang sudah terlihat sepi ini. Tiba di depan pintu kamar mandi, kulangkahkan dirimu masuk. Kunyalakan kran dan tersuarakan melodi syahdu gemericiknya air berlarian menuju saluran pipa pembuangan. Di ruang yang sepi ini dengan tergesa-gesa aku basuh telapak tanganku dan mengelap bajuku yang terkena noda dari tanah basah. Tubuhku mulai bereaksi mengeluarkan hormon yang diproduksi oleh kelenjar adrenalin dan otak, yang menandakan sedang berada pada situasi merasa stres, tertekan, takut, menegangkan atau berbahaya. Situasinya sudah berasa tidak nyaman lagi karena pikiranku sudah mulai melayang ke dimensi makhluk astral. Dan bulu kudukku berdiri menantang dan siap berperang untuk melawan yang separuh sudah menciut nyalinya. Sudah terlihat bersih dan aku segera keluar dari kamar mandi untuk memastikan aman atau tidak. Maka aku berjalan selangkah demi selangkah menengok kembali ke beberapa arah, kemudian aku berlari ke menuju halaman depan. Syukurlah yang ku pikirkan tadi hanyalah hantu yang di ciptakan oleh pikiran-pikiran negatif ku sendiri. “Dasar lemah! Cemen,” terdengar suara orang. Mendadak dia muncul dengan suaranya yang terdengar lantang mengagetkanku. Tangannya yang jahil menyerobot tas yang aku bawa. Kemudian dibukanya dengan paksa. “Siapa yang lemah!” tanya ku. Kali ini aku memberanikan diri menjawab. Sungguh aku gak habis pikir, dibukanya tasku dengan paksa. “Yang barusan ngmo.” “A–aku ... apa gitu maksudmu?” jawabku terbata. “Ehmmm,” ucap Jagat Elang. “Engga ...! Aduh, tasku itu, jangan main serobot. Jangan dibuka! Jagat Elang kembalikan,” Secepatnya aku berusaha meraih, namun apa daya badan Jagat Elang terlalu kuat. Kami terlihat seperti kucing dan kelinci yang merebutkan ikan rasa seledri. “Minggir! sahut Jagat Elang. “Itukan tasku,” kataku sambil menunjuk tasku yang dipegangnya. “Bodo amat!” Terlihat Jagat Elang tetap nekat membukanya, “sudah diam, jangan berisik.” Sepertinya Jagat Elang penasaran dengan apa yang ada di dalam tasku. Di bukanya tas itu dengan paksa, dengan segera tangan kanannya masuk mengambil kotak makan. “Apa ini?” tanyanya. “I–itu, bukan apa-apa kok," jawab ku. " Jagat! Sini kembalikan,” pintaku pada Jagat Elang. “Gak akan,” sahutnya. Dan astaga naga, ulah Jagat Elang benar-benar membuatku muak dan dongkol. Bagaimana tidak, dia dengan sengaja telah melemparkan tasku ke bawah. “Ya ampun,” keluhku. “Dasar cewek lemah!” ejeknya. “Aku gak lemah," kataku. “Sudah mengaku saja!” ucapnya. “Duh, kamu ngeyel. Sudah berapa kali aku bilang, aku gak lemah Jagat Elang,” ungkap ku. “Gak usah banyak alasan untuk membela diri,” seru Jagat Elang. “Siapa juga yang membela diri, kan fakta kalau sebenarnya tidak lemah. “Faktanya, jatuh! Jangan sok-sokan mengelak,” ledekannya. “Coba aku tahu kalau Sinti tadi mau mendorongku, ya pasti aku siaga dan gak bakalan jatuh,” kata ku. “Siap gak siap, kalau memang dasarnya kuat, gak bakal jatuh tersungkur,” ucap Jagat Elang. “Terserah kamu mau ngomong apa! Capek berdebat dengan kamu!” ucap ku. Aku merasa Jagat Elang dan Sinti Hatala begitu kasar tadi dan sekarang Jagat Elang mau berulah lagi. “Jagat! Janganlah, jangan dibuka." Dengan penasaran Jagat Elang membuka kotak biru ditangannya. Selanjutnya dia pun duduk dan sesekali dia tertawa seperti menghina isi didalaminya. “Hahahaha, apa-apaan ini, kayak anak TK,” ledeknya. “Jangan menghina masakan ibu,” kataku. “Aku gak menghina masakannya,” jawabnya. “Itu buktinya ketawa,” sambung ku lagi. “Kalau aku tertawa, apa artinya itu menghina? Jangan mudah menyimpulkan,” ujarnya kembali. “Ya enggak mesti. Tapi ketawamu itu, kan gimana gitu,” ujar ku. “Tawaku asli ini, sudah diam dulu,” ucapnya. “Haa! K-kamu makan!" ucapku. Betapa aku tercengang ketika melihat Elang melahap makanan yang dibawakan ibuku. Aku dibuatnya terdiam melongok mendapati ulahnya itu. “Mana air!” teriak Jagat Elang. “Gak ada! Tuh minum air kran sana,” ledekku. “Eh, kamu tega ya lihat orang." “Nihh! Makanya kalau lagi makan jangan ngomong, jadi susah menelan kan? Apa lagi mengambil makanan orang gak izin, ya gitu deh, kualat,” tukas ku. Sambil memberikan botol air mineral. Aku nampak menahan tawa melihat tingkahnya Jagat Elang yang seperti itu. Setelah puas menikmati, dia beranjak pergi meninggalkan kotak nasi yang berserak. Harusnya aku merekam kejadian tadi dan aku tunjukan ke Sinti Hatala. Ini pemandangan yang sangat langka, seorang Jagat Elang doyan juga menyantap makanan rumahan, semur tahu, balado telur puyuh, kentang dan sambal bajak, masakan ibundaku tercinta. “Makasih ya untuk makanan gratisnya,” ejekmu seraya menyindir Jagat Elang yang sudah berlalu tanpa ada ucapan berterima kasih sedikit saja. “Makanan itu untuk dimakan bukan di biarkan basi!” sahut Jagat Elang dari kejauhan. Berlalu dari hadapanku sembari berkata seperti itu. “Aah, entahlah gak paham juga! Malas mikir! Dan terserah kamulah Lang!“ cetusku menjawab Elang yang sudah ngacir tanpa merasa sungkan sudah mengembat makanan orang. Aku terdiam sejenak memikirkan apa yang Elang ucapkan tadi maksudnya apa. Tetapi memang benar beberapa hari yang lalu aku membuang bekalku yang basi ditempat sampah. Waktu itu, entah kenapa aku terlalu banyak tugas sampai-sampai aku melupakan menyantap makan siang ku. Berlalu dari hadapanku sembari berkata seperti itu ternyata itu maksudnya, dia perhatian juga sama aku. Jadi sindiran dia bukan lagi sindiran ternyata Elang tahu yang aku lakukan kemarin. Dasar bocah kampret gak bisa menegur dengan kata-kata yang baik. Paling malas berurusan dengan model yang beginian, kasar, kayak preman. Mengempis ban motor sudah sering, memakan bekalku juga sudah berulang kali, meminta ku mengerjakan tugas juga sudah. Yang aku pikirkan selama ini salah besar, aku mengira gak bakalan berurusan lagi dengan Jagat Elang. Pada kenyataannya putusnya aku sama Jagat Elang, tak membuatnya berhenti mengusikku, malah lebih parah dari sebelum aku pacaran dengannya dulu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD