PART 10

2258 Words
Setelah memasuki ruangan tempat penyimpanan jenazah untuk menyusul Davin yang ternyata datang ke sana, Geundis menemukan memang ada tiga jenazah baru yang berada di sana. Ketiga jenazah itu tertutup kain putih sehingga Geundis tak bisa melihat wajahnya.  Di dalam ruangan penyimpanan jenazah itu memang berbeda dengan ruangan dimana Geundis terkurung. Ada banyak sekali jenazah diletakan di sana karena belum lama diantarkan, belum diambil pihak keluarga, belum teridentivikasi identitasnya maupun berbagai alasan lainnya yang membuat jenazah tertahan di ruangan tersebut. Diam-diam Geundis kagum pada Davin yang bisa mengurus jenazah sebanyak ini sendirian. Walaupun sepertinya ada seorang pria paruh baya yang bertugas menjaga ruang jenazah ini karena Geundis melihat pria itu kini sedang membantu Davin memindahkan jenazah yang akan dimandikan ke ruangan tempat Geundis terkurung. Jenazah yang dibaringkan di ranjang, kini dibopong oleh dua pria itu untuk dipindahkan ke atas brankar agar memudahkan membawanya berpindah ruangan.  “Hei, jangan bengong.”  Geundis mengerjapkan mata karena lagi-lagi Davin melakukan tindakan tak sopan dengan menjentikan kedua jarinya di depan wajah Geundis di saat gadis itu tengah fokus menatap beberapa jenazah yang terbaring kaku di ranjang masing-masing.  “Benar, Neng. Di tempat seperti ini jangan banyak melamun. Nanti hantu seneng datengin.”  Geundis bergidik mendengar sang pria paruh baya penjaga ruang jenazah yang tak dia ketahui namanya itu baru saja menegurnya. Namun karena wajahnya yang begitu serius dan kata-katanya pun terdengar menyeramkan sukses membuat Geundis ketakutan sekarang.  Gadis itu buru-buru mengikuti langkah Davin dan si pria yang sedang mendorong brankar berisi jenazah untuk dipindahkan ke ruang memandikan jenazah.  Setibanya di ruangan khusus memandikan jenazah, hawa mencekam kembali dirasakan Geundis. Masih melekat jelas di ingatannya kejadian menyeramkan yang beberapa jam lalu dia alami di ruangan itu. Bahkan cermin yang memperlihatkan pantulan si hantu tak lagi berani Geundis tatap. Gadis itu selalu mengekori Davin tepat di belakangnya.  “Terima kasih, Pak,” ucap Davin pada pria paruh baya yang telah membantunya memindahkan jenazah. Sekarang si pria hendak berjalan pergi tapi Geundis merasakan keanehan karena pria itu terus saja menatap dirinya dengan sorot mata tajam dan tatapan yang menyiratkan makna yang mendalam namun Geundis tak mampu menerka apa makna di balik tatapannya itu. Yang pasti pria itu begitu tajam dan sinis menatapnya.  “Dibilangin jangan bengong terus, Geundis!”  Geundis tersentak karena suara Davin cukup tinggi saat menegurnya mungkin pria itu mulai kesal karena mendapati Geundis yang terus melamun.  “Aku nggak melamun kok, Dav.” “Iya, nggak melamun. Tapi kamu gak fokus.”  Geundis memutar bola mata, memang apa bedanya melamun dan tidak fokus? Padahal dia hanya sedang memperhatikan gerak-gerik pria paruh baya itu yang menurutnya aneh.  “Cepat bantu aku. Kita mandikan sama-sama supaya cepat.” “Iya, iya. Kamu bawel banget sih, Dav.” “Kamu yang lambat. Kalau kerja kamu cepat aku tidak akan bawel.”  Geundis berdecak jengkel, kenapa pula dia harus memiliki rekan kerja orang seperti Davin yang menyebalkan dan selalu marah-marah tak jelas. Satu lagi hal yang akan dia adukan pada Aarav nanti jika mereka sudah bertemu. Tunangannya itu harus tahu penderitaan yang Geundis rasakan sejak bekerja di rumah sakit ini. Padahal baru dua hari, bagaimana nasibnya di hari-hari kemudian? Geundis tak sanggup membayangkan. Sudah setiap hari menangani jenazah yang sudah menyeramkan dan menguarkan aura mistis, ditambah rekan kerjanya juga selalu membuatnya kesal setiap saat.  Karena tak ingin dimarahi Davin lagi, kini Geundis melakukan tugasnya dengan cepat. Dia cukup menghafal semua yang diajarkan Davin selama dua hari ini, jadi dia cukup tahu tahapan demi tahapan yang harus dia lakukan selama memandikan jenazah itu. Melihat Davin tak berkomentar apa pun lagi, Geundis bisa bernapas lega karena mungkin pria itu menganggap pekerjaannya benar kali ini.  Proses memandikan jenazah itu berlangsung kurang lebih satu jam karena mereka begitu teliti, tak ingin melakukan kesalahan sekecil apa pun. Tubuh sang jenazah yang tadinya terdapat beberapa luka yang darahnya sudah mengering, kini berhasil mereka bersihkan. Geundis tadi sudah membaca keterangan tentang jenazah itu, rupanya dia tewas karena dianiaya saat semasa hidup sang jenazah terlibat perkelahian dengan seseorang. Pantas saja banyak luka bekas bacokan di tubuhnya. Geundis cukup ngeri saat pertama melihatnya namun dia berusaha berani karena dibandingkan jenazah-jenazah sebelumnya yang dia mandikan, kondisi jenazah ini terbilang tak terlalu membuatnya takut.  Mereka kini sedang membungkus tubuh jenazah dengan kain kafan, tentu saja ini atas permintaan pihak keluarga yang ingin jenazah diantarkan ke rumah duka dalam kondisi sudah siap dimakamkan.  “OK, jenazah yang ini sudah siap. Tinggal dua lagi yang harus kita mandikan,” kata Davin, tampak puas dengan pekerjaan mereka yang cukup lancar. Kali ini dia akui Geundis bisa diandalkan dan sangat membantunya sehingga pekerjaannya berhasil diselesaikan dengan cepat.  “Dav, aku mau nanya sesuatu deh sama kamu.”  Fokus Davin yang awalnya sedang menatap wajah pucat sang jenazah yang kedua mata dan lubang hidungnya sudah ditutup kapas, kini dia beralih menatap Geundis yang tiba-tiba mengajaknya bicara.  “Kenapa? Mau nanya apa lagi? Masih ada yang belum kamu mengerti soal memandikan jenazah?”  Geundis menggelengkan kepala karena pertanyaan yang ingin dia lontarkan sepertinya tak ada hubungannya dengan tugas mereka memandikan jenazah.  “Terus kamu mau nanya apa? Tanyian aja langsung.” “Itu loh, aku mau nanya soal bapak tadi. Dia itu siapa?” “Oh, Bapak yang bantuin mindahin jenazah ini ke sini maksud kamu?”  Geundis berdecak seraya memutar bola mata, “Ya iyalah bapak yang itu, memangnya ada berapa bapak-bapak sih di sini? Kan cuma ada tiga orang aja yang bertugas di area ruang jenazah. Aku, kamu sama bapak itu, kan?”  “Makanya kamu kenalin diri dong. Orang baru tapi nggak mau kenalan sama senior.” Habis sudah kesabaran Geundis menghadapi Davin, jika dia tak ingat hanya Davin satu-satunya orang yang bisa dia ajak bicara di tempat itu mungkin dia sudah pergi dan memilih menanyakan hal ini pada orang lain.  “Jadi dia itu siapa? Kasih tahu dong, Dav.” “Udah jelas kan dia itu penjaga ruang jenazah.” “Iya, aku tahu. Maksudnya nama dia siapa? Sudah berapa lama kerja di sini? Hal-hal umum kayak gitu yang aku tanyain tentang dia.” “Namanya Pak Herman. Soal udah berapa lama dia jadi penjaga ruang jenazah, kamu tanyain aja langsung sama orangnya. Yang pasti sebelum aku kerja di sini dia udah ada di rumah sakit ini.”  Geundis ber-oh panjang, “Jadi tugas dia itu cuma menunggu di ruang jenazah?” “Bukan menunggu tapi berjaga. Ruang jenazah itu tetap harus dipastikan keamanannya. Dia juga yang menyimpan jenazah jika sudah diantarkan ke ruangan jenazah. Jadi kalau ada pihak keluarga yang minta jenazah dimandikan di rumah sakit, kita harus berkomunikasi pada Pak Herman karena dia yang biasanya mengetahui jenazah mana yang dimaksud. Dia yang menerima jenazah itu kan jadi dia yang lebih tahu.”  Geundis mengangguk-anggukan kepala, memang benar tugas mereka saling berkaitan sehingga harus terus berkomunikasi. Tapi entah kenapa Geundis ragu berinteraksi dengan bapak itu. Sikapnya yang begitu sinis membuat Geundis takut.  “Tapi Dav, dia orangnya gimana?” Satu alis Davin mengernyit dalam, “Maksudnya?” “Maksudnya dia itu orangnya baik atau gimana?” “Baiklah, dia nggak akan gigit kok.”  Sungguh Geundis rasa-rasanya ingin memukul kepala Davin sekarang, jawaban pria itu selalu sukses membuat Geundis frustasi dan jadi kesal sendiri.  “Lama-lama juga kamu bakalan tahu kalau udah sering interaksi sama dia. Daripada ngurusin orang lain, mendingan urusin kerjaan kita. Cepet kamu ke ruang jenazah lagi dan minta Pak Herman bantu antarkan jenazah lain yang harus kita mandikan.”  Geundis terbelalak mendengar perintah Davin yang seenaknya itu. “Hah? Maksudnya aku yang harus ngambil jenazahnya?” “Iya kamu. Minta bantuan aja sama Pak Herman kayak aku tadi.” “Tapi kenapa harus aku yang ke sana?” Geundis protes karena dia belum siap bertemu apalagi harus bicara dengan pria penjaga ruang jenazah yang baru dia ketahui bernama Herman itu.  “Biar kamu bisa cepet akrab sama dia, kamu harus mulai berinteraksi dari sekarang. Lagi pula kamu ngerti kan yang aku maksud tadi? Kita akan selalu berinteraksi dengan Pak Herman. Jadi kamu harus membiasakan diri.”  Geundis berdecak jengkel tapi tentu saja dia tidak memiliki pilihan selain menurut. Karena terlalu kesal, tanpa mengatakan apa pun Geundis beranjak pergi dari ruangan untuk melaksanakan tugas yang diberikan Davin.  Sekarang Geundis hanya bisa berharap dia bisa berinteraksi dengan benar di depan Pak Herman yang menurutnya seram dan sangat misterius itu.     ***   Begitu tiba di depan ruang penyimpanan jenazah, Geundis tak menemukan keberadaan Pak Herman di mejanya. Geundis menggulirkan mata untuk mencari kebaradaannya, namun nihil karena dia tak menemukannya dimana pun.  “Kemana Pak Herman? Kok nggak ada?”  Geundis kebingungan karena rasanya tidak mungkin dia bisa membawa jenazah itu sendirian ke ruang pemandian jenazah dimana Davin sedang menunggu sekarang.  Geundis berjalan lurus ke sebuah lorong, berharap bisa menemukan keberadaan Pak Herman. Namun lagi-lagi yang dia dapati hanya kondisi sepi dan kosong. Lorong panjang yang Geundis tak tahu akan menyambungkan dengan ruangan apa karena tak pernah dia telusuri, terlihat begitu mencekam karena tak terlihat satu pun orang yang berlalu-lalang. Geundis semakin yakin semua tempat yang berhubungan dengan tempat mengurus jenazah ini memang begitu angker dan mencekam. Sialnya bagi Geundis karena dia harus ditugaskan di tempat yang bagai neraka itu.  Geundis menghela napas panjang, “Apa Pak Herman ada di dalam ruangan ya?”  Saat bergumam seperti itu, tatapan Geundis tertuju pada pintu ruang penyimpanan jenazah. Berpikir Pak Herman memang sedang berada di dalam, Geundis pun memberanikan diri mendekati pintu yang dalam kondisi tertutup tersebut.  Geundis mengetuknya begitu daun pintu sudah ada di depannya, “Permisi. Pak Herman, apa bapak ada di dalam?!” teriak Geundis.  Tak ada sahutan yang dia dapatkan. Geundis pun mencoba mengetuk pintu sekali lagi. “Permisi. Pak Herman ada di dalam tidak?!”  Geundis kesal bukan main karena tak kunjung mendapat sahutan atau tanda-tanda seseorang akan membukakan pintu untuknya. Geundis akhirnya nekat membuka pintu yang ternyata dalam kondisi tidak terkunci tersebut.  Geundis sempat menahan napas saat aroma formalin untuk mengawetkan jenazah-jenazah itu tertangkap indera penciumannya. Hawa dingin seketika bisa dia rasakan begitu kakinya melangkah masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi ranjang yang ditempati beberapa jenazah yang terbujur kaku di atasnya.  Geundis meneguk ludah, menyadari sosok Pak Herman tak ada di dalam ruangan, kini Geundis hanya sendirian ditemani beberapa jenazah yang tertutupi kain putih.  “Duh, Pak Herman kemana sih? Jenazah yang harus dimandikan yang mana ya? Aku kan nggak tahu.”  Geundis bingung bukan main, ingin kembali ke ruang pemandian jenazah untuk memberitahukan hal ini pada Davin, dia yakin akan dimarahi lagi pria darah tinggi itu. Tapi sekarang pun Geundis tak tahu harus melakukan apa. Karena selain tak bisa menemukan sosok Pak Herman yang seharusnya berjaga di luar ruangan, dia juga tak tahu jenazah mana yang harus dimandikan.  “Katanya jenazah itu masih baru, kan? Jadi mungkin diletakan di dekat pintu.”  Geundis mencoba menerka-nerka karena memang ada jenazah yang diletakan tak jauh dari pintu. “Coba deh aku periksa.”  Dengan bermodalkan nekat karena sebenarnya jantung gadis malang itu sedang berdentum cepat saking takutnya, dia berjalan mendekati jenazah yang diletakan di dekat pintu tersebut.  Setelah dia tiba di dekat ranjang sang jenazah, Geundis meneguk ludah berulang kali sebelum tangannya bergerak dan terulur ke arah kain putih yang menutupi sang jenazah. Tangan Geundis gemetaran seiring tangan kanannya terulur semakin mendekati kain putih tersebut.  Saat tangan Geundis sudah menyentuh kain itu dan siap menyingkapnya.  Puk! “Aaaaaaaaaaaargghhh!!”  Spontan Geundis berteriak karena tiba-tiba seseorang menepuk cukup kencang pundaknya dari belakang. Seketika Geundis berbalik badan dan menghela napas panjang begitu melihat sosok Pak Herman yang baru saja nyaris membuatnya jantungan.  “Pak Herman, bikin kaget aja. Saya kirain siapa,” ucap Geundis sambil mengusap-usap dadanya karena sungguh dia terkejut bukan main karena ulah pria paruh baya tersebut.  “Neng ngapain di sini?” tanya Pak Herman, masih dengan malayangkan sorot mata tajam pada Geundis membuat gadis itu berulang kali meneguk saliva. “Saya mau mengambil jenazah baru yang katanya harus dimandikan,” jawab Geundis mengutarakan maksud kedatangannya ke ruangan itu. “Terus kenapa barusan mau buka kain penutup jenazah itu?” tanya Pak Herman sembari menunjuk jenazah yang kainnya nyaris disingkapkan oleh Geundis. “Saya ingin memeriksanya, Pak. Karena jenazahnya baru diantarkan jadi saya pikir mungkin yang itu jenazahnya soalnya diletakan di dekat pintu.”  Pak Herman menggelengkan kepala berulang kali, “Lain kali jangan sembarangan buka kain penutup jenazah, Neng. Mendingan Neng tanya dulu sama saya yang mana jenazahnya.” “Iya, maaf, Pak. Tadi saya juga awalnya mencari Bapak. Tapi karena tidak ketemu jadi saya coba memberanikan diri memeriksa sendiri. Pak Herman barusan kemana? Kok nggak ada di meja jaga?” “Saya ke kamar mandi sebentar.”  Geundis ber-oh panjang karena merasa tak enak hati tertangkap basah masuk ke ruangan tanpa izin terlebih dia berniat memeriksa jenazah tanpa bertanya pada Pak Herman yang lebih tahu dan bertanggungjawab untuk masalah ini.  “Saya melarang Neng membuka sembarangan kain penutup jenazah bukan maksud apa-apa. Tapi ada alasannya.”  Kening Geundis mengernyit dalam, “Ada alasannya, Pak? Memang apa alasannya, Pak?”  Geundis yang polos bertanya demikian dan itu adalah kesalahan besar yang sudah dia lakukan.  “Benar Neng ingin tahu alasannya?” tanya Pak Herman memastikan sekali lagi. Geundis mengangguk yakin, “Iya, Pak. Saya ingin tahu. Memang apa alasannya, Pak?” “Baik akan saya tunjukan alasannya kalau begitu.”  Geundis tak tahu apa yang akan dilakukan Pak Herman karena tangan pria itu kini terulur ke arah kain penutup jenazah yang tadi nyaris dibuka olehnya. Kejadian yang terjadi setelah itu hanyalah Geundis yang berteriak histeris. Entah apa yang sudah dilihat Geundis setelah kain putih penutup jenazah itu dibuka, yang pasti gadis itu ketakutan luar biasa.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD