PART 9

2325 Words
“Tidak! Tolong! Tolong keluarkan aku dari sini!”  Geundis terus berteriak sembari tiada henti menggedor pintu. Dia ketakutan bukan main karena pintu itu tiba-tiba terkunci dan tak bisa dia buka. Padahal awalnya pintu dalam keadaan terbuka. Kenapa bisa tertutup dengan sendirinya ditambah tiba-tiba terkunci? Dilihat dari kondisi ini pun bisa disimpulkan sesuatu yang janggal memang baru saja terjadi di dalam ruangan.  Padahal tak ada angin yang berhembus karena ruangan itu memang tak memiliki jendela, karenanya mustahil pintu tertutup karena terkena hembusan angin. Geundis yakin penampakan arwah yang dilihatnya tadi di pantulan cermin yang melakukan itu, bermaksud untuk mengganggunya. Kini Geundis tak ragu lagi ruangan khusus untuk memandikan jenazah itu memang sangat angker, dihuni banyak arwah gentayangan. Meski menurut Geundis itu hal yang wajar mengingat di tempat inilah para jenazah biasanya dimandikan.  “Tolooong! Davin, tolong keluarkan aku dari sini! Kalau kamu ada di luar dan ini perbuatan kamu. Tolong ya, candaan kamu nggak lucu!”  Ya, kemungkinan lain pintu tiba-tiba tertutup dan terkunci seperti ini karena ulah iseng Davin yang mungkin sengaja mengerjainya karena tahu Geundis begitu penakut. Bisa jadi ini perbuatan Davin yang mencoba menghukumnya karena terlambat kembali padahal waktu istirahat makan siang sudah berakhir sejak tadi.  Berbagai pemikiran buruk tentang Davin yang kejam padanya mulai bermunculan di benak Geundis. Dia tak akan memaafkan pria itu jika benar ini ulahnya yang sedang menjahilinya.  “Davin, buka pintunya! Aku mohon, aku takut sekali!”  Tetap saja teriakan Geundis tak membuahkan hasil apa pun karena tak ada tanda-tanda seseorang akan membukakan pintu untuknya.  Dalam kondisinya yang terus berteriak sambil menggedor pintu, Geundis dikejutkan oleh hawa dingin yang tiba-tiba berembus dari arah belakang, seolah seseorang baru saja meniup tengkuknya.  Spontan Geundis memegangi tengkuknya yang bulu-bulu halus tumbuh di sana mulai meremang, dia juga refleks menoleh ke belakang. Namun nihil, dia tak melihat penampakan apa pun jika menelisik dengan mata telanjangnya. Lagi pula sejak tadi memang seperti itu, dia baru melihat penampakan arwah gentayangan dari pantulan cermin.  Disertai peluh sebiji jagung yang mulai berjatuhan dari pelipisnya, Geundis juga meneguk ludah berulang kali tanpa sadar. Bola matanya mengedar ke sekeliling ruangan yang tampak mencekam itu. Aura angkernya begitu kental terasa. Tubuh Geundis perlahan mulai gemetaran, dia sangat ketakutan karena terkurung sendirian di sana terlebih tak ada akses baginya untuk melarikan diri dari sana. Tak ada jendela yang bisa dia lompati, hanya ada satu jalan keluar yaitu pintu. Namun pintu pun tak bisa dia andalkan karena dalam kondisi tertutup dan terkunci.  “Tolong jangan ganggu aku. Aku tidak berniat mengganggu kamu. Aku ke sini karena ingin mengembalikan nampan yang jatuh ke tempatnya semula.” Geundis menangkupkan kedua tangan di depan d**a sambil menggesek-geseknya berulang kali, itu bentuk permohonan darinya agar sang hantu segera pergi dan tak lagi mengganggunya. Dia juga berharap jika memang benar yang membuat pintu itu terkunci adalah hantu di pantulan cermin tadi, sang hantu akan memaafkannya dengan tindakan dan ucapannya ini. Geundis berpikir mungkin hantu itu marah karena dia memasuki ruangan ini.  “Maafkan aku. Tolong jangan ganggu aku dan biarkan aku keluar dari sini.”  Praaang!! “Aaaaaaaaakhhh!!”  Geundis spontan berteriak kencang saat yang dia dapati adalah nampan alumunium yang dia letakan di samping wastafel tadi tiba-tiba kembali terjatuh dan menciptakan suara dentuman kencang saat berbenturan keras dengan lantai. Geundis terkejut setengah mati dan semakin ketakutan. Sekarang dia semakin yakin yang mengurungnya di dalam ruangan ini merupakan ulah hantu tadi karena mustahil nampan bisa jatuh sendiri jika bukan karena ada yang menggerakannya.  Geundis menoleh saat telinganya tiba-tiba menangkap suara aneh.  Drap … Drap  Itu seperti suara seseorang yang sedang melompat-lompat. Gadis itu jadi teringat pada sosok penampakan di dalam cermin yang memang menyerupai jenazah yang sudah terbungkus kain kafan.  Tak kuasa lagi menahan takut karena seiring berjalannya waktu suara aneh itu semakin terdengar jelas oleh telinganya meski matanya tak bisa melihat apa pun, Geundis pun berlari menuju meja yang biasa digunakan untuk membaringkan jenazah yang akan dimandikan.  Geundis bersembunyi di bawah meja itu sambil berjongkok dan menutup kedua telinganya dengan telapak tangannya sendiri. Kedua matanya dia pejamkan erat karena benar-benar tak ingin mendengar suara aneh yang mengerikan tadi atau melihat lagi penampakan apa pun. Apalagi penampakan menyeramkan seperti yang dia lihat di pantulan cermin.  Drap … Drap … Drap  Naasnya suara itu tetap bisa dia dengar bahkan Geundis yakin terdengar jelas dari arah belakangnya.  “Jangan ganggu aku. Aku mohon jangan ganggu,” pinta Geundis untuk yang kesekian kalinya. Sekarang bukan hanya tubuhnya yang gemetaran, suaranya pun ikut bergetar dan kedua mata yang mulai meneteskan air mata.  Seolah permintaannya dikabulkan, suara itu tiba-tiba tak terdengar lagi. Dengan gerakan perlahan Geundis membuka mata dan menoleh ke belakang, ke arah asal suara tadi terdengar. Mengembuskan napas lega tatkala tak menemukan keanehan maupun hal yang menyeramkan di sana. Geundis sangat berharap apa yang didengarnya tadi hanyalah halusinasinya belaka.  Namun sayangnya harapan Geundis hanya tinggal harapan karena setelah itu kejadian tak terduga lain kembali terjadi. Lampu di dalam ruangan itu tiba-tiba mati, membuat ruangan yang awalnya terang benderang menjadi gelap gulita. Gelap total tanpa ada cahaya sedikit pun.  Geundis kembali berteriak histeris, dia yang sedari tadi sudah ketakutan kini bahkan menangis tersedu-sedu karena kadar rasa takutnya sudah melebihi kapasitas normal. Rasa-rasanya dia tak kuasa lagi menahan rasa takut itu jika lebih lama lagi terkurung di ruangan angker yang dalam kondisi gelap gulita. Dia terkunci di sana karena tak ada akses untuk melarikan diri.  Di tengah-tengah ketakutan Geundis.  Drap … Drap  Suara seseorang yang seolah sedang melompat-lompat kembali terdengar lagi. Geundis menegang di tampat. Suara itu ternyata bukan hanya halusinasinya saja, dia semakin yakin sekarang karena telinganya bisa mendengarnya dengan jelas.  “Jangan ganggu aku. Siapa pun kamu, jangan ganggu aku. Aku datang ke ruangan ini bukan untuk mengganggu kamu.”  Geundis terus memohon di tengah-tengah isak tangisnya yang semakin terdengar kencang. Berharap suara aneh itu tak lagi terdengar. Dan ya, untuk kesekian kalinya suara aneh itu tiba-tiba berhenti seolah si pemilik suara mengabulkan permohonan Geundis. Namun ternyata tidak sampai di situ teror yang diterima Geundis karena setelah itu …  Sssshhhhh  Geundis yakin mendengar seseorang seolah sedang bernapas tepat di belakangnya, bahkan bisa dia rasakan hawa dingin pada tengkuknya seperti tadi bagaikan ada seseorang yang sedang sengaja meniupnya.  Dengan tangan gemetaran hebat, Geundis merogoh saku seragam perawat yang dia kenakan, dia baru ingat menyimpan ponselnya di sana. Ponsel itu ikut bergetar hebat karena tangan Geundis yang tiada henti gemetaran. Gadis itu menekan tombol di samping ponsel sehingga layar itu pun menyala.  Ssssshhhhh  Suara hembusan napas dari arah belakangnya masih didengar Geundis. Gadis itu meneguk ludah, sekarang suasana tak lagi terlalu gelap karena cahaya yang berasal dari layar ponselnya. Kepalanya bergerak dengan sangat perlahan untuk memastikan suara hembusan napas siapa yang berada di belakangnya. Dan saat kini akhirnya kepalanya menoleh ke belakang …  “Aaaaaaaaaakkhhh!!”  Geundis hanya bisa berteriak dikala menemukan sosok wajah yang sangat menyeramkan tepat di depan wajahnya. Wajah dengan kulit yang pucat pasi dan terlihat membiru. Kedua mata yang melotot sempurna hingga bola mata itu seolah siap menggelinding keluar dari kelopaknya. Kulit wajah yang mengelupas sehingga tulang pipinya yang keropos terekspos jelas. Dan yang membuat Geundis tak kuasa lagi menahan rasa takut karena dia melihat mulut sosok itu tengah terbuka lebar dengan lidah yang terjulur keluar disertai darah segar yang menetes-netes keluar.  Geundis akhirnya jatuh terkulai detik itu juga, tak bisa mempertahankan kesadarannya karena terlalu takut, gadis malang itu akhirnya pingsan di tempat setelah berteriak sekencang yang dia bisa.   ***   Begitu membuka mata, yang Geundis temukan adalah sinar lampu yang menyorot tajam tepat mengenai bola matanya sehingga dia dengan cepat mengerjap dan menyipitkan mata untuk menyesuaikan penglihatannya dengan suasana yang tiba-tiba terang benderang.  Geundis menggulirkan mata ke sekeliling, terkejut saat mendapati dirinya sudah berada di sebuah ruangan menyerupai ruang rawat pasien. Geundis pun tertegun, mencoba mengingat-ingat lagi apa yang baru saja menimpanya sampai dirinya bisa berakhir di dalam ruangan itu.  Rasa takut kembali menjalari diri Geundis tatkala dia akhirnya mengingat apa yang sudah menimpanya. Ya, Geundis ingat semuanya sekarang. Dan rasa takut kembali menderanya begitu mengingat kejadian mengerikan yang dia alami di ruang pemandian jenazah. Bukankah dia terkurung di sana karena pintu yang tiba-tiba terkunci? Lampu di ruangan itu juga tiba-tiba mati total, Geundis ingat dirinya bersembunyi di bawah meja untuk menghindari suara aneh yang dia dengar. Ingatan terakhir Geundis tertuju pada penampakan sesosok wajah mengerikan yang dia lihat berada tepat di belakang tubuhnya.  Geundis bergegas turun dari ranjang, dia ingin pergi dari ruangan itu dan meminta bantuan entah pada siapa pun karena dia yakin sedang sendirian di ruangan asing tersebut. Lagi pula siapa yang membawanya ke sana dimana seharusnya dia sedang terkurung di ruang pemandian jenazah? Begitu banyak tanda tanya di benak Geundis saat ini, namun yang dia inginkan hanyalah segera bertemu dengan orang lain dan menceritakan kejadian menyeramkan yang baru saja dia alami.  Geundis berjalan cepat menuju pintu, saat dia hendak membuka pintu tanpa diduga tiba-tiba seseorang membukanya lebih dulu dari luar dan masuk ke dalam tanpa aba-aba membuat orang itu bertabrakan dengan Geundis.  “Aduuh.”  Geundis mengaduh karena sesuatu yang menabraknya itu cukup keras, saat mendongak dia menemukan sosok Davin sudah berdiri menjulang di depannya. Oh, barusan dia bertabrakan dengan d**a bidang pria itu, pantas saja rasanya begitu keras.  “Kamu sudah sadar?” tanya Davin, seperti biasa sembari melayangkan tatapan datar pada Geundis.  Kedua alis Geundis menyatu, bingung. “Sudah sadar? Emangnya tadi aku kenapa?” “Kamu pingsan di ruang pemandian jenazah. Untung aku masuk ke dalam karena mendengar teriakanmu.”  Geundis terbelalak, Oh dia baru ingat sekarang. Benar dia jatuh pingsan setelah melihat penampakan wajah yang menyeramkan itu. Dan ternyata Davin yang membawanya ke ruangan ini, akhirnya dia tahu sekarang pelaku yang sudah memindahkan tubuhnya ke ruangan yang asing bagi Geundis ini.  “Aku lihat kamu pingsan di bawah meja. Kamu ngapain di sana? Terus kenapa kamu teriak-teriak segala?” tanya Davin bertubi-tubi karena pria itu memang heran menemukan tubuh Geundis tergeletak tak sadarkan diri di bawah meja.  “Aku sedang bersembunyi di sana. Dav, kamu harus percaya sama ceritaku ini. Tadi aku terkurung di ruangan itu. Ah, tidak, lebih tepatnya aku dikurung oleh hantu di sana.”  Satu alis Davin terangkat naik, jenis ekspresi pria itu meragukan cerita Geundis. “Hah? Terkurung bagaimana maksudnya?” “Aku dikurung di sana sama itu hantu, Dav. Kamu lihat sendiri kan pintunya tertutup dan terkunci?”  Kali ini kening Davin yang mengernyit dalam, “Pintunya emang tertutup tapi nggak terkunci kok. Aku bisa masuk gitu aja tuh.”  Geundis mengerjapkan mata, padahal jelas-jelas tadi dia tak bisa membuka pintu itu karena dalam kondisi terkunci. Bagaimana bisa Davin berkata demikian?  “Tapi ruangannya gelap, kan? Soalnya tadi mati lampu.”  Alih-alih mendapat jawaban dari Davin yang mengiyakan karena Geundis tahu persis tadi lampu di dalam ruangan itu tiba-tiba mati total, yang dia dapati justru Davin yang menggeleng dengan tegas.  “Nggak mati kok. Lampunya nyala. Terang banget di dalam ruangan itu. Makanya aku bisa menemukan kamu pingsan di bawah meja karena lampunya nyala, kalau mati aku nggak akan lihat kamu tergeletak di situ.”  Yang dikatakan Davin cukup masuk akal, namun Geundis terheran-heran sekarang karena seharusnya lampu di dalam ruangan itu dalam kondisi mati sehingga ruangan gelap gulita sampai Geundis ketakutan karena tak bisa melihat apa pun, bahkan setitik cahaya pun tak bisa dia lihat.  “Jadi kamu teriak-teriak sampai pingsan tadi gara-gara halusinasi kamu aja?”  Geundis menggelengkan kepala berulang kali karena tersinggung juga mendengar Davin mengatakan semua yang dialaminya tadi hanya halusinasi. Jika itu halusinasi mana mungkin dia sampai pingsan saking ketakutannya.  “Aku serius, Dav. Aku yakin tadi itu emang nyata. Aku dikurung hantu di ruangan itu. Hantunya serem banget deh.” Geundis bergidik di akhir ucapannya, merasa ngeri sendiri saat bayangan wajah menyeramkan hantu itu kini terbayang di ingatannya.  “Ngaco kamu. Ini karena kamu ketakutan. Makanya aku kasih tahu ya, karena kamu ini ditugaskan di bagian mengurus jenazah, kamu harus mulai membiasakan diri. Mulai sekarang kerjaan kamu emang selalu berurusan dengan jenazah. Jadi jangan mikir yang aneh-aneh supaya nggak parno dan jadi sering halusinasi.”  Geundis berdecak jengkel karena Davin secara terang-terangan menunjukan pria itu tak percaya pada perkataannya. “Aku nggak halusinasi, Dav. Yang aku alami tadi itu serius makanya aku sampai pingsan. Tadi emang aku lihat penampakan hantu yang serem banget. Dia ngurung aku di sana.”  Davin mengibaskan tangan, bentuk isyarat agar Geundis berhenti mengoceh, toh dia tetap tidak percaya cerita gadis itu yang menurutnya hanyalah halusinasi semata.  “Udah deh berhenti ngarang cerita. Kamu udah mendingan kan sekarang?”  Geundis menghela napas panjang, inilah kesialannya yang lain karena selain dirinya ditempatkan jadi pengurus jenazah yang membuatnya selalu terlibat pada hal-hal menyeramkan, dia juga memiliki rekan kerja yang begitu menyebalkan dan sombong seperti Davin. Pria itu sok berani dan tak mempercayai ucapannya membuat Geundis kini berharap di dalam hati agar pemuda itu kelak mengalami juga kejadian menyeramkan yang beberapa kali dia alami. “Heh, malah bengong.”  Geundis mengerjapkan mata karena dengan kurang ajarnya Davin malah menjentikan jari tepat di depan wajahnya, membuat Geundis terkejut bukan main.  “Makanya jangan kebanyakan bengong. Pasti ini nih penyebab kamu sampe halusinasi kayak tadi. Pake ngarang cerita pintu kekunci sama lampu mati padahal aku masuk ke dalam ruangan, pintunya gak dikunci kok. Lampunya juga nyala tuh.”  Geundis memutar bola mata, bosan menanggapi Davin yang sudah jelas memang tidak akan pernah mempercayainya.  “Terserah kamu deh mau percaya atau nggak cerita aku tadi.” “Aku milih nggak percaya karena aku tahu kamu cuma lagi halusinasi aja. Daripada ngebahas masalah nggak penting, sekarang mendingan kamu ikut aku.” “Ikut kemana?” tanya Geundis malas. “Ya, kerja dong. Ada tiga jenazah baru yang harus kita mandikan. Ini terakhir kali kita mandiin jenazah bareng karena ingat, mulai besok kamu harus mandiin jenazah sendiri.”  Setelah mengatakan itu, tanpa belas kasihan Davin melangkah pergi meninggalkan Geundis yang masih mematung di tempat dengan wajah pucat pasi. Sekarang kengerian apalagi yang akan Geundis alami? Lama-lama gadis itu bisa gila jika terus-terusan di teror oleh hantu penghuni rumah sakit angker itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD