PART 12

2153 Words
Geundis sama sekali tak mengerti kenapa hal seperti ini bisa menimpanya. Tapi satu hal yang pasti dia sangat yakin wajah jenazah dan wajah hantu yang menerornya dengan mengurung dirinya di ruangan ini sampai pingsan saking ketakutan, sama persis. Mereka orang yang sama. Geundis jadi berpikir mungkinkah arwah yang mengganggunya itu memang arwah dari jenazah ini yang ingin menyampaikan sesuatu padanya seperti yang dikatakan Pak Herman.  “Dav, aku serius. Wajah jenazah ini memang sama persis dengan hantu yang mengurungku di ruangan ini tadi. Aku tidak bohong,” ucap Geundis sembari menunjuk wajah sang jenazah dengan jari telunjuknya. Berharap Davin mau mempercayai ucapannya ini.  Davin berdecak, terlihat mulai jengkel karena sejak tadi Geundis terus saja mengatakan hal yang menurutnya tak masuk akal dan tak bisa dia percayai.  “Udah deh. Kamu jangan ngomong melantur terus. Dikit-dikit ngomongin hantu lah, arwah gentayangan lah. Kamu ini di sini kerja bukan mau mendongeng.”  Mendengar ucapan Davin, Geundis mendelik tajam karena tentu saja dia tersinggung bukan main. “Jadi kamu pikir sejak tadi aku hanya mengarang cerita?” “Memang begitu, kan? Dengar ya, kamu mau ngomong apa pun tentang hantu atau arwah atau makhluk apa pun yang kamu bilang menghuni rumah sakit ini, aku sama sekali nggak peduli. Kamu mau tahu kenapa? Karena aku nggak percaya sama hantu. OK, paham ya sekarang?” Geundis menggelengkan kepala, mendengar ucapan Davin yang begitu sombong itu. “Kalau begitu aku doakan kamu melihat penampakan atau diganggu hantu nanti.”  Tak ingin terlibat adu mulut lagi dengan Davin yang menurutnya percuma karena pria itu tetap tak akan mempercayainya, Geundis pun memilih menyiapkan peralatan untuk memandikan jenazah tersebut.  Walau dia yakin wajah jenazah dan hantu itu memang sama persis tapi dia akan mencoba mengabaikan dan fokus pada pekerjaannya. Ini semua karena dia sadar bicara dengan Davin hanya akan membuatnya sakit hati dan kesal sendiri. Mungkin nanti dia akan membahas ini dengan Pak Herman yang tentunya akan mempercayai dirinya jika bercerita masalah ini.  “Nah, begitu dong. Fokus kalau bekerja. Bukannya mengoceh nggak jelas terus.”  Geundis memutar bola mata, bosan mendengar ocehan pria menyebalkan itu. Kini sudah dipastikan Davin akan masuk ke dalam daftar nama orang-orang yang harus dia hindari dalam hidupnya.  Kedua orang itu lantas dengan telaten memandikan jenazah. Karena itu jenazah wanita, bagian depan tubuhnya ditutupi kain agar tak terekspos jelas. Geundis yang akan membersihkan area-area sensitif pada tubuh sang jenazah sedangkan Davin hanya membantu membersihkan bagian punggung. Geundis baru sadar setiap memandikan jenazah wanita Davin tak pernah melihat ke arah jenazah seolah dia enggan untuk menatap tubuhnya meskipun area bagian depan tertutupi kain.  “Kamu kalau lagi mandiin jenazah wanita emang selalu begitu ya?” tanya Geundis membuat Davin yang sedang menggosok punggung sang jenazah pun kini menatap ke arahnya disertai kening mengernyit. “Maksudnya?” “Iya, maksud aku kamu bersihin tanpa melihat badannya. Aku perhatiin kamu lihat ke arah lain terus.” Davin mendengus mendengar pertanyaan Geundis yang menurutnya sudah jelas jawabannya. Entah gadis itu terlalu polos atau sedang mengujinya, Davin sebenarnya malas meladeni apalagi jika dirinya sedang bekerja seperti ini.  “Dav.” “Apalagi sih?!” balas Davin sedikit membentak karena sudah jengkel bukan main menghadapi Geundis yang menurutnya sangat cerewet dan berisik padahal Davin merupakan tipe orang yang selalu serius jika sedang bekerja dan tidak suka banyak bicara apalagi suasana yang berisik.  “Kamu belum jawab pertanyaan aku.” “Perlu ya dijawab?” Geundis memutar bola mata, “Iya dong perlu. Makanya itu kan aku nanya.” “Aku gak tahu ya kamu ini beneran nggak ngerti karena terlalu bodoh atau lagi ngerjain aku.”  Geundis merengut, tersinggung tentu saja karena dirinya disebut bodoh oleh Davin. “Aku serius nanya, Davin!” sahut Geundis sedikit berteriak. “Jawabannya kan udah jelas. Dia ini wanita masa iya aku yang laki-laki lihatin tubuhnya. Kan melanggar etika itu.”  Geundis mengerjap-erjapkan mata, sedikit bingung mendengar jawaban Davin karena dia pikir semua jenazah dimandikan Davin entah itu wanita maupun pria.  “Bukannya kamu udah biasa mandiin semua jenazah ya? Tentu aja termasuk jenazah wanita.”  Melihat Davin menggelengkan kepala, Geundis semakin tidak mengerti karena yang dia tahu hanya ada Davin seorang yang bertugas memandikan jenazah sebelum dirinya datang.  “Dulu sebelum kamu datang, ada perawat wanita yang juga bertugas memandikan jenazah. Dia khusus memandikan jenazah wanita, sedangkan aku memandikan jenazah laki-laki.”  Geundis terbelalak sekarang, tak menyangka bahwa ada perawat lain yang senasib dengannya. Yang jadi pertanyaannya kemana perawat itu sekarang karena Geundis sama sekali tidak melihatnya?  “Terus perawat itu dimana sekarang?” tanya Geundis tak kuasa lagi menahan penasarannya. “Dia sudah meninggal. Bulan lalu.”  Seketika Geundis terbelalak, “M-Meninggal kamu bilang? Meninggal kenapa?” “Dia jatuh dari lantai tiga rumah sakit ini.”  Tiba-tiba Geundis meneguk saliva sekaligus teringat pada cerita pasien anak-anak bernama Cindy yang juga nyaris terjatuh dari lantai tiga. Kenapa bisa kebetulan seperti ini?  Sebuah pemikiran pun kini terlintas di benak Geundis, “Dav, kamu bilang perawat itu meninggal karena terjatuh di lantai tiga, kok bisa? Padahal tugas dia mandiin jenazah di temapt ini, berarti kan dia harusnya di lantai dasar terus. Ngapain dia ke lantai tiga?”  “Ya, mana aku tahu,” jawab Davin sembari mengangkat kedua bahu. “Kamu kan rekannya, masa kamu nggak tahu sih, Dav?” Davin berdecak, “Dia walau rekanku di sini tapi bukan berarti aku deket sama dia. Lagian dia itu udah senior. Hampir seumuran sama Pak Herman.”  Entah sudah keberapa kalinya Geundis dibuat terkejut oleh informasi yang diberikan Davin ini. Jika perawat itu seumuran dengan Pak Herman, berarti dia seorang wanita paruh baya yang sudah berusia sekitar 40 tahun lebih.  “Oh, dia udah senior pantas saja mau bertugas mandiin jenazah. Soalnya kalau gadis muda kayak aku pasti gak mau.”  Davin terkekeh mendengar gumaman pelan Geundis yang masih bisa didengar telinganya.  Geundis seketika mendelik tajam, “Kamu kenapa ketawa?” tanya Geundis terlihat tersinggung karena Davin terang-terangan baru saja menertawakannya. “Lucu aja. Kamu bilang gadis muda kayak kamu gak akan mau jadi petugas mandiin jenazah. Terus kenapa sekarang kamu mau?” “Ini karena aku terpaksa. Lagian lihat aja, besok lusa juga aku udah nggak di sini lagi. Kamu bakalan sendirian lagi ngurusin jenazah di sini.”  Kedua alis Davin terlihat menyatu, “Kenapa memangnya? Kamu mau berhenti bekerja di sini?” Dengan tegas Geundis menganggukan kepala, “Iya. Aku tidak tahan jika harus terus-terusan melihat penampakan hantu. Mereka itu serem banget, Dav. Kamu sih beruntung gak pernah lihat. Aku udah beberapa kali lihat sejak bekerja di sini. Padahal baru dua hari, bagaimana jadinya jika aku lama bekerja di sini? Bisa-bisanya aku jadi gila karena lihat penampakan hantu dan digangguin terus.”  Davin mengangkat kedua bahunya, tak peduli dan tak ingin ambil pusing dengan masalah Geundis yang katanya sering diteror hantu.  “Kalau aku tahu kamu mau berhenti, untuk apa aku mengajari kamu dua hari ini? Kamu ini benar-benar nggak tahu berterima kasih ya? Harusnya kamu bilang dari awal kalau nggak mau nerusin kerja di sini. Bikin aku buang-buang waktu aja ngajarin kamu.”  Geundis terdiam, berpikir wajar jika Davin marah setelah mendengar rencananya yang akan berhenti bekerja. Memang benar, Geundis saking ketakutannya apalagi setelah mendengar ucapan Pak Herman tadi kini memutuskan akan mengatakan pada Aarav dirinya akan berhenti bekerja kecuali jika dipindahtugaskan ke bagian lain. Bagian apa saja asalkan bukan sebagai petugas memandikan jenazah.  “Heh, ayo lanjutkan. Belum beres ini mandiin jenazahnya.”  Geundis pun menurut. Dia kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda karena pembicaraan mereka barusan. Dan lagi-lagi Geundis menyadari ada sesuatu yang kembali mengusik pikirannya.  “Kamu bilang perawat yang bertugas memandikan jenazah wanita kan meninggal bulan lalu. Terus selama ini kamu yang mandiin jenazah wanita setelah perawat itu meninggal?”  Tanpa menatap ke arah Geundis, Davin menyahut, “Nggak. Ada ibu-ibu yang biasa memandikan jenazah di daerah sini, yang biasanya membantu aku kalau ada jenazah wanita yang harus dimandikan. Aku dengar sih dia masih saudaranya Suster Mona. Tapi tiga hari sebelum kamu datang, tiba-tiba ibu itu nggak pernah datang lagi.” “Loh, kenapa nggak dateng lagi?”  Davin mengedikan kedua bahu, “Mana aku tahu. Kalau kamu penasaran tanyakan aja langsung sama Suster Mona. Kan ibu itu masih saudara dia.”  Geundis tak terkejut mendengar jawaban Davin karena memang pria itu tak mengetahui informasi apa pun tentang orang lain yang pernah menjadi rekannya membuat gadis itu semakin berpikir Davin memang seseorang yang anti sosial, sangat cocok dengan pekerjaannya yang selalu berurusan dengan orang yang sudah meninggal.  Setelah obrolan itu, Geundis tak banyak bertanya karena tak ada lagi yang ingin dia tanyakan pada Davin. Pekerjaan mereka memandikan jenazah itu pun selesai. Sang jenazah sudah mereka bungkus dengan kain kafan, kini Davin sedang berjalan ke arah laci tempat penyimpanan kapas untuk mengambil kapas yang akan digunakan menutupi kedua mata dan lubang hidung sang jenazah.  “Geundis,” panggil Davin tiba-tiba. Geundis yang sedang sibuk membersihkan peralatan memandikan jenazah di wastafel pun seketika menoleh pada pria itu. “Kenapa?” tanyanya. “Kamu lihat kapas di laci ini nggak?”  Geundis menggelengkan kepala karena saat memandikan jenazah yang pertama sebelum jenazah wanita itu, ,masih melekat di ingatan Geundis, Davin yang mengambil kapasnya. “Aku nggak lihat. Kan kamu yang ambil kapasnya tadi waktu kita mandiin jenazah yang pertama.”  Davin tertegun seolah-olah merasakan ada kejanggalan atau memang dia yang lupa bahwa stock kapas sudah habis. Tak ingin ambil pusing dengan menghilangnya kapas di dalam laci, Davin pun berjalan menghampiri Geundis.  “Kamu tunggu di sini ya. Aku keluar dulu ngambil kapas.”  Geundis terbelalak mendengar Davin yang berniat meninggalkannya sendirian di ruangan itu bersama sang jenazah. “Eh, jangan tinggalin aku sendiri, Dav. Aku takut banget. Serius.”  Davin menghela napas panjang, dia lama-lama mulai lelah menghadapi sikap Geundis yang terlalu penakut. “Aku hanya sebentar. Mau mengambil kapas. Setelah itu aku akan secepatnya kembali ke sini.” “Aku aja yang ambil kapasnya. Kamu yang tunggu di sini.” “Emangnya kamu tahu minta kapasnya dimana?”  Seketika Geundis tertegun, dia tak tahu karena Davin juga belum memberitahunya.  “Semua stock kapas yang biasanya aku simpan di laci nggak ada. Jadi harus minta ke bagian gudang dulu.” “Semua stock kapas habis? Kok bisa kamu gak nyadar tadi, Dav?”  Gantian Davin yang tertegun, dia jadi kembali merasakan ada kejanggalan di sini. Pria itu tak yakin kapasnya habis karena jika memang sejak memandikan jenazah pertama ketahuan kapas itu habis, tentunya tadi dia sudah meminta pada pihak gudang sebelum memandikan jenazah yang kedua ini.  “Aku juga agak heran sih. Perasaan tadi kapasnya masih ada,” gumam Davin. Geundis mengerjapkan mata, dia juga baru ingat terakhir kali memandikan jenazah sebelum istirahat siang tadi dia yang mengambil kapas dan memang seharusnya stock kapas di dalam laci masih banyak.  “Aku baru inget, Dav. Kamu inget kan waktu kita mandiin jenazah sebelum jam istirahat makan siang? Itu aku yang ngambil kapasnya,” ucap Geundis. “Terus aku juga inget pas kapas yang nutup mata jenazahnya jatuh aku mau ambil kapas yang lain, aku lihat masih banyak kok kapasnya. Cuma gak jadi aku ambil kapas lagi soalnya kapas itu ketemu dan tiba-tiba balik lagi ke tempat semula waktu kamu dateng.”  Davin mendengus, tentu dia ingat kejadian yang dimaksud Geundis ini. Kejadian konyol yang membuat Davin semakin yakin gadis itu hanya berhalusinasi. Mengatakan kapas yang menutupi sebelah mata jenazah jatuh, nyatanya saat dia yang memeriksa kapas itu masih ada di tempatnya, masih menutupi kedua mata sang jenazah.  “Jadi kesimpulannya kamu juga yakin stock kapas masih banyak, kan?” tanya Davin. “Iya, Dav. Aku yakin banget.” “Ya udah coba sana cari di laci ada atau nggak kapasnya.”  Walaupun sebal karena Davin lagi-lagi memberikan perintah seenaknya, demi dirinya tak ditinggal sendirian di dalam ruangan bersama jenazah oleh Davin, Geundis pun bergegas berjalan mendekati laci tempat penyimpanan kapas. Keanehan didapatkan Geundis karena seperti yang dikatakan Davin, kapas memang tak ada satu pun di dalam laci itu. Bahkan kotak tempat menyimpan kapas pun tak ada di sana.  “Ada nggak kapasnya?!” teriak Davin. Geundis yang ikut terheran-heran sama seperti Davin kini menoleh dan menggelengkan kepala sebagai respon yang dia berikan pada Davin.  “Apa kan aku bilang. Udah deh, mungkin memang udah habis kapasnya. Aku pergi dulu ke gudang sebentar ya.”  Seketika Geundis gelagapan, terlebih saat melihat Davin mulai melangkahkan kakinya. “Jangan, Dav. Biar aku aja yang ke gudang ngambil kapasnya.”  Davin mendengus keras, jelas-jelas tak setuju. “Nggak. Kalau kamu yang ambil pasti lama. Padahal kita butuh cepet soalnya jenazah itu harus dimasukin ke peti. Keluarganya mau ambil sebentar lagi. Kamu tunggu aja dulu di situ. Nggak akan lama kok.”  Geundis ingin mengutarakan protes lagi karena dia benar-benar tak mau ditinggal sendiri bersama sang jenazah. Namun percuma karena Davin benar-benar melangkah pergi melewati pintu, meninggalkan Geundis sendirian ditemani sang jenazah yang terbujur kaku di atas ranjang. Jenazah yang wajahnya sama persis dengan hantu yang meneror Geundis hingga pingsan tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD