bc

Heartbreak Syndrome

book_age12+
828
FOLLOW
4.6K
READ
love-triangle
family
badgirl
sensitive
brave
student
drama
like
intro-logo
Blurb

Perihal keluarga, tak ada habisnya.

Perihal masa lalu, tak ada manisnya.

Seperti berjalan di atas pecahan kaca, setiap langkahnya hanya akan menuai luka, dan air mata.

Namun, "Everything's gonna be allright," katanya, semilir angin malam.

chap-preview
Free preview
FIRST
   Namanya Keyrina Devandra Williams, orang-orang lebih terbiasa memanggilnya  dengan sebutan Key. Gadis  cantik blasteran Inggris yang menginjakusia tujuh belas tahun Desember nanti. Dia memiliki keturunan Inggris dari sang Papa. Postur tubuh tinggi, hidung mancung, dan rambut coklatnya keturunan Papa, namun mata hazelnya keturunan sang Mama. Dia anak ketiga dari tiga bersaudara, memiliki dua kakak laki-laki. Yang pertama Richard Fernandez William, dan yang kedua Jonathan Alexender William. Keluarganya bisa dibilang keluarga 'kaya raya' karena memiliki banyak harta yang tak terhitung jumlahnya. Keluarganya juga bias disebut keluarga yang harmonis, damai, dan saling mengerti satu sama lain. But now... everything is really gone. Keyrina’s POV    "Diam di sini! Jangan pergi kemanapun!!!" Aku mendengar suara bentakkan lelaki b******k itu dari luar kamarku. Aku yang penasaran sekaligus cemas pun segera keluar kamar dan melihat apa yang terjadi. Kini terlihat jelas di sana. Di ruang tengah tepatnya. Vikar tengah berdiri dan terlihat juga dirinya ketakutan. Aku melirik ke sisi lain, di ambang pintu keluar, lelaki b******k itu tengah berdiri membelakangi kami seraya berbicara dengan seseorang di sebrang telepon genggamnya. Aku menatap Vikar sejenak, ia membalas tatapanku dengan wajah takutnya. Lantas, aku menghampirinya lalu menggenggam pergelangan tangannya kasar, dan membawanya menuju kamarku. Buk!    Aku membanting pintu dengan hentakkan keras ketika kami tiba di dalam kamarku. Aku menatap Vikar sinis. "Diapain sama Ayah?" Tanyaku. Ketus. "Di ... dipukul," balas Vikar tergugup seraya menunjukkan telapak tangannya yang penuh luka pukulan kayu rotan. Aku lantas berjalan menuju laci kecil di sebelah tempat tidurku, membukanya dan mengambil sebuah salep atau obat oles untuk meredakan rasa sakit dan menghilangkan bekas luka, lantas memberikannya pada Vikar. Hening sejenak. Tok... Tok... Tok... Berselang beberapa waktu, pintu kamarku terdengar diketuk keras dari luar. "Vikar?! Vikar?! Kamu di dalem kan??!!! Keluar sekarang!!!" Terdengar jelas suara lelaki b******k itu lagi. Vikar terdiam sejenak dan menatapku dengan wajah takutnya lagi. Tangannya gemetaran, bahkan salep yang tadi aku berikan kini ia genggam sungguh erat. Aku menghela napas panjang, lalu memutar kunci yang menggantung di gagang pintuku. Menguncinya.    "Udah nggak usah takut! Pintunya udah di kunci!" Ujarku masih dengan nada ketus.    "Tapi kak... "    Aku tak menggubrisnya. Aku segera merebahkan tubuhku di atas ranjang tidur, lalu memasang earphone di kedua telingaku, dan mendengarkan musik dengan volume sangat keras hingga ocehan lelaki b******k di luar itu tak terdengar. Aku tak peduli dengan Vikar yang kini ketakutan. Yang penting aku sudah menyelamatkannya dari sikap kasar lelaki b******k itu. Setidaknya untuk saat ini. ***    "Kenapa kamu dipukul Ayah?" Tanyaku pada Vikar ketika masalah mulai mereda.  "Nilai ulangan harian aku jelek. Ayah marah," balasnya.    "Emang nggak belajar?"     "Udah kak, tapi tetep nggak bisa."    Aku meletakkan jari telunjukku di dahinya, dan mendorong dahi itu. "Stupid!!!" Ketusku.  Dan Vikar membisu.    Aku menatap sinis dirinya. Ia menunduk. Kurasa ia benar-benar ketakutan. Aku menghela napas dalam-dalam, lalu melirik jam dinding di kamarku. Jam setengah tujuh malam. Aku kembali menatap Vikar, lalu beranjak berdiri, dan keluar kamar. Kini, tepat di ruang makan. Aku mendapati Mama dan lelaki b******k itu tengah duduk bersebrangan seraya menikmati makan malam mereka. Aku menatap mereka dengan wajah sinis khasku, lalu mengacuhkannya. Aku mengambil dua piring dan menyeruk nasi putih juga berbagai macam lauk ke atasnya. Tanpa permisi. "Vikar di mana?" Tanya Mama.    "Kamar," balasku ketus.    "Suruh dia keluar!"    "Lagi tidur!"    Mama menghela napasnya panjang. "Terus kenapa kamu ambil makanan sampe dua piring?" Tanyanya kembali.    "I'm hungry!"    Aku beranjak berjalan pergi dari sana, dan tak mempedulikan mereka sedikitpun. "Key? Mama belum selesai bicara!" Teriak Mama ketika aku melangkah. Dan aku terus berjalan. "Key?" Teriaknya. "Keyrina?!" Teriaknya lagi. Namun, aku masih bersikap tak acuh. Clak!    Aku membuka pintu kamarku, dan kembali menutupnya. Aku memberikan sepiring makanan itu pada Vikar, dan satunya lagi untukku. Aku duduk di atas ranjang tidurku, sementara Vikar di sofa kamarku. Aku mengambil remote TV, lalu menyalakan TV yang langsung berhadapan dengan posisiku sekarang, lantas menikmati makananku juga acara TV yang aku tonton kini. *** 21.00 WIB    Senyap. Itu keadaan sekitarku sekarang. Televisi yang tadi aku tonton sudah kumatikan, sementara Vikar kini sudah terlelap di atas ranjang tidurku. Dan aku??? Aku tengah terduduk di sisi ranjang seraya memperhatikan Vikar yang kini terlelap dan mungkin sudah terbawa ke alam mimpi yang indah. Aku melirik telapak tangan Vikar. Terlihat banyak luka pukulan kayu rotan. Pukulan kayu rotan cukup terasa sakit. Aku pernah merasakannya. Jujur saja, sebenarnya aku tak tega melihat Vikar diperlakukan kasar oleh lelaki b******k itu, tapi mau bagaimana lagi? Aku tak pantas mengelak kehendak orang tua seperti dia. Dan menurut perkiraanku, sepertinya salep yang tadi aku berikan belum digunakannya. Mungkin ia sungkan atau apa, aku juga tak tahu. Aku pun segera meraih obat oles itu yang terletak di laci sisi ranjang tidurku, membukanya, dan mengoleskan isinya ke telapak tangan malang itu.  Aku mengoleskannya sungguh perlahan dan hati-hati. Aku tak mau jika sampai Vikar bangun dan mendapati aku melakukan ini padanya. Aku tak mau ia berpikir bahwa aku memperhatikan dan menyayangi dirinya. Tidak! Dan semoga saja tidak pernah.    Syukurlah, hingga selesai aku mengoleskannya, Vikar tidak terbangun. Kurasa ia benar-benar lelah atau mungkin kesakitan. Biarlah, dia yang merasakannya. Aku beranjak berdiri dari posisiku yang semula berjongkok mengolesi salep itu ke telapak tangan Vikar. Aku menghela napas panjang, lalu menatap Vikar sejenak. Lantas, aku berjalan pergi dari kamarku itu, menutup pintu perlahan, dan berjalan menuju loteng rumah ini. Sesampainya di loteng, hatiku sedikit merasa lega. Aku menatap sekeliling loteng ini. Ada sofa, tempat tidur, laci, dan lain-lain. Ini ruang tidurku. Memang tak semegah dan seindah kamarku yang kini tengah ditempati Vikar, tapi inilah tempat yang paling bisa membuat suasana hatiku merasa lebih tenang.    Setiap malam, bahkan jika kamar megahku itu tidak ditempati seperti malam ini, aku selalu tidur di sini. Di loteng. Pada awalnya, loteng ini hanyalah loteng biasa, yang terasa panas, kumuh, dan pengap, namun saat pindah ke rumah ini, aku meminta Mama untuk merubah loteng ini menjadi sebuah kamar yang aku harapkan. Sedari dulu, aku senantiasa tidur di loteng seperti ini. Aku tak pernah sekalipun berani tidur di sebuah kamar. Aku tak peduli seberapa mewah, indah, dan megahnya kamar tersebut, aku akan tetap tak berani tidur di sana. Aku memiliki kamar hanya untuk kepuasan pribadi. Paling-paling yang aku lakukan di kamar hanyalah makan, mengerjakan tugas sekolah, dan berdiam diri jika ingin sendirian, karena seluruh hal itu lebih nyaman jika kulakukan dalam kamar. Aku merebahkan diriku di atas ranjang tidur loteng ini. Nyaman. Itulah hal yang kurasakan kini. Ribuan bintang yang bertabur di langit malam terlihat jelas lewat kaca jendela yang terletak tepat menghadap langit. Benar-benar membuat diriku merasa lebih tenang. Setidaknya, aku bisa melupakan masalah Vikar dan lelaki b******k itu. Namun...    Tidakkah kalian bertanya-tanya tentang 'Siapa Vikar dan lelaki b******k yang aku maksud?' Aku akan menjawabnya. Lelaki b******k itu, dia adalah Surya Santoso, Papa tiriku. Dia adalah duda anak satu asal Bandung yang menikah dengan Mama tujuh tahun lalu. Sedangkan Vikar, bocah laki-laki dua belas tahun ini adalah anak dari lelaki b******k itu. Ketika lelaki b******k itu bercerai dengan istrinya, hak asuh Vikar diambil alih olehnya, dan alhasil Vikar pun menjadi bagian dari keluargaku. Muhammad Vikar Alfarizky nama panjangnya. Sungguh berbeda bukan dengan jenis namaku? Ya iya lah!    Aku dan dia hanya sebatas saudara tiri. Vikar bahkan belum pernah menginjakkan kaki di kota kelahiranku. Ia bahkan terkadang sulit menyebut nama panjangku. Berbahasa Inggris saja dia tak fasih, jadi hal yang wajar menurutku jika hubungan kami tidak akrab. Lantas, tidakkah kau juga bertanya-tanya tentang 'Mengapa aku menyebut Papa tiriku dengan panggilan kasar seperti itu?'    Jika iya, aku akan memberi jawabannya nanti. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
60.7K
bc

HOT AND DANGEROUS BILLIONAIRE

read
571.2K
bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.2K
bc

Nikah Kontrak dengan Cinta Pertama (Indonesia)

read
454.3K
bc

Married With My Childhood Friend

read
44.0K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.1K
bc

Cici BenCi Uncle (Benar-benar Cinta)

read
200.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook