5- JANGAN TERLALU BANYAK OMONG

1805 Words
“Karyawan baru itu berani banget satu lift sama Pak Birzy.” “Bukan karyawan baru, dia masih magang. Gue rasa dia cari mati, deh.” Raka mengernyit mendengar beberapa karyawan yang sedang membicarakan bos sekaligus sahabatnya itu. Dia melirik ke kiri, melihat dua karyawan perempuan tadi langsung berjalan menjauh. Raka kembali menghadap pintu lift dengan satu alis terangkat. “Karyawan baru?” gumamnya penasaran. Hingga pikirannya tertuju ke satu sosok, gadis itu. Seulas senyum terbit di bibir Raka. Dia melipat kedua tangan di depan d**a sambil menunggu pintu lift yang terbuka. Dia yakin, pasti Birzy yang meminta Bevi satu lift dengannya. Pasti mereka telah ada sesuatu. Tring. Raka buru-buru masuk dan langsung memencet angka delapan. Setelah sampai di lantai tujuan dia langsung berlari ke ruangan Birzy. “Birzy nggak ada tamu, kan?” tanyanya sambil lalu. Risyad yang fokus dengan pekerjaannya langsung menoleh. Dia hendak menjawab tapi Raka lebih dulu masuk ke ruangan bosnya. “Aduh! Semoga bos nggak marah-marah.” Dia menepuk kening, lalu melanjutkan pekerjaannya. Sedangkan di ruangan, Raka berdiri menatap Birzy yang sibuk dengan laptop di hadapannya. Dia berjalan mendekat, lalu membungkuk. “Gue ngelewatin berita apa, nih?” Birzy mengangkat wajah. Satu alisnya tertarik ke atas melihat rambut Raka yang sedikit berantakan itu. “Lo habis nginep di tempat siapa?” Raka menyibak rambut tebalnya. “Gue di hotel. Sendirian nggak sama cewek.” “Omongan lo bisa dipercaya?” Birzy mendengus, lalu kembali menatap laptop. “Lo telat. Terus ngapain ke sini? Kerjaan lo udah selesai.” Sreek. Raka menarik kursi. Dia duduk di hadapan Birzy dengan ekspresi ingin tahu. “Lo udah deket sama Bevi?” “Deket yang kayak gimana?” “Ayolah! Gue tahu lo tertutup, tapi lo nggak bego sama masalah ginian.” Raka memajukan tubuh, memperhatikan Birzy yang sedang serius itu. “Lo udah pacaran sama dia? Bagus! Jangan sampai Bevi diambil orang.” Lama-lama konsentrasi Birzy pecah karena ucapan ngawur Raka. Dia menatap sahabatnya itu dengan sengit. “Nggak ada apa-apa antara gue sama Bevi. Dan nggak mungkin ada apa-apa.” “Terus yang lagi digosipin karyawan?” tanya Raka dengan senyum jail. “Emang ada gosip apa?” Kini giliran Birzy yang terlihat penasaran. Raka geleng-geleng. “Lo beneran nggak tahu atau pura-pura nggak tahu?” “Beneran nggak tahu!” sela Birzy. Dia duduk bersandar dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. Mata tajamnya menatap Raka mengintimidasi. Sayangnya, Raka tidak terpengaruh oleh tatapan seperti itu. “Bisa kasih tahu gue?” “Ah, nggak seru!” Raka bergerak mundur. “Karyawan gosipin lo gara-gara satu lift sama Bevi. Gue pikir kalian ada apa-apa. Selama ini nggak ada yang mau satu lift sama lo kecuali gue sama Risyad.” Birzy menahan tawa. Seketika dia ingat saat Bevi memakinya habis-habisan. “Dia pikir ada aturan karyawan nggak boleh satu lift sama bos mereka.” “Oh, ya?” tanya Raka. “Biar gue tebak, pasti dia marah-marah ke lo.” “Yaps.” “Terus?” Raka kembali terlihat antusias. Dia memiringkan kepala, memperhatikan Birzy yang tersenyum segaris itu. “Dia minta maaf ke lo? Dia mohon-mohon ke lo? Terus lo peluk dia sambil nenangin kalau itu bukan masalah berat?” Birzy mendengus mendengar kalimat itu. Dia mengambil laporan yang ada di depannya lalu memukulnya ke kepala Raka. “Gue bukan lo!” “Ya siapa tahu!” Raka seketika berdiri. “Gue rasa Bevi ini cewek unik. Di saat cewek lain pengen deketin lo dia malah nggak mau deket-deket sama lo. Di saat cewek lain mundur teratur sama sikap dingin lo, dia biasa-biasa aja di samping lo. Jarang ada cewek kayak gini.” Raut wajah Birzy sedikit berubah. “Keluar! Kerjaan gue banyak.” Pandangannya kembali tertuju ke layar laptop. Raka menatap Birzy yang selalu menghindari topik seperti ini. Dia mengembuskan napas kemudian keluar dari ruangan Birzy.   ***   Lo harus minta maaf ke Pak Birzy. Kalimat itu terus terngiang di kepala Bevi. Sampai-sampai dia hampir kehilangan fokus. Kali ini dia mengaku salah karena menuduh Birzy yang bukan-bukan. Namun, untuk meminta maaf rasanya Bevi enggan. Dia tidak ingin melihat wajah dingin bosnya. Belum lagi, selalu saja dia emosi jika berhadapan dengan Birzy. “Gue harus gimana?” “Minta maaf!” Gatha tahu-tahu duduk di hadapan Bevi. Dia mengulurkan air mineral ke karyawan magang itu. Bevi menerima pemberian Gatha—gadis dengan potongan rambut bob lengkap dengan poni itu. “Makasih.” Dia menegak air mineral itu lalu mengembuskan napas. “Jadi, gue harus minta maaf?” “Ya. Inget, lo masih pegawai magang. Jangan sampai lo dipecat sebelum masa percobaan ini selesai,” ujar Gatha berapi-api. “Gue ngerasain jadi karyawan magang itu kayak gimana. Rasanya pengen langsung jadi karyawan tetap biar tenang.” “Kalau kayak gini gue berharap nggak lolos.” Brak! Gatha menggebrak meja. “Kenapa lo jadi patah semangat kayak gini? Gue lihat lo selalu semangat, meski kita baru kenal kemarin.” Bevi manggut-manggut. Ya, biasanya dia semangat saat baru bekerja, kecuali sekarang setelah tahu dia bekerja di bawah kekuasaan Birzy. “Bev, gue yakin Pak Birzy nggak semenyeramkan itu. Nanti, deh, kalau dia mau pulang kerja samperin terus lo minta maaf. Terus masalah kelar.” Gatha tersenyum, menganggap itu ide bagus. “Gue bakal coba.” Bevi menyandarkan kepala, menatap langit-langit ruang kerjanya dengan gamang. Sepertinya mulai hari ini dia harus berhati-hati. Terlebih, kepada Birzy. Setiap di dekat lelaki itu, dia selalu emosi dan tanpa sadar mengucapkan kalimat yang belum tentu kebenarannya.   ***   Pukul lima sore, para karyawan mulai meninggalkan kubikel mereka. Berbeda dengan Bevi yang masih duduk sambil bertopang dagu. Dia memikirkan ucapan Gatha untuk meminta maaf kepada Birzy. Beberapa kali Bevi ragu, tapi dia tahu tindakannya tadi sangat keterlaluan. “Oke! Gue bakal minta maaf.” Bevi langsung berdiri, sebelum hatinya kembali ragu. Dia memakai tas slempangnya lalu bergegas keluar. Lorong lantai tiga telah sepi dan gelap. Dia tidak sadar berapa lama berpikir di ruangannya. Sampai di lantai delapan, Bevi kembali ragu. Dia melangkah maju, kemudian mundur lagi. Entah kenapa dia terbayang Birzy akan mengejeknya lengkap dengan raut dinginnya. “Dia pasti seneng banget kalau gue terus berbuat salah.” Bevi menarik napas panjang. Di pikirannya sibuk membuat keputusan yang tepat. Hingga akhirnya dia melangkah maju. Dia sadar, bukan tipe orang yang bersembunyi jika dia bersalah. Gadis itu mendekati meja sekretaris Birzy, tapi lelaki kemarin tidak ada. Bevi mendekati pintu ruangan Birzy dan mengetuknya. “Permisi!” “Masuk!” Suara dingin itu terdengar. Bevi bergidik. Dia hendak masuk ke ruangan raja kutub. Belum apa-apa saja aura dingin sudah terasa. Gadis itu mengusap lengan naik turun sebelum masuk ke ruangan Birzy. “Pak Birzy saya ingin minta maaf.” Birzy mengangkat kepala, kaget melihat Bevi berdiri di depan pintu. Dia duduk tegak lalu tersenyum kecil. “Sadar apa yang telah kamu lakukan?” “Iya.” Bevi menunduk sebagai permohonan maaf. “Saya salah.” Dia mengangkat wajah dan tersenyum kecil. “Huh....” Birzy tidak percaya Bevi menemuinya dan meminta maaf. Dia pikir, gadis itu akan cuek-cuek saja. “Ke mari!” Dia menggerakkan jari telunjuk. Bevi terlihat ragu. Dia menoleh ke belakang, di luar sangat sepi. Kemudian dia menatap Birzy yang duduk di posisinya. Bevi mulai was-was takut Birzy akan memarahinya atau bahkan memukulnya. “Emm. Ada apa, ya, Pak?” “Ke mari!” Tanpa sadar Bevi sudah berdiri di depan meja. Dia menatap bosnya yang tanpa ekspresi itu. “Pak. Ada apa, ya?” Birzy berdiri lalu menunjuk berkas-berkas yang berserakan di meja. “Rapikan dan urutkan sesuai tanggal. Sebelum itu buatkan saya kopi.” “Apa?” Bevi merasa salah dengar. Dia menatap Birzy penuh selidik dan tidak mendapati ada raut bercanda dari lelaki itu. “Saya yakin kamu dengar perkataan saya.” Setelah mengucapkan itu Birzy duduk di sofa panjang. “Buat kopi nggak sampai tiga menit, kan?” Bevi berbalik, menatap Birzy yang terlihat bossy itu. “Jadi, saya harus buat kopi?” Birzy mengangguk pelan. Dia memposisikan bantal sofa di bagian ujung kemudian dia berbaring. Dia mulai melonggarkan dasi yang terasa mencekik dan membuka kancing teratas kemejanya. Kemudian ekor matanya, menangkap sosok Bevi yang masih terdiam. “Kenapa masih di situ?” “Ah, iya!” Bevi seketika tergagap. Dia berjalan keluar sambil menahan napas. Setelah sampai luar, dia menepuk dadanya dan menarik napas panjang. “Gila! Dia seenaknya aja!” Sedangkan Birzy memilih memejamkan mata sambil menunggu kopi buatan Bevi datang. Matanya terasa berat, tapi dia tidak mungkin tidur begitu saja sedangkan pekerjaannya masih menumpuk. Beberapa menit kemudian Bevi kembali dengan secangkir kopi. Dia mendapati bosnya itu terlelap. Dia meletakkan kopi di atas meja lalu buru-buru merapikan meja. Dia mulai menumpuk berkas dan merapikan beberapa pulpen yang tergeletak. “Lain kali jangan terlalu banyak omong.” Bevi langsung menoleh. Dia melihat Birzy masih memejamkan mata. “Bapak pura-pura tidur?” Birzy membuka mata. Dia mengangkat kepala, menatap Bevi sekilas. “Ingat ucapan saya tadi.” Pandangannya kemudian tertuju ke secangkir kopi di atas meja. Dia mengubah posisinya menjadi duduk dan menyeruput kopinya. Diam-diam Bevi memperhatikan Birzy yang terlihat lelah. Namun, lelaki itu terlihat sedang menghilangkan kantuknya. Bevi segera membuang muka saat sadar terlalu lama menatap bosnya. Dia meletakkan pulpen di tempat alat tulis kemudian berbalik. “Saya sudah selesai.” “Kamu boleh pergi!” Birzy berdiri dan kembali ke meja kerjanya. Dia tersenyum karena meja kerjanya telah rapi. Sebenarnya dia tipe orang yang tidak betah melihat sesuatu yang berantakan. Namun, hari ini pekerjaannya sangat banyak. Bevi melirik Birzy sekilas lalu berjalan keluar. Saat hendak menutup pintu, dia berbalik. “Kalau capek istirahat. Kopi nggak akan membantu Bapak terus terjaga.” Dia tersenyum kecil lalu menutup pintu. Kalimat itu membuat Birzy terdiam beberapa detik. Sebelum akhirnya dia terkekeh geli. “Tahu apa dia?” Dia mengambil berkas dan kembali memeriksanya.   ***   Bayangan wajah lelah Birzy terngiang di kepala Bevi. Dia cukup kaget, karena lelaki yang dia anggap sok berkuasa itu terlihat bekerja keras dengan pekerjaannya. Bevi menggeleng atas pemikirannya itu. “Bisa jadi dia capek karena hal lain. Pasti itu.” Dia berjalan sambil memegang tali tasnya. Saat sampai lobi, Bevi menyadari langit telah gelap. Dia mengedarkan pandang, tidak mendapati karyawan yang masih berkeliaran. Pandangannya kemudian tertuju ke pos satpam, petugas keamanan terlihat santai sambil menyenduh kopi. Bevi menoleh ke belakang, ingat Birzy yang masih berada di ruangan tanpa ada sang sekretaris yang menemaninya. Tebersit rasa kagum karena Birzy masih bekerja sampai malam. Namun, sedetik kemudian rasa itu hilang saat dia ingat Birzy yang begitu menyebalkan. “Ngapain mikirin dia?” Dia menepuk kening lalu buru-buru pergi. Bevi berjalan menuju halte bus. Seiring langkahnya, dia tetap teringat dengan Birzy. Dia yakin tidak salah lihat, Birzy tadi terlihat begitu lelah. Sorot mata lelaki itu juga tidak terlalu dingin dan menyebalkan seperti biasanya. “Ck! Gue males kalau terlalu penasaran kayak gini!” Bevi lalu berbalik dan berlari menuju kantor. Beberapa menit kemudian, Bevi berdiri di depan ruangan Birzy dengan napas terengah. Dia mengintip dari jendela. Birzy terlihat sibuk dengan pekerjaannya sambil sesekali memijat tengkuk. “Permisi!” Bevi berteriak. Dia melihat Birzy berjingkat dan menatap ke arah pintu. Bevi segera membuka pintu dan melihat wajah kaget bosnya. Dia berjalan mendekati meja, melihat kopi yang dia buat telah tandas. “Mau kopi lagi?” Birzy meletakkan pulpen yang dia pegang. Dia bersedekap, memperhatikan Bevi yang kembali ke ruangannya itu. “Kenapa?” “Apanya?” tanya Bevi canggung. “Kenapa balik lagi?” “Em... Itu....” Bevi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia tersenyum canggung ke Birzy. “Saya kasihan lihat Bapak yang kelelahan.” Satu alis Birzy tertarik ke atas. “Apa saya terlihat lelah?” Dia mengangkat dagu menatap Bevi. Bevi memperhatikan mata Birzy yang kembali tajam dan dingin. Lelaki itu juga terlihat menyebalkan seperti sebelumnya. Pasti gue tadi salah lihat. Bevi menepuk kening. “Tidak. Berarti saya salah,” jawabnya. “Kalau gitu saya pergi.” Birzy memperhatikan Bevi yang berjalan keluar dengan langkah pelan itu. Dia mengembuskan napas kemudian berdiri. “Masuk!” “Apa?” Bevi berbalik dengan wajah kaget. “Masuk.” “Buat apa?” Lama-lama Birzy sebal melihat Bevi yang banyak tanya itu. “Jangan banyak omong.” Bevi mengernyit. “Saya nggak....” “... saya minta kamu masuk!” potong Birzy dengan nada tegas. “Susah buat bertindak tanpa banyak bicara?” “Iya.” Bevi tanpa banyak protes menuruti ucapan Birzy. Birzy mengembuskan napas lega. “Sebenarnya saya capek seperti yang kamu bilang.” Dia menarik tangan Bevi mendekat. “Saya butuh kamu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD