Bab 4 - Bertemu Kembali

1468 Words
Ara membuka matanya perlahan lalu mengedipkan matanya berkali-kali membiaskan cahaya masuk ke dalam retina matanya. Seketika bola matanya bergerak melirik ke sekitar ruangan yang serba putih dan berbau obat-obatan itu. “Ara, kamu sudah sadar?” tanya orang yang berdiri di sebelah brankar yang ditempati Ara. “Kak Ryan. Di mana aku sekarang?” “Kamu di rumah sakit, kamu habis mengalami kecelakaan lalu lintas bersama Tania.” Ara kembali mengingat kejadian beberapa jam yang lalu ketika kecelakaan itu terjadi dan ia juga teringat bahwa ia sempat mengirimkan pesan minta pertolongan pada Devan. “Kak, siapa yang telah menolongku dan membawaku ke sini?” “Salah satu pria yang tergabung dalam tim SAR 115. Pria yang sama dengan pria yang menyelamatkanmu saat kecelakaan syuting film beberapa hari yang lalu.” Ara menatap ke atas langit-langit ruangan. 'Ternyata dia benar-benar datang untuk menolongku lagi.’ *** 2 hari kemudian, Ara sudah keluar dari rumah sakit, beruntung lukanya tidak parah. Ia hanya mengalami cedera ringan di kepalanya namun itu tidak sampai mempengaruhi kerja sistem saraf di otaknya dan kini Ara dan Ryan sedang berada di apartemen Ara untuk membicarakan kegiatan Ara untuk ke depannya. Kepala Ara juga masih tampak dibalut perban putih, ia diharuskan untuk banyak istirahat dan berhenti untuk sementara waktu melakukan pekerjaan yang berat. “Ra, aku ke sini hanya sebentar. Aku cuma mau memberitahukan padamu bahwa aku telah membatalkan semua kegiatanmu untuk seminggu ke depan, baik itu berupa kegiatan manggung, syuting film ataupun pemotretan iklan. Karena kesehatanmu no 1, kamu harus memulihkan kondisimu terlebih dahulu.” tutur Ryan yang tampak sibuk menggeserkan tangannya di atas tab. “Hm, kenapa lama sekali Kak? Aku sudah baik-baik saja dan bisa beraktivitas kembali.” “Jangan membantah Ara, kepalamu saja masih diperban, bagaimana bisa kamu melakukan kegiatan bila seperti itu.” Ara mengerucutkan bibirnya dengan wajah turun. “Hm ... Ya udah deh, aku nurut.” “Bagus. Manfaatkan waktu senggangmu ini untuk istirahat dan memulihkan tubuhmu.” Ara mengangguk lalu Ryan berdiri. “Ya udah aku harus kembali ke agensi. Selamat istirahat.” Ryan menepuk pelan bahu Ara. “Makasih Kak.” Setelah sepeninggal Ryan, Ara menghembuskan napas berat dan menjatuhkan kepalanya di sofa, “Huhh ... Apa yang harus kulakukan selama seminggu libur ini.” gumamnya dan tak sengaja menatap jam dinding yang tergantung di ruang tamu telah menunjukkan pukul 9 pagi. “Oh, astaga! Aku teringat belum masak apapun untuk siang ini. Baiklah, daripada aku bosan lebih baik aku masak.” Ia berdiri lalu melangkahkan kakinya menuju dapur dengan semangat. 1 jam kemudian, semua masakannya telah siap, ia menatanya ke atas meja makan lalu menatapnya dengan tatapan bangga karena telah menyelesaikan semua masakannya dengan baik. “Hm, kenapa aku masak banyak sekali, padahal aku hanya tinggal sendiri di sini. Siapa yang akan menghabiskan semua ini?” gumamnya sembari memasang tampang berpikir. Seketika bayang-bayang Devan muncul dalam pikirannya, ia ingin mengundang pria itu ke sini, lagipula entah kenapa ia sudah merasa rindu pada pria yang sudah menolongnya hingga dua kali itu. Ia kembali ke ruang tamu untuk mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Sebelum mengirimkan pesan pada Devan, ia sempat berpikir-pikir dahulu. 'Tapi, apa dia mau datang ke sini? Dia 'kan pernah bilang akan datang bila ada masalah, tapi di sini tidak ada masalah apapun.’ batin Ara sembari mengigit bibir bawahnya pelan. Setelah itu ia mulai berjalan-jalan seraya memperhatikan setiap sudut ruangan di apartemen pribadinya. Dan saat ia melewati wastafel, sebuah ide sontak terlintas di kepalanya, senyum mengembang tercetak di wajahnya. “Aha! Aku punya ide.” Dengan cepat ia mengetikkan pesan di aplikasi chat lalu mengirimkannya pada Devan. Tak lama kemudian, Ting! “Ah, itu pasti dia.” Ara yang sedang duduk bersantai sembari menonton tv sontak segera berdiri lalu melangkah dengan cepat hingga ke depan pintu. Ceklek “Akhirnya kamu datang juga.” ujar Ara setelah mengetahui orang yang ditunggu-tunggunya telah datang. Devan mengeluarkan senyum tipisnya. “Selamat siang Ara, ada yang bisa aku bantu? Kenapa kamu tidak menghubungi nomor kantor saja jika sedang mengalami masalah?” “Ternyata kamu masih ingat dengan namaku ya,” jawab Ara yang tidak ada sangkut pautnya dengan pertanyaan dari Devan. “Oh iya tentu saja, aku sudah beberapa kali menolongmu dan aku juga sudah menamai kontakmu jadi aku tidak mungkin lupa. Hm, jadi apa yang bisa aku bantu?” “Ayo, masuklah dulu.” Ara mempersilakan Devan untuk masuk dan Devan hanya mengangguk lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen lebih dulu. Setibanya di dalam, Devan terlihat mengedarkan pandangannya ke sekeliling. “Jadi, apa masalahnya? Apa ada perampok di sini? Kebakaran? Korsleting listrik? Atau ada masalah lain yang darurat?” Ara menggigit bibir bawahnya dengan bola mata yang bergerak-gerak. “Err ... itu ada di belakang, ikuti aku.” Ara jalan lebih dulu ke belakang, namun Devan tampak mengernyitkan dahinya karena ia sedikit bingung melihat reaksi Ara yang sama sekali tidak ada menunjukkan tanda-tanda kepanikan. ‘Sebenarnya apa yang terjadi di sini? Aku tidak bisa menemukan masalah di sini.’ batin Devan sembari terus menatap ke sekeliling apartemen Ara. Saat tiba di dapur atau tepatnya di wastafel. “Jadi di sini masalahnya.” “Apa?” tanya Devan dengan dahi yang mengernyit dan mata yang menatap keran air yang ditunjuk Ara. Ara sontak mengigit kukunya, “Hm, keran airnya tidak mau hidup.” “Apa! Tunggu dulu! Jadi, kamu menyuruh aku ke sini hanya untuk memperbaiki keran airmu yang tidak mau hidup.” “Bu-bukan begitu maksudku—“ “Dengar ya Ara, aku ini tim SAR yang bertugas untuk melakukan penyelamatan terhadap suatu masalah yang bisa mengancam keselamatan orang, bukan memperbaiki keran air. Seharusnya kamu memanggil tukang ledeng atau tukang yang bertugas memperbaiki perabotan rumah.” “Oke, aku minta maaf. Tapi, karena kamu sudah ada di sini, kenapa tidak mencoba memperbaikinya? siapa tahu kamu bisa. Aku sangat membutuhkan air sekarang.” “Tidak. Aku tidak bisa.” jawab Devan dengan tegas lalu berbalik hendak meninggalkan dapur, namun dengan cepat Ara menggapai pergelangan tangan Devan hingga si empu menghentikan langkahnya. “Aku mohon tolonglah aku ....” Ara memohon dengan suara yang memelas. Devan akhirnya berbalik. “Oke, aku akan bantu kamu kali ini.” Ia pun kembali melangkah ke depan wastafel lalu mencoba untuk memutar keran dan bukan sihir bukan magic, air keluar dengan kencang dari keran hingga membuat Devan menautkan alisnya bingung, sementara Ara tampak menyunggingkan senyumnya di balik Devan. Devan pun mematikan keran air lalu dengan cepat berbalik hingga membuat Ara menurunkan senyumnya. “Keran airnya tidak bermasalah sama sekali. Kamu membohongiku ya?” tanya Devan dengan mata menyipit, menyelidik. “Ah, benarkah? Tapi, tadi ketika aku hidupkan kenapa airnya tidak mau keluar ya?” “Pasti kamu sekarang sedang memberikan alasan untuk menutupi kebohonganmu 'kan?” Bola mata Ara mulai bergerak-gerak gugup. “Hm, tidak. Aku tidak berbohong.” “Kamu membuang-buang waktuku saja, aku harus kembali ke kantor sekarang.” “Tunggu! Apa kamu tidak mau menghabiskan makan siang dulu di sini, karena kebetulan sekarang sudah masuk jam makan siang.” “Tidak. Terima kasih.” Devan berbalik lalu melangkahkan kakinya meninggalkan dapur. “Apa kamu tidak mau menemaniku makan siang dulu di sini? Aku tidak ada teman makan siang di sini.” celetuk Ara dengan suara memohon yang membuat orang yang mendengarnya tidak tega untuk menolak permintaannya. Devan menutup matanya sejenak sembari menahan napasnya lalu menghembuskannya pelan. Sedetik kemudian, ia kembali berbalik menghadap Ara. “Oke, aku akan makan siang di sini dan tolonglah berhenti memasang wajah sedih seperti itu, kamu membuatku seolah-olah seperti orang jahat.” Ara sontak mengembangkan senyumnya. “Oke, aku tidak akan memasang wajah sedih lagi. Sekarang! Ayo kita ke ruang makan.” Ara melangkah lebih dulu ke ruang makan dengan langkah ceria dan diikuti dengan Devan di belakangnya. “Silakan duduk,” Devan mengambil tempat di salah satu kursi dengan pandangan mata yang tertuju pada hidangan yang tersaji di atas meja. “Kamu yang memasak semua ini? Banyak sekali.” “Iya, kebetulan aku sedang hobi memasak dan bahan masakan di kulkas juga masih banyak.” “Oh iya?” tanya Devan sembari melirik orang yang berada di hadapannya dengan sebelah alis terangkat. Sepertinya ia sedikit curiga dengan jawaban yang diberikan Ara, sedikit tidak masuk akal saja bila tinggal seorang diri tapi memasak sebanyak ini. “Iya. Hm, ya udah lebih baik kita mulai saja makan siangnya sekarang. Aku tahu kamu harus cepat balik ke kantor 'kan?” “Hm, iya baiklah.” Ara mengambil piring lalu menyendokkan nasi dan lauk pauk. “Biar aku saja yang mengambilkannya untukmu. Kamu mau apa?” “Ayam goreng sama sambalado hijau saja.” “Oke, kamu harus cobain sambalado hijau buatanku ini, dijamin enak.” Devan mengangguk lalu menerima sepiring nasi yang diberikan Ara. “Terima kasih.” “Sama-sama. Selamat makan.” “Iya.”    TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD