Bab 10. Sahabat Baik Yang Terlupakan

1089 Words
"Apa yang kau inginkan?" Alexa benar-benar tidak mengerti dengan Razor yang bisa dengan mudahnya menyetujui permintaannya. Mengingatkannya pada kakeknya yang selalu memanjakan dirinya. "Bagaimana dengan makanan yang mudah dimakan di dalam mobil?" usulnya. Kernyitan tipis terukir di keningnya saat ia melihat ekspresi Razor yang tampak santai menanggapi keinginannya itu. "Akan kupesankan. Kau tidak masalah, 'kan menunggu sebentar?" Alexa menggeleng pelan. "Om, tentang pertukaran bayaran itu—" "Bukankah kita sudah sepakat? Kau sendiri yang menginginkan agar aku menjadi pria simpananmu. Kau belum melupakan ucapanmu itu, bukan?" "Tapi, Om. Bukan itu yang aku maksudkan! Aku mengatakannya karena aku tidak mungkin menjadi kekasih Om." 'Karena kalau Kakek sampai mengetahui jika aku menjadi kekasih seorang Om-Om, Kakek pasti akan mengurungku selamanya di Mansion,' sambung Alexa dalam hati. "Hmm, aku pikir masalah ini sudah selesai. Aku juga sudah menyetujui permintaanmu." Tidak ingin lagi berdebat dengan Alexa, Razor bergegas meninggalkan wanita itu setelah berpesan pada Alexa agar tetap berada di dalam mobil hingga ia kembali. Berhadapan dengan Razor, Alexa seakan sedang berhadapan dengan kakeknya sendiri. Tidak mendapat kesempatan untuk membantah. Apa yang diinginkan pria itu ia harus setuju. Jika Razor ingin menggendongnya, pria itu akan langsung melakukannya tanpa meminta persetujuannya. Begitu juga di saat Razor memutuskan untuk menjadi pria simpanannya. "Huft, mengapa hidupku menjadi sesulit ini?" gerutunya sambil memperhatikan punggung Razor yang telah menghilang di balik pintu kaca restoran. Baru saja ia menutup pintu mobil yang terdapat di sisinya, tiba-tiba ia mendengar nada dering yang berasal dari ponsel miliknya. Ia membungkuk untuk mengambil tas tangannya yang tergeletak di dekat kakinya. Membawa tas itu ke atas pangkuannya, membukanya, lalu segera mencari ponsel miliknya yang terus berdering tanpa henti. Setelah ia menemukan ponsel itu, hatinya sontak menciut ketika ia membaca nama yang tertera di layar ponselnya. "Kakek?" Alexa segera mengangkat panggilan itu kemudian menempatkan ponselnya ke samping telinganya. "Anak nakal, jam berapa kau akan kembali ke Mansion?" Pertanyaan itu langsung menyapa indera pendengaran Alexa. Ada nada cemas yang tertangkap olehnya dari suara kakeknya ketika kakeknya itu bertanya padanya tadi. "Aku sudah di jalan, Kek. Karena sedikit lapar, aku berhenti sebentar untuk membeli makanan." "Apa kau sudah meninggalkan Davin?" "Oh, please, Kek. Aku bahkan sudah tidak ingin lagi mengingat pria itu," sahut Alexa sebal, sembari mengerucutkan bibirnya. "Apa karena b******n itu sudah menyakitimu? Jika benar, pria itu terlalu berani." Alexa hanya bisa tersenyum kecut. Setelah itu ia menghembuskan napas dengan kasar. "Kek, Kakek benar. Dia tak pantas untukku," sungutnya. Sambungan ponsel menjadi hening selama beberapa saat. Meski dulu kakeknya yang ada di ujung sana biasanya selalu memarahinya ketika ia tidak ingin meninggalkan Davin, namun setelah kakeknya itu mengetahui jika Davin telah mempermainkannya— kakeknya sama sekali tidak marah pada Alexa padahal ia telah mempercayai pria yang salah bahkan bertengkar dengan kakeknya gara-gara pria itu. "Kau bersenang-senang semalam?" Suara kakeknya kembali terdengar, bukan untuk menghakimi Alexa, melainkan masih terdengar seperti sedang mengkhawatirkan dirinya. "Bukankah Kakek yang telah memintaku untuk melakukannya? Jadi, ya. Aku sangat bersenang-senang, Kek," jawab Alexa. "Di Bar?" "Di Klub Malam termewah yang ada di kota ini." "Apa kau mengajak Cassie?" Alexa reflek menepuk jidat mulusnya. Tadi malam, ia benar-benar lupa untuk menghubungi Cassie, sahabat baiknya. Tapi, jika ia memanggil Cassie agar datang ke Klub semalam, dan sahabatnya itu sampai mengetahui bahwa Davin telah berselingkuh di belakangnya dan berniat memutuskan ikatan pertunangan mereka—Cassie pasti akan menampar wajah mantan tunangannya itu. Ia dan Cassie bukanlah gadis yang lemah, setidaknya dulu sebelum Davin masuk ke dalam kehidupannya. Dulu, ia dan Cassie selalu bersenang-senang bersama-sama. Shopping, jalan-jalan ke luar negeri dengan pesawat pribadi milik kakeknya—ataupun terkadang menghabiskan waktu di setiap pesta yang diadakan oleh anak-anak para jutawan yang tinggal di Kota Glasgow. Alexa tidak terlalu mengenal mereka karena status keluarganya sendiri merupakan keluarga nomor satu di kota ini. Jadi ia hanya datang karena mereka ... anak-anak para jutawan itu sengaja mengundangnya secara khusus untuk menghadiri pesta mereka. Lalu, semua kesenangan itu berakhir setelah ia mengenal Davin. Cintanya yang besar pada pria itu membuatnya mengabaikan sahabat baiknya bahkan kakeknya sendiri atas permintaan Davin yang ingin ia selalu ada untuk pria itu. "Aku tidak menghubungi Cassie, Kek. Takutnya dia masih membenciku karena aku ...." "Tidak, Nak. Cassie tidak membencimu." Suara di seberang panggilan menyela ucapan Alexa. "Satu bulan yang lalu Kakek tanpa sengaja bertemu dengannya, dia menanyakan tentang kabarmu pada Kakek. Dia mencemaskanmu, Lex." "Oh, Cassie." Alexa tertunduk lesu sambil meremas ponselnya. "Hubungilah dia! Perbaiki kesalahanmu padanya. Dia satu-satunya orang yang sangat peduli padamu selain Kakek dan menganggapmu seperti saudarinya sendiri. Sampai bertemu di rumah." "Ya, Kek," jawab Alexa sambil tersenyum pahit. "Kakek menyayangimu, Lex." "Aku juga sangat menyayangi Kakek." Sambungan ponsel pun diakhiri dari seberang sana setelah kakeknya mendengar ucapan Alexa. "Kakek benar, aku sudah bersalah pada Kakek dan Cassie." Alexa mengangkat wajahnya, termangu dengan tatapan lurus ke depan. Di depan sana, pintu kaca restoran tampak terbuka. Razor keluar dengan membawa satu paperback di tangannya. Alexa memperhatikan pria itu. Tubuh Razor yang tinggi dan kekar, langkahnya yang terlihat stabil, juga wajah keras pria itu yang tidak menunjukkan ekspresi apapun. Betapa Tuhan sangat baik padanya hingga mempertemukannya dengan pria sebaik Razor agar ia bisa melupakan Davin semalam. Walaupun, rasa sakitnya atas pengkhianatan mantan tunangannya itu masih bisa ia rasakan— namun sekarang rasa sakit itu sedikit berkurang, tidak lagi sesakit yang Alexa rasakan semalam saat ia mendengar Davin menjelek-jelekkan dirinya di hadapan kekasih baru mantan tunangannya itu. "Sebaiknya aku segera menghubungi Cassie setelah tiba di Mansion," bisiknya dengan penuh penyesalan. Tak lama, Razor telah kembali ke dalam mobil dan meletakkan paperback berisi makanan di atas dasbor. Aroma makanan cepat saji memenuhi ruangan di dalam Huracan miliknya. Alexa meraih paperback itu lalu membukanya. Sesaat setelah itu ia menoleh ke arah Razor. "Ini ... makanan cepat saji?" tanyanya, merasa sedikit kecewa. Yang ada di dalam bayangannya saat ia melihat paperback yang dibawa oleh Razor sebenarnya adalah makanan mewah spesial restoran itu, bukan burger dan kentang goreng. Razor mengangkat sebelah alis. "Tadi kau mengatakan makanan yang mudah dimakan di dalam mobil. Itu adalah pilihan yang terbaik." "Haha ...." Alexa tertawa kecut lalu menghela napas lelah setelahnya. Beberapa saat yang lalu, sewaktu Razor bertanya padanya tentang apa yang ingin ia makan, ia ingat ia memang tidak memikirkan detail makanannya. "Setidaknya burger ini dibuat oleh koki Restoran itu," gumamnya sambil membuka bungkus burger dan mulai memakannya, meski pikirannya masih melayang pada percakapan antara ia dan kakeknya di telepon, dan juga rasa bersalahnya terhadap Cassie. "Ada apa? Mengapa kau terlihat murung?" lontar Razor, seiring ia menjalankan Huracan miliknya meninggalkan parkiran restoran. Alexa menyelesaikan kunyahannya terlebih dahulu sebelum ia menjawab. "Apa aku terlihat begitu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD