Part 3

1120 Words
Pagi yang cerah di kota Bandung. Namun tidak secerah hati seorang Exelin yang melihat sang ibu tidak sadarkan diri di kamarnya. Perasaan takut kehilangan yang ada dalam hati Exelin. Exelin membawa sang ibu ke rumah sakit dengan menggunakan taksi. Untuk saat ini yang ia prioritaskan adalah sang ibu. Ia rela melakukan apa saja demi kesembuhan ibunya. Exelin menatap ibunya dari kaca pintu ruang perawatan ibunya yang sedang di pantau perkembangannya oleh dokter yang menangani sang ibu. “Bertahanlah, ibu, demi aku. Entah bagaimana nasibku tanpa ibu, membayangkannya saja membuat dadaku sakit. Ibu yang kuat, Exelin akan berusaha mencari uang buat biaya operasi ibu,” ucap Exelin di dalam hati. Air matanya tidak bisa terbendung lagi. Melihat keadaan sang ibu yang masih kritis. Ia berlari menuju taman rumah sakit. Duduk sendiri di bangku yang disiapkan taman rumah sakit. Exelin memikirkan cara untuk mendapatkan uang dalam jumlah banyak. Ia malu kalau harus merepotkan Rio, bos tempatnya bekerja. Karena Rio sudah terlampau baik selama ini. Exelin tidak ingin merepotkan Rio lagi. Tiba-tiba ponsel Exelin bergetar. Derrrtt...derrrtt... Exelin menatap ponselnya, ia mengerutkan dahi melihat sebaris nomer baru di ponselnya. Exelin mencoba berpikir positif. Ia mengangkat panggilan dari nomer baru itu. “Hallo Exelin,” sapa Amar dengan lembut. Exelin langsung mengenali suara yang sedang menelphonenya saat ini. Meskipun dia juga sedikit merasa aneh dengan Amar tiba-tiba menelphonenya. “Oh, iya pak,” ucap Exelin. “Lagi dimana kamu sekarang? Aku tadi ke rumahmu, tapi tidak ada siapa-siapa,” tanya Amar. “Saya lagi di rumah sakit pak,” ucap Exelin dengan sopan. “Apa kamu sedang sakit?” tanya Amar. “Bukan saya, pak. Ibu saya yang masuk kerumah sakit,” ucap Exelin dengan berat hati. “Rumah sakit mana? Aku segera kesana sekarang,” ucap Amar penuh perhatian. “Tidak usah pak, saya tidak ingin merepotkan bapak,” ucap Exelin dengan sopan. “Aku tidak merasa di repotkan. Cepat beri alamatnya kepadaku,” ucap Amar penuh penekanan. Amar mencoba merendahkan egonya untuk bisa mendapatkan Exelin. Ia sudah tidak peduli dengan yang lainnya. Untuk sekarang yang ada di pikirannya cuma Exelin. “Di rumah sakit Albert, pak,” ucap Exelin dengan terpaksa. Amar langsung mematikan panggilannya dan bergegas ke rumah sakit. **** “Semoga saja dengan ibunya masuk ke rumah sakit, aku ada peluang untuk mendapatkan Exelin,” ucap Amar sambil menyunggingkan senyum. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju ke rumah sakit Albert. Meskipun jarak apartemennya menuju ke rumah sakit Albert lumayan jauh. Namun Amar tetap pergi kesana demi mendapatkan kepercayaan Exelin. “Aku akan mendapatkanmu Exelin, bagaimanapun caranya. Apa yang aku inginkan, tidak ada kata tidak bisa aku dapatkan. Wanita miskin sepertimu pasti akan dengan mudah aku dapatkan,” ucap Amar. Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, Amar sampai di rumah sakit Albert. Ia memarkirkan mobilnya di parkiran rumah sakit. Setelah mematikan mesin mobil, Amar turun dari mobil dan berjalan menuju ke dalam rumah sakit. Amar mengeluarkan ponselnya, dan mulai melacak menggunakan nomer Exelin. Tak berselang lama, Amar sudah menemukan posisi Exelin. Amar berjalan menuju tempat Axelina. Setelah menemukan Exelin, ia menghampiri Exelin yang sedang duduk termenung. “Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Amar mengagetkan Exelin. Exelin menoleh ke asal suara yang tadi mengagetkannya. Exelin tersenyum hangat pada Amar yang ikut duduk disampingnya. “Kenapa bapak kesini,” ucap Exelin dengan sopan. “Aku cuma ingin melihat keadaanmu saja, terlebih lagi saat aku tahu kamu sedang berada di rumah sakit. Bagaimana keadaan ibumu?” tanya Amar pada Exelin. Exelin menghela nafas. Memikirkan keadaan ibunya saat ini membuat hatinya begitu sakit. Wanita yang sangat ia cintai dengan sepenuh hati terbaring diatas kasur rumah sakit dengan terpasang berbagai alat ditubuhnya. “Ibu masih krisis, kalau ibu tidak segera di operasi, ibu tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Karena sel kanker ibu sudah menyebar di tubuhnya,” ucap Exelin dengan perasaan sedih. “Kalau kamu perbolehkan, aku ingin membantumu,” ucap Amar. “Tidak pak, saya tidak ingin merepotkan orang lagi. Terlebih lagi orang yang baru saya kenal,” ucap Exelin dengan sopan. “Aku berharap kamu tidak menolaknya. Karena aku membantumu ini tulus dari hatiku yang paling dalam,” ucap Amar penuh dengan keyakinan. “Saya mohon maaf pak, saya takut tidak bisa membalas kebaikan bapak,” ucap Exelin. Exelin menatap Amar. Mencari kebenaran dalam setiap perkataannya. “Jangan terlalu banyak berpikir. Anggap saja aku membantumu ini sebagai awal pertemanan kita,” ucap Amar sambil menarik tangan Exelin menuju ruang administrasi untuk membayar biaya operasi sang ibu. Exelin tak bisa menahan air matanya saat ia ditarik oleh Amar menuju ruang administrasi. “Mbak, pasien atas nama ibu Stevani Carla,” ucap Amar pada salah satu petugas administrasi. “Baik, sebentar pak. Akan saya periksa rincian biayanya,” ucap petugas administrasi dengan sopan. Amar menganggukkan kepalanya. Tanda ia paham dengan apa yang di ucapkan sang petugas. “Biaya tindakan operasi yang akan dilakukan kurang lebih 975 juta rupiah, pak. Belum tindakan-tindakan yang lain seperti cuci darah dan tindakan-tindakan lain,” ucap petugas administrasi. “Ok! Ini saya masukin saldo sementara untuk pengobatan 1,5 milyar. Jika nanti masih kurang akan saya gera saya beri lagi,” ucap Amar sambil menyerahkan kartu debitnya. “Baik pak, akan segera saya proses.” Tak berselang lama, petugas administrasi memberikan kwitansi dan kartu debit milik Amar. Exelin begitu tercengang dengan apa yang sudah dilakukan oleh Amar untuk ibunya. Biaya yang tadi ia pikirkan, sekarang sudah terbayar. “Apa yang barusan bapak lakukan?” tanya Exelin tidak percaya. “Membantumu,” ucap Amar dengan singkat. “Tidak seharusnya bapak melakukan semua ini, bagaimana saya akan membayar uang yang sudah bapak keluarkan barusan untuk membayar biaya operasi ibu saya,” ucap Exelin. “Kalau kamu ingin membalas apa yang sudah aku lakukan barusan, apapun yang aku minta apa kamu akan memberikannya?” ucap Amar sambil menatap mata indah Exelin. “Selagi saya mampu memberikannya, akan saya berikan pak,” ucap Exelin. Amar menyunggingkan senyum pada Exelin. “Menikahlah denganku. Supaya aku bisa melindungimu dan ibumu,” ucap Amar dengan sungguh-sungguh. Exelin begitu kaget dengan apa yang barusan dikatakan Amar barusan padanya. “Disaat-saat seperti ini jangan bercanda pak. Pernikahan itu bukan sebuah permainan. Namun hal yang sangat sakral untuk dilakukan. Jangan cuma sekedar rasa kasihan bapak, bapak menikah dengan saya,” ucap Exelin dengan sopan. Amar semakin merendahkan egonya untuk bisa mendapatkan kepercayaan Exelin. “Aku sungguh-sungguh ingin menikah denganmu. Entah kenapa aku ingin bisa menjagamu,” ucap Amar. Exelin cuma bisa diam tanpa kata mendengar permintaan Amar yang terlihat sangat tulus. “Akan saya pikirkan nanti pak, setelah ibu saya sudah di operasi,” ucap Exelin. “Baik, akan aku tunggu waktu itu tiba. Aku harap niat baikku tidak kamu tolak,” ucap Amar penuh penekanan. “Tinggal selangkah lagi aku akan mendapatkanmu, Exelin,” batin Amar. Exelin tidak bisa berkata-kata lagi. Untuk sementara ia ingin fokus pada ibunya terlebih dahulu. Ia tidak ingin terjadi apa-apa pada ibunya. Karena buat Exelin, sang ibu adalah satu-satunya sumber kebahagiaannya. Meskipun ia akan mengorbankan segalanya untuk melihat sang ibu sehat seperti sedia kala. “Cepatlah sembuh ibu, tetaplah semangat melawan penyakit ibu demi Exelin,” ucap Exelin dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD